
Di Kurs Tengah BI dan Pasar Spot, Performa Rupiah Meyakinkan!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 July 2019 10:43

Setelah perkasa sejak awal pekan, dolar AS kini memasuki fase konsolidasi. Pada pukul 10:14 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,23%.
Selain koreksi teknikal karena sudah menguat cukup lama, pelemahan dolar AS sebagian besar disebabkan oleh dua peristiwa yang terkait dengan Bank Sentral AS, The Federal Reserves/The Fed. Pertama adalah testimoni atau pemaparan Ketua The Fed Jerome 'Jay' Powell di depan Komite Perbankan Senat AS.
Dalam paparan tersebut, ada satu kata kunci yang sering keluar dari mulut sang pengganti Janet Yellen yaitu uncertainty alias ketidakpastian. Kata itu muncul sampai 26 kali!
"Berdasarkan data-data yang masuk sampai saat ini dan berbagai perkembangan lainnya, terlihat bahwa ketidakpastian akibat tensi perdagangan dan perekonomian global menjadi beban bagi prospek ekonomi AS," kata Powell, dikutip dari Reuters.
Aura gloomy juga terpancar dari peristiwa kedua yaitu rilis notula rapat (minutes of meeting) komite pengambil kebijakan The Fed atau Federal Open Market Committee/FOMC. Dalam rapat itu, suasana muram tergambar cukup jelas.
"Sejumlah peserta rapat telah merevisi proyeksi angka pengangguran dalam jangka menengah, dan hasilnya adalah tekanan inflasi semakin berkurang. Ini menjadi kondisi yang memungkinkan terjadinya penurunan suku bunga acuan," sebut notula rapat FOMC.
Risiko ekonomi global yang tinggi, perlambatan ekonomi AS, revisi proyeksi angka pengangguran, dan tekanan inflasi yang minimal membuat Negeri Paman Sam butuh stimulus baru. Stimulus itu adalah pelonggaran kebijakan moneter alias penurunan suku bunga acuan.
Selepas pidato Powell dan rilis minutes of meeting FOMC, pelaku pasar kembali yakin Federal Funds Rate akan diturunkan cukup agresif. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas pemangkasan suku bunga acuan sampai 75 basis poin (bps) atau tiga kali sampai akhir 2019 adalah 36,9%. Lebih tinggi ketimbang penurunan 50 bps atau dua kali yaitu 33,6%.
Akibatnya, berinvestasi di dolar AS menjadi kurang menarik karena tidak ada insentif dari sisi suku bunga. Arus modal menjauhi dolar AS dan masuk ke instrumen-instrumen berisiko di Asia sehingga membuat rupiah dkk begitu perkasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Dalam paparan tersebut, ada satu kata kunci yang sering keluar dari mulut sang pengganti Janet Yellen yaitu uncertainty alias ketidakpastian. Kata itu muncul sampai 26 kali!
Aura gloomy juga terpancar dari peristiwa kedua yaitu rilis notula rapat (minutes of meeting) komite pengambil kebijakan The Fed atau Federal Open Market Committee/FOMC. Dalam rapat itu, suasana muram tergambar cukup jelas.
"Sejumlah peserta rapat telah merevisi proyeksi angka pengangguran dalam jangka menengah, dan hasilnya adalah tekanan inflasi semakin berkurang. Ini menjadi kondisi yang memungkinkan terjadinya penurunan suku bunga acuan," sebut notula rapat FOMC.
Risiko ekonomi global yang tinggi, perlambatan ekonomi AS, revisi proyeksi angka pengangguran, dan tekanan inflasi yang minimal membuat Negeri Paman Sam butuh stimulus baru. Stimulus itu adalah pelonggaran kebijakan moneter alias penurunan suku bunga acuan.
Selepas pidato Powell dan rilis minutes of meeting FOMC, pelaku pasar kembali yakin Federal Funds Rate akan diturunkan cukup agresif. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas pemangkasan suku bunga acuan sampai 75 basis poin (bps) atau tiga kali sampai akhir 2019 adalah 36,9%. Lebih tinggi ketimbang penurunan 50 bps atau dua kali yaitu 33,6%.
Akibatnya, berinvestasi di dolar AS menjadi kurang menarik karena tidak ada insentif dari sisi suku bunga. Arus modal menjauhi dolar AS dan masuk ke instrumen-instrumen berisiko di Asia sehingga membuat rupiah dkk begitu perkasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular