Siap-siap, Pekan Depan Kayaknya Bakal Sibuk!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 July 2019 19:34
Siap-siap, Pekan Depan Kayaknya Bakal Sibuk!
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan depan sepertinya akan menjadi periode yang sibuk bagi pelaku pasar keuangan Indonesia. Rilis berbagai data penting dan beberapa momentum penting tidak bisa dikesampingkan, harus terus dipantau, karena bisa menjadi sentimen penggerak pasar. 

Pekan ini, kinerja pasar keuangan Indonesia bervariasi cenderung menguat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah sangat tipis 0,002%, stagnan lah. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 0,58% dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun menguat tipis 1,4 basis poin (bps). 

Bank Sentral AS (The Federal Reserves/The Fed) begitu mewarnai perjalanan pasar pekan ini. Pertama adalah paparan Ketua The Fed Jerome 'Jay' Powell di hadapan Komite Perbankan Senat selama dua hari. Pengganti Janet Yellen itu memberikan gambaran proyeksi ekonomi terkini. 

Pada hari pertama, nada yang keluar dari mulut Powell begitu minor. Ini terlihat dari kata ketidakpastian (uncertainty) yang mencapai 26 kali. 

"Manufaktur, perdagangan, dan investasi begitu lemah di penjuru dunia. Kita memang melihat AS dan China memulai kembali proses negosiasi, tetapi itu tidak menghapus yang namanya ketidakpastian. 

"Data-data yang masuk dan berbagai perkembangan yang ada menunjukkan ketidakpastian karena tensi perdagangan dan perlambatan ekonomi global telah dan terus membebani perekonomian AS. Investasi dunia usaha sepertinya melambat," papar Powell di depan Senat AS, seperti diwartakan Reuters. 

Paparan Powell menjadi kode keras bahwa The Fed siap menurunkan suku bunga acuan. Kemungkinan Federal Funds Rate akan mulai diturunkan akhir bulan ini, dan diramal terjadi dua kali lagi sampai akhir 2019.
 

Kode itu semakin terkonfirmasi di pidato Powell pada hari kedua. Bahkan kali ini sudah dengan cukup gamblang menyatakan The Fed mempertimbangkan secara serius untuk menurunkan suku bunga acuan. 

"Saya rasa kolega-kolega di FOMC (Federal Open Market Committee, komite pengambil kebijakan The Fed) sampai pada pandangan bahwa sudah cukup layak untuk menerapkan kebijakan moneter yang lebih akomodatif.

"Dunia usaha mulai menunda investasinya. Kami melihat investasi melemah setelah cukup kuat pada 2017 dan 2018. Investasi sangat penting, dan sudah terlihat ada perlambatan karena ketidakpastian perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global," papar Powell dalam paparan hari kedua, seperti dikutip dari Reuters. 
 

Peristiwa kedua adalah rilis notula rapat (minutes of meeting) FOMC edisi Juni 2019. Seperti halnya pidato Powell di Senat, ternyata suasana rapat FOMC juga cukup muram. 

"Sejumlah peserta rapat telah merevisi proyeksi angka pengangguran dalam jangka menengah, dan hasilnya adalah tekanan inflasi semakin berkurang. Ini menjadi kondisi yang memungkinkan terjadinya penurunan suku bunga acuan," sebut notula rapat The Fed.  

Pidato Powell dan minutes of meeting FOMC membuat pelaku pasar kembali berani bertaruh The Fed bisa menurunkan suku bunga acuan tiga kali sepanjang 2019. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas Federal Funds Rate turun 75 bps atau tiga kali adalah 37,2%. Lebih tinggi ketimbang turun 50 bps atau dua kali yaitu 34,2%. 

Akibatnya, berinvestasi di dolar AS menjadi kurang menarik karena tidak ada lagi pemanis dari sisi suku bunga. Arus modal berhamburan keluar dari dolar AS dan hinggap ke berbagai negara, termasuk Indonesia. 

Bagaimana dengan pekan ini? Apa saja sentimen yang perlu dicermati investor? 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari dalam negeri, ada sejumlah rilis data penting yang wajib diperhatikan. Pertama adalah data perdagangan internasional Indonesia periode Juni. 

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi alias minus 8,3% year-on-year (YoY). Sementara impor diperkirakan negatif 5,26% YoY dan neraca perdagangan diramal surplus US$ 516 juta. 

Sedangkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan ekspor turun 8,7% YoY dan impor terkontraksi 5%. Neraca perdagangan diproyeksikan surplus US$ 690 juta. 


Potensi surplus neraca perdagangan selama dua bulan beruntun menjadi sentimen positif bagi rupiah dan aset-aset berbasis mata uang ini. Artinya ketersediaan valas dari sektor perdagangan semakin membaik. 

Kedua adalah pengumuman suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) pada Kamis mendatang. Sejauh ini, konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate turun 25 bps menjadi 5,75%. Jika terwujud, maka akan menjadi perubahan pertama sejak November tahun lalu. 

 


"Kami memperkirakan BI akan menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 5,75%. Sepertinya BI semakin nyaman karena prospek derasnya arus modal masuk," sebut Helmi Arman, Ekonom Citi. 

Arus modal di sektor keuangan akan menutup 'lubang' pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa alias transaksi berjalan (current account). Dengan begitu, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) secara keseluruhan tetap bisa surplus sehingga pasokan valas di perekonomian nasional memadai. Rupiah pun punya pijakan yang kuat, tidak mudah 'digoyang'. 

Jadi kekhawatiran soal stabilitas rupiah sepertinya bisa dikesampingkan oleh Gubernur Perry Warjiyo dan kolega. Oleh karena itu, peluang penurunan suku bunga acuan cukup besar. 

Ketiga, kali ini bukan soal data, adalah pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan eks pesaingnya di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, Prabowo Subianto. Pertemuan kemarin adalah yang pertama selepas pesta demokrasi. 

Jokowi dan Prabowo sama-sama naik kereta Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta. Setelah itu, keduanya menikmati santap siang bersama.  

Jokowi dan Prabowo juga sempat menggelar konferensi pers. Dua kuda pacu yang juga bersaing di Pilpres 2014 itu sepakat untuk mengakhiri berbagai perbedaan dan bersatu untuk membangun Indonesia. 

Adem. Suasana yang selama kurang lebih setahun panas kini sudah dingin. Kompetisi politik sudah selesai, dan energi bangsa Indonesia bisa dicurahkan untuk pembangunan.


Sebelumnya, ketidakpastian dan suhu panas politik menjadi batu sandungan bagi pelaku pasar. Investor belum berani menanamkan modalnya secara agresif di Indonesia, karena faktor tersebut. 

Namun kini ketidakpastian itu sirna. Investor tidak perlu lagi khawatir dengan tensi politik yang meninggi. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Sedangkan dari sisi eksternal, ada beberapa rilis data penting yang patut disimak. Di Asia, sejumlah data yang bisa menggerakkan pasar adalah pertumbuhan ekonomi China kuartal II-2019, perdagangan internasional Jepang periode Juni, dan suku bunga acuan Korea Selatan. 

Sementara di AS, data-data yang perlu mendapat perhatian adalah pembangunan rumah baru (housing starts) periode Juni, penjualan ritel periode Juni, dan produksi industrial periode Juni. Di Eropa, pelaku pasar patut memperhatikan angka pengangguran Inggris periode Mei, penjulan ritel dan inflasi Inggris periode Juni, serta perdagangan internasional Zona Euro periode Juni. 

Selain data, ada baiknya investor memasang mata dan telinga mengenai perkembangan dialog dagang AS-China. Setelah pekan ini berdialog via telepon, Washington dan Beijing siap 'kopi darat' untuk melanjutkan negosiasi yang sempat terputus. 


"Kepala Perwakilan Dagang Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin akan berangkat ke Beijing dalam waktu dekat. Namun saat ini, menurut saya, kami sedang dalam masa tenang dalam bernegosiasi," ungkap David Navarro, Penasihat Perdagangan Gedung Putih, seperti dikutip dari Reuters. 

Masa tenang bukan berarti tidak ada informasi atau gosip-gosip yang beredar. Oleh karena itu, investor harus memasang mode waspada kalau-kalau ada perkembangan seputar negosiasi AS-China. 

Jadi, lumayan banyak sentimen yang harus diperhatikan oleh pelaku pasar. Hari-hari sibuk sudah berada di depan mata, jangan lengah...


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular