Sampai Tengah Hari, Rupiah Masih Beredar di 'Zona Degradasi'

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 July 2019 12:45
Sampai Tengah Hari, Rupiah Masih Beredar di 'Zona Degradasi'
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hingga siang ini. Rupiah masih sulit lepas dari status salah satu mata uang terlemah di Asia.

Pada Senin (8/7/2019) pukul 12:19 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.125. Rupiah melemah 0,32% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.

Kala pembukaan pasar, rupiah sudah melemah 0,21%. Kemudian depresiasi rupiah semakin parah hingga mencapai minus 0,5%.


Namun kemudian nasib rupiah membaik, meski masih jauh dari zona hijau. Dolar AS terlihat begitu nyaman di kisaran Rp 14.100.

Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah hingga tengah hari ini:



Pelemahan rupiah yang menipis membuatnya terangkat dari dasar klasemen mata uang utama Asia. Kini rupiah bukan lagi mata uang terlemah di Asia, tetapi naik satu setrip ke posisi terlemah kedua.

Posisi rupiah di dasar klasemen digantikan oleh won Korea Selatan. Namun rupiah masih bergerak di 'zona degradasi'.

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:29 WIB:





(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Faktor domestik dan eksternal memang membuat rupiah sulit menguat. Dari dalam negeri, rupiah rentan terserang koreksi teknikal karena pekan lalu seolah menguat sendirian di Asia. 

Sepanjang minggu kemarin, rupiah menguat 0,32% terhadap dolar AS secara point-to-point. Dalam periode yang sama, ringgit Malaysia melemah 0,1%, dolar Singapura terdepresiasi 0,53%, baht Thailand melemah 0,33%, won Korea Selatan anjlok 1,66%, dan yuan China melemah 0,4%. 


Sementara dari sisi eksternal, banyak hal yang membuat rupiah (dan mata uang Asia) menyerah di hadapan dolar AS. Pertama adalah kegalauan investor menyikapi rilis data ketenagakerjaan AS yang dirilis akhir pekan lalu. 

Di satu sisi, penciptaan lapangan kerja di Negeri Paman Sam melonjak tajam menjadi 224.000 ribu pada Juni. Jauh melampaui bulan sebelumnya yang direvisi menjadi 72.000 dan konsensus pasar yaitu 160.000. Angka 224.000 menjadi yang tertinggi sejak Januari. 

Namun di sisi lain, angka pengangguran AS malah naik dari 3,6% pada Mei menjadi 3,7% pada Juni. Ini di atas ekspektasi pasar yang memperkirakan angka pengangguran bertahan di 3,6%. 

Oleh karena itu, muncul sedikit (sedikit saja, tidak usah banyak-banyak) keraguan bahwa Bank Sentral AS The Federal Reserves/The Fed akan menurunkan suku bunga acuan pada rapat 31 Juli mendatang. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas penurunan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,25% saat ini adalah 93,1%. Turun dari kemarin yang mencapai 94,6%. 

Jadi tampaknya investor memilih untuk menunggu petunjuk selanjutnya mengenai arah kebijakan moneter Negeri Adidaya sebelum menentukan pilihan. Sikap hati-hati seperti ini membuat instrumen berisiko di negara-negara berkembang kekurangan peminat, sehingga wajar mata uang Asia melemah berjamaah. 

"Kami mengurangi eksposur di instrumen yang kami pandang underweight," ungkap Andrew Sheets, Strategist Morgan Stanley yang berbasis di London, seperti dikutip dari Reuters. 


Kedua, data ekonomi di Jepang seperti 'mengusir' investor keluar dari Asia. Pemesanan mesin inti (di luar komponen kapal dan elektronik) di Jepang turun 3,7% year-on-year (YoY) pada Mei.  

Ini menjadi penurunan paling tajam dalam delapan bulan terakhir. Data di Negeri Matahari Terbit menunjukkan perlambatan ekonomi di Asia (dan dunia) semakin nyata.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular