Bursa Asia Jatuh, Asing Malah Borong Saham di RI

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
15 July 2019 11:10
Bursa Asia Jatuh, Asing Malah Borong Saham di RI
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan pertama di pekan ini dengan manis. Pada pembukaan perdagangan, IHSG menguat 0,55% ke level 6.408,31. Pada pukul 10:20 WIB, IHSG telah memperlebar penguatannya menjadi 0,68% ke level 6.416,37.

Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang sedang ditransaksikan di zona merah: indeks Shanghai jatuh 0,19%, indeks Hang Seng melemah 0,11%, indeks Straits Times terkoreksi 0,06%, dan indeks Kospi turun 0,07%.

Investor asing ikut berkontribusi dalam menghijaukan laju IHSG pada awal pekan. Hingga berita ini diturunkan, investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 7,3 miliar di pasar reguler. Di seluruh pasar, nilai beli bersihnya mencapai Rp 29,9 miliar.

Sebagai informasi, sepanjang pekan lalu investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 2,21 triliun di seluruh pasar.

Saham-saham yang banyak dikoleksi investor asing pada hari ini (pasar reguler) di antaranya: PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 16,1 miliar), PT Media Nusantara Citra Tbk/MNCN (Rp 15,3 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 11,7 miliar), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 5,4 miliar), dan PT Astra International Tbk/ASII (Rp 2,6 miliar).

Kabar buruk bagi pasar saham Benua Kuning datang dari China. Pada pagi hari ini, biro statistik Negeri Panda mengumumkan bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) China periode kuartal II-2019 berada di level 6,2% secara tahunan (year-on-year/YoY), menandai laju pertumbuhan ekonomi terlemah dalam setidaknya 27 tahun, seperti dilansir dari CNBC International.

Angka pertumbuhan ekonomi China tersebut sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh Reuters.

Perang dagang antara China dengan AS terbukti sudah sangat menyakiti perekonomian China. Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.

Sejatinya, ada perkembangan yang positif terkait dengan perang dagang AS-China. Seperti yang diketahui, pasca berbincang sekitar 80 menit di sela-sela gelaran KTT G20 di Jepang pada akhir bulan Juni, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping menyetujui gencatan senjata di bidang perdagangan sekaligus membuka kembali pintu negosiasi yang sempat tertutup.

Perbincangan mengenai telepon antara delegasi AS dan China kemudian digelar pada pekan lalu dan kemungkinan, negosiasi tatap muka akan segera digelar dalam waktu dekat.

"Kepala Perwakilan Dagang Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin akan berangkat ke Beijing dalam waktu dekat. Namun saat ini, menurut saya, kami sedang dalam masa tenang dalam bernegosiasi," ungkap Peter Navarro, Penasihat Perdagangan Gedung Putih, seperti dikutip dari Reuters.

Namun tetap saja, bea masuk yang dikenakan satu sama lain oleh kedua negara belum dicabut sehingga masih membebani laju perekonomian keduanya.

Mengingat posisi China selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di planet bumi, tentulah tekanan terhadap perekonomian China akan membebani laju perekonomian negara-negara lain.
Optimisme yang membuncah jelang rilis data perdagangan internasional Indonesia sukses memantik aksi beli oleh investor asing di bursa saham tanah air. Pada pukul 11:00 WIB, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional Indonesia periode Juni 2019.

Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi sebesar 8,3% YoY, sementara impor diperkirakan jatuh 5,26% YoY. Alhasil, neraca dagang diramal membukukan surplus senilai US$ 516 juta.

Jika benar terealisasi, tentu surplus neraca dagang akan menjadi kabar positif bagi rupiah, lantaran ada optimisme bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) akan menjadi bisa ditekan.

Jika berbicara mengenai rupiah, pos transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi finansial (yang merupakan koponen pembentuk NPI lainnya) yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa CAD periode kuartal I-2019 adalah senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal I-2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.

Mengantisipasi neraca dagang yang diperkirakan akan membukukan surplus, rupiah pun diburu hingga mampu mencetak apresiasi sebesar 0,64% di pasar spot ke level Rp 13.910/dolar AS.

Apresiasi rupiah pada akhirnya mendorong investor asing untuk menebar dananya di pasar saham tanah air. Ketika rupiah menguat, investor asing akan terhindar dari yang namanya kerugian kurs sehingga aksi beli menjadi opsi yang sangat mungkin diambil oleh mereka.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular