
Ada Kabar Baik dari AS, Harga Minyak Langsung Ngebut
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
10 July 2019 08:59

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia melesat hingga 1% seiring dengan proyeksi penurunan inventori di Amerika Serikat (AS).
Pada perdagangan hari Rabu (10/7/2019) pukul 09:00 WIB, harga minyak Brent kontrak pengiriman September menguat 1,09% ke level US$ 64,86/barel. Adapun harga minyak light sweet (West Texas Intermediate/WTI) meroket 1,49% menjadi US$ 58,69/barel.
Stok minyak mentah Negeri Paman Sam untuk minggu yang berakhir pada 5 Juli 2019 diprediksi turun hingga 8,1 juta barel oleh grup industri American Petroleum Institute (API), Selasa (9/7/2019).
Sementara konsensus analis yang dihimpun Reuters memperkirakan stok minyak AS akan berkurang sebesar 3,1 juta barel pada periode yang sama.
Data inventori resmi pemerintah AS akan dirilis pada malam Rabu (10/7/2019) malam pukul 21:30 WIB oleh Energy Information Administration (EIA).
Jika penurunan inventori dikonfirmasi oleh EIA, atau bahkan lebih dalam, maka akan harga minyak sekali lagi akan mendapat energi positif dan berpeluang menguat. Terlebih, itu akan menjadi penurunan stok pekan keempat secara berturut-turut.
Selain itu harga minyak juga masih mendapat dorongan ke atas dari kesepakatan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya untuk melanjutkan pengurangan produksi hingga Maret 2020.
Seperti yang telah diketahui, pada awal Desember 2018 OPEC+ (OPEC dan sekutunya termasuk Rusia) sepakat untuk memangkas produksi minyak sebesar 1,2 juta barel/hari sepanjang Januari-Juni 2019.
Selanjutnya pada awal Juli 2019, OPEC+ kembali melakukan pertemuan dan memutuskan perpanjangan waktu pemangkasan produksi selama sembilan bulan.
Memang, tidak ada tambahan kuota pengurangan produksi. Namun setidaknya juga tidak ada lonjakan pasokan dari OPEC+. Selain itu, Arab Saudi sudah beberapa kali memberi sinyal akan mengurangi produksi lebih banyak jika 'dibutuhkan'.
Akan tetapi, sentimen negatif yang membebani harga minyak juga masih tetap ada. Salah satunya adalah produksi minyak AS yang terus meningkat.
Dalam laporan prospek jangka pendek yang dirilis hari Selasa (9/7/2019), EIA memperkirakan produksi minyak AS tahun 2019 akan kembali menembus rekor tertinggi sebesar 12,36 juta barel/hari.
Peningkatan produksi dari AS memang menjadi musuh utama di pasar minyak global dalam beberapa tahun terakhir. Terhitung sejak awal 2018, jumlah produksinya telah naik lebih dari 2 juta barel/hari.
Bahkan di akhir tahun 2018, AS resmi menyandang status negara dengan produksi minyak terbesar di dunia, menyalip Arab Saudi dan Rusia.
Selain itu harga minyak juga masih mendapat beban dari proyeksi pertumbuhan permintaan minyak dunia yang semakin melemah.
Penyebabnya adalah eskalasi perang dagang AS-China. Presiden AS Donald Trump telah meningkatkan tarif masuk produk China senilai US$ 200 miliar menjadi 25% (dari sedianya 10%) pada Mei 2019 silam. Pemerintah China pun membalas dengan kenaikan tarif antara 5-25% untuk produk made in USA senilai US$ 60 miliar.
Tidak lama setelahnya, tiga lembaga yang memantau keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) global kompak menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan minyak di tahun 2019.
Tiga lembaga tersebut adalah EIA, OPEC, dan International Energy Agency (IEA), yang mana masing-masing menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan tahun 2019 sebesar 160.000 barel/hari, 70.000 barel/hari, dan 100.000 barel/hari.
Maklum, perang dagang dua raksasa ekonomi akan menyebabkan rantai pasokan dunia terhambat. Perlambatan ekonomi global pun sulit untuk dihentikan.
Alhasil Pertumbuhan permintaan energi, yang salah satunya adalah minyak, juga ikut terseret ke bawah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Pada perdagangan hari Rabu (10/7/2019) pukul 09:00 WIB, harga minyak Brent kontrak pengiriman September menguat 1,09% ke level US$ 64,86/barel. Adapun harga minyak light sweet (West Texas Intermediate/WTI) meroket 1,49% menjadi US$ 58,69/barel.
Sementara konsensus analis yang dihimpun Reuters memperkirakan stok minyak AS akan berkurang sebesar 3,1 juta barel pada periode yang sama.
Data inventori resmi pemerintah AS akan dirilis pada malam Rabu (10/7/2019) malam pukul 21:30 WIB oleh Energy Information Administration (EIA).
Jika penurunan inventori dikonfirmasi oleh EIA, atau bahkan lebih dalam, maka akan harga minyak sekali lagi akan mendapat energi positif dan berpeluang menguat. Terlebih, itu akan menjadi penurunan stok pekan keempat secara berturut-turut.
Selain itu harga minyak juga masih mendapat dorongan ke atas dari kesepakatan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya untuk melanjutkan pengurangan produksi hingga Maret 2020.
Seperti yang telah diketahui, pada awal Desember 2018 OPEC+ (OPEC dan sekutunya termasuk Rusia) sepakat untuk memangkas produksi minyak sebesar 1,2 juta barel/hari sepanjang Januari-Juni 2019.
Selanjutnya pada awal Juli 2019, OPEC+ kembali melakukan pertemuan dan memutuskan perpanjangan waktu pemangkasan produksi selama sembilan bulan.
Memang, tidak ada tambahan kuota pengurangan produksi. Namun setidaknya juga tidak ada lonjakan pasokan dari OPEC+. Selain itu, Arab Saudi sudah beberapa kali memberi sinyal akan mengurangi produksi lebih banyak jika 'dibutuhkan'.
Akan tetapi, sentimen negatif yang membebani harga minyak juga masih tetap ada. Salah satunya adalah produksi minyak AS yang terus meningkat.
Dalam laporan prospek jangka pendek yang dirilis hari Selasa (9/7/2019), EIA memperkirakan produksi minyak AS tahun 2019 akan kembali menembus rekor tertinggi sebesar 12,36 juta barel/hari.
Peningkatan produksi dari AS memang menjadi musuh utama di pasar minyak global dalam beberapa tahun terakhir. Terhitung sejak awal 2018, jumlah produksinya telah naik lebih dari 2 juta barel/hari.
Bahkan di akhir tahun 2018, AS resmi menyandang status negara dengan produksi minyak terbesar di dunia, menyalip Arab Saudi dan Rusia.
Selain itu harga minyak juga masih mendapat beban dari proyeksi pertumbuhan permintaan minyak dunia yang semakin melemah.
Penyebabnya adalah eskalasi perang dagang AS-China. Presiden AS Donald Trump telah meningkatkan tarif masuk produk China senilai US$ 200 miliar menjadi 25% (dari sedianya 10%) pada Mei 2019 silam. Pemerintah China pun membalas dengan kenaikan tarif antara 5-25% untuk produk made in USA senilai US$ 60 miliar.
Tidak lama setelahnya, tiga lembaga yang memantau keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) global kompak menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan minyak di tahun 2019.
Tiga lembaga tersebut adalah EIA, OPEC, dan International Energy Agency (IEA), yang mana masing-masing menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan tahun 2019 sebesar 160.000 barel/hari, 70.000 barel/hari, dan 100.000 barel/hari.
Maklum, perang dagang dua raksasa ekonomi akan menyebabkan rantai pasokan dunia terhambat. Perlambatan ekonomi global pun sulit untuk dihentikan.
Alhasil Pertumbuhan permintaan energi, yang salah satunya adalah minyak, juga ikut terseret ke bawah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Most Popular