
Jelas! Ekonomi China Nyungsep, Harga Emas Dunia Terbang
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
15 July 2019 11:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan harga emas dunia masih variatif dengan kecenderungan melemah terbatas. Rilis data ekonomi China yang mixed membuat pelaku pasar masih memasang mode wait and see.
Pada perdagangan hari Senin (15/7/2019) pukul 09:30 WIB, harga emas kontrak pengiriman Agustus di bursa New York Commodity Exchange (COMEX) menguat 0,12% ke level US$ 1.413,9/troy ounce atau senilai Rp 633.228/gram.
Sementara harga emas di pasar spot terpantau melemah 0,22% menjadi US$v 1.412,43/troy ounce.
Angka pertumbuhan ekonomi China kuartal II-2019 dibacakan sebesar 6,2% secara tahunan (year-on-yar/YoY) oleh Biro Statistik Nasional (National Bureau of Statistics/NBS). Itu merupakan pertumbuhan ekonomi paling lambat sejak 1992 atau dalam 27 tahun terakhir.
Dampak dari eskalasi perang dagang dengan Amerika Serikat (AS) terbukti mampu membuat ekonomi Negeri Tirai Bambu semakin tertekan.
Mengingat China merupakan negara dengan perekonomian terbesar ke dua di dunia, maka dampaknya juga akan merebak ke negara-negara lain.
Alhasil risiko perlambatan ekonomi global masih akan terus menghantui pelaku pasar dan membuat investasi pada aset berisiko agak dihindari.
Dalam kesempatan tersebut, emas masih dipertahankan sebagai instrumen pelindung nilai (hedging) karena fluktuasi nilainya yang relatif kecil.
Akan tetapi, bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi yang buruk, penjualan barang-barang ritel China pada bulan Juni tercatat naik 9,5% YoY. Angka pertumbuhan tersebut jauh lebih tinggi ketimbang prediksi konsensus yang hanya 8,5% dan merupakan yang paling besar sejak April 2018, mengutip Trading Economics.
Ada pula pertumbuhan barang-barang industrial China bulan Juni juga naik hingga 6,3% YoY yang juga lebih tinggi dibanding prediksi konsensus sebesar 5,2% YoY.
Data tersebut menunjukkan tingkat konsumsi penduduk Negeri Panda yang masih kuat, di tengah gejolak perekonomian yang melanda. Sama halnya dengan Indonesia, konsumsi di China juga merupakan komponen terbesar dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Kala Konsumsi masih terjaga, ada peluang pertumbuhan ekonomi ke depan tidak anjlok terlalu dalam.
Dengan begitu kekhawatiran investor akan kondisi ekonomi global ke depan dapat diredam. Alhasil pelaku pasar belum ada keinginan untuk menambak koleksi emas.
Namun, pelaku pasar juga masih menantikan keputusan suku bunga acuan Bank Sentral AS, The Fed yang akan dibacakan akhir bulan Juli.
Mengutip CME Fedwatch hari Senin (15/7/2019) pukul 09:15 WIB, probabilitas The Fed menurunkan suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR) pada rapat Komite Pengambil Kebijakan (FOMC) bulan Juli mencapai 100%.
Kemungkinan FFR turun 25 basis poin mencapai 74,4%, sedangkan peluang turun 50 basis poin sebesar 25,6%.
Dengan adanya penurunan suku bunga acuan, kegiatan usaha akan mendapatkan stimulus berupa peningkatan likuiditas. Fasilitas kredit semakin murah, ekspansi bisnis bisa di gas.
Bila FFR benar-benar dipangkas, terlebih dengan sangat agresif, maka nilai tukar dolar akan rentan terkoreksi akibat banjir likuiditas.
Aset-aset berbasis dolar akan berisiko terkoreksi akibat perbedaan nilai tukar. Dalam kesempatan tersebut, investor masih berjaga-jaga untuk segera mengoleksi emas agar koreksi nilai aset bisa diminimalisasi.
Harga emas juga lebih murah saat kurs dolar AS melemah bagi pemegang mata uang lain. Sebab, emas di pasar global ditransaksikan dalam dolar AS.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(taa/hps) Next Article Harga Emas Tertatih untuk Bangkit
Pada perdagangan hari Senin (15/7/2019) pukul 09:30 WIB, harga emas kontrak pengiriman Agustus di bursa New York Commodity Exchange (COMEX) menguat 0,12% ke level US$ 1.413,9/troy ounce atau senilai Rp 633.228/gram.
Sementara harga emas di pasar spot terpantau melemah 0,22% menjadi US$v 1.412,43/troy ounce.
Angka pertumbuhan ekonomi China kuartal II-2019 dibacakan sebesar 6,2% secara tahunan (year-on-yar/YoY) oleh Biro Statistik Nasional (National Bureau of Statistics/NBS). Itu merupakan pertumbuhan ekonomi paling lambat sejak 1992 atau dalam 27 tahun terakhir.
Dampak dari eskalasi perang dagang dengan Amerika Serikat (AS) terbukti mampu membuat ekonomi Negeri Tirai Bambu semakin tertekan.
Mengingat China merupakan negara dengan perekonomian terbesar ke dua di dunia, maka dampaknya juga akan merebak ke negara-negara lain.
Alhasil risiko perlambatan ekonomi global masih akan terus menghantui pelaku pasar dan membuat investasi pada aset berisiko agak dihindari.
Dalam kesempatan tersebut, emas masih dipertahankan sebagai instrumen pelindung nilai (hedging) karena fluktuasi nilainya yang relatif kecil.
Akan tetapi, bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi yang buruk, penjualan barang-barang ritel China pada bulan Juni tercatat naik 9,5% YoY. Angka pertumbuhan tersebut jauh lebih tinggi ketimbang prediksi konsensus yang hanya 8,5% dan merupakan yang paling besar sejak April 2018, mengutip Trading Economics.
Ada pula pertumbuhan barang-barang industrial China bulan Juni juga naik hingga 6,3% YoY yang juga lebih tinggi dibanding prediksi konsensus sebesar 5,2% YoY.
Data tersebut menunjukkan tingkat konsumsi penduduk Negeri Panda yang masih kuat, di tengah gejolak perekonomian yang melanda. Sama halnya dengan Indonesia, konsumsi di China juga merupakan komponen terbesar dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Kala Konsumsi masih terjaga, ada peluang pertumbuhan ekonomi ke depan tidak anjlok terlalu dalam.
Dengan begitu kekhawatiran investor akan kondisi ekonomi global ke depan dapat diredam. Alhasil pelaku pasar belum ada keinginan untuk menambak koleksi emas.
Namun, pelaku pasar juga masih menantikan keputusan suku bunga acuan Bank Sentral AS, The Fed yang akan dibacakan akhir bulan Juli.
Mengutip CME Fedwatch hari Senin (15/7/2019) pukul 09:15 WIB, probabilitas The Fed menurunkan suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR) pada rapat Komite Pengambil Kebijakan (FOMC) bulan Juli mencapai 100%.
Kemungkinan FFR turun 25 basis poin mencapai 74,4%, sedangkan peluang turun 50 basis poin sebesar 25,6%.
Dengan adanya penurunan suku bunga acuan, kegiatan usaha akan mendapatkan stimulus berupa peningkatan likuiditas. Fasilitas kredit semakin murah, ekspansi bisnis bisa di gas.
Bila FFR benar-benar dipangkas, terlebih dengan sangat agresif, maka nilai tukar dolar akan rentan terkoreksi akibat banjir likuiditas.
Aset-aset berbasis dolar akan berisiko terkoreksi akibat perbedaan nilai tukar. Dalam kesempatan tersebut, investor masih berjaga-jaga untuk segera mengoleksi emas agar koreksi nilai aset bisa diminimalisasi.
Harga emas juga lebih murah saat kurs dolar AS melemah bagi pemegang mata uang lain. Sebab, emas di pasar global ditransaksikan dalam dolar AS.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(taa/hps) Next Article Harga Emas Tertatih untuk Bangkit
Most Popular