Peringkat Terbaik Rupiah Hari Ini: Ketiga dari Bawah...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 July 2019 17:27
Peringkat Terbaik Rupiah Hari Ini: Ketiga dari Bawah...
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Rupiah melemah sejak pembukaan pasar, tidak pernah mencicipi zona hijau barang sedetik saja. 

Pada Senin (8/7/2019), US$ 1 setara dengan Rp 14.105 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,18% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 

Kala pembukaan pasar, rupiah melemah 0,21%. Selepas itu depresiasi rupiah semakin dalam, bahkan sempat mencapai minus 0,5%. 

Jelang tengah hari, pelemahan rupiah agak menipis. Akhirnya rupiah finis dengan depresiasi 0,18%. 

Berikut perjalanan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini: 



Sore ini, sejumlah mata uang Asia yang sempat tertekan oleh dolar AS mulai bisa melawan balik. Yuan China, yen Jepang, peso Filipina, baht Thailand, sampai dolar Taiwan berhasil menguat. 

Sayangnya momentum buat rupiah dibatasi oleh jam perdagangan. Rupiah pun hanya bisa menipiskan pelemahan, tidak bisa menyeberang ke zona hijau. 

Namun setidaknya kini rupiah bukan lagi mata uang terlemah di Asia. Kini 'gelar' tersebut disandang oleh won Korea Selatan. Rupiah menempati peringkat ketiga terbawah, yang sayangnya menjadi posisi terbaik hari ini. Bukan start yang bagus untuk memulai pekan.

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 16:09 WIB: 

 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Faktor domestik sedikit banyak menjadi beban bagi langkah rupiah hari ini. Rupiah rentan terserang koreksi teknikal karena pekan lalu seolah menguat sendirian di Asia. 

Sepanjang minggu kemarin, rupiah menguat 0,32% terhadap dolar AS secara point-to-point. Dalam periode yang sama, ringgit Malaysia melemah 0,1%, dolar Singapura terdepresiasi 0,53%, baht Thailand melemah 0,33%, won Korea Selatan anjlok 1,66%, dan yuan China melemah 0,4%. 


Sentimen lain yang menjadi beban bagi mata uang Tanah Air adalah proyeksi pertumbuhan ekonomi domestik. Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia (BI), memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 melandai alias tidak jauh beda dengan kuartal sebelumnya. 

Padahal kuartal II-2019 bisa dibilang puncak pertumbuhan ekonomi karena ada momentum Ramadan-Idul Fitri. Plus Pemilu 2019 yang ikut mendongrak konsumsi rumah tangga. 

Pada kuartal III dan IV sudah tidak ada lagi momentum seperti itu, puncak sudah lewat. Jadi prospek pertumbuhan ekonomi sepanjang 2019 sepertinya kurang cerah, masih mepet di 5%. Tidak ada percepatan yang signifikan.


Sementara di sisi eksternal, pelaku pasar khawatir Bank Sentral AS (The Federal Reserves/The Fed) tidak akan terlalu agresif menurunkan suku bunga acuan. Pasalnya, data ketenagakerjaan menunjukkan ekonomi AS masih ekspansif. 

Pada Juni, perekonomian Negeri Paman Sam menciptakan 224.000 lapangan kerja. Ini menjadi angka tertinggi sejak Januari. 

Dengan pelaku usaha yang masih membuka lapangan kerja, apakah ekonomi AS perlu stimulus lebih lanjut berupa penurunan suku bunga acuan secara agresif? Jangan-jangan belum perlu? Jangan-jangan 25 basis poin saja sudah cukup? 

Pemikiran ini menjadi pendorong penguatan dolar AS. Walau masih ada penurunan suku bunga, tetapi tidak terlampau berlebihan sehingga berinvestasi di dolar AS masih cukup menguntungkan. 

Arus modal pun seakan menghindar dari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia. Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 213,22 miliar yang membuat Indeks Harga saham Gabungan terkoreksi 0,34%. Minimnya aliran modal membuat rupiah kekurangan 'darah' dan tidak punya pilihan selain melemah.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular