
Sampai Tengah Hari, Rupiah Masih Beredar di 'Zona Degradasi'
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 July 2019 12:45

Faktor domestik dan eksternal memang membuat rupiah sulit menguat. Dari dalam negeri, rupiah rentan terserang koreksi teknikal karena pekan lalu seolah menguat sendirian di Asia.
Sepanjang minggu kemarin, rupiah menguat 0,32% terhadap dolar AS secara point-to-point. Dalam periode yang sama, ringgit Malaysia melemah 0,1%, dolar Singapura terdepresiasi 0,53%, baht Thailand melemah 0,33%, won Korea Selatan anjlok 1,66%, dan yuan China melemah 0,4%.
Sementara dari sisi eksternal, banyak hal yang membuat rupiah (dan mata uang Asia) menyerah di hadapan dolar AS. Pertama adalah kegalauan investor menyikapi rilis data ketenagakerjaan AS yang dirilis akhir pekan lalu.
Di satu sisi, penciptaan lapangan kerja di Negeri Paman Sam melonjak tajam menjadi 224.000 ribu pada Juni. Jauh melampaui bulan sebelumnya yang direvisi menjadi 72.000 dan konsensus pasar yaitu 160.000. Angka 224.000 menjadi yang tertinggi sejak Januari.
Namun di sisi lain, angka pengangguran AS malah naik dari 3,6% pada Mei menjadi 3,7% pada Juni. Ini di atas ekspektasi pasar yang memperkirakan angka pengangguran bertahan di 3,6%.
Oleh karena itu, muncul sedikit (sedikit saja, tidak usah banyak-banyak) keraguan bahwa Bank Sentral AS The Federal Reserves/The Fed akan menurunkan suku bunga acuan pada rapat 31 Juli mendatang. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas penurunan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,25% saat ini adalah 93,1%. Turun dari kemarin yang mencapai 94,6%.
Jadi tampaknya investor memilih untuk menunggu petunjuk selanjutnya mengenai arah kebijakan moneter Negeri Adidaya sebelum menentukan pilihan. Sikap hati-hati seperti ini membuat instrumen berisiko di negara-negara berkembang kekurangan peminat, sehingga wajar mata uang Asia melemah berjamaah.
"Kami mengurangi eksposur di instrumen yang kami pandang underweight," ungkap Andrew Sheets, Strategist Morgan Stanley yang berbasis di London, seperti dikutip dari Reuters.
Kedua, data ekonomi di Jepang seperti 'mengusir' investor keluar dari Asia. Pemesanan mesin inti (di luar komponen kapal dan elektronik) di Jepang turun 3,7% year-on-year (YoY) pada Mei.
Ini menjadi penurunan paling tajam dalam delapan bulan terakhir. Data di Negeri Matahari Terbit menunjukkan perlambatan ekonomi di Asia (dan dunia) semakin nyata.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Sepanjang minggu kemarin, rupiah menguat 0,32% terhadap dolar AS secara point-to-point. Dalam periode yang sama, ringgit Malaysia melemah 0,1%, dolar Singapura terdepresiasi 0,53%, baht Thailand melemah 0,33%, won Korea Selatan anjlok 1,66%, dan yuan China melemah 0,4%.
Sementara dari sisi eksternal, banyak hal yang membuat rupiah (dan mata uang Asia) menyerah di hadapan dolar AS. Pertama adalah kegalauan investor menyikapi rilis data ketenagakerjaan AS yang dirilis akhir pekan lalu.
Namun di sisi lain, angka pengangguran AS malah naik dari 3,6% pada Mei menjadi 3,7% pada Juni. Ini di atas ekspektasi pasar yang memperkirakan angka pengangguran bertahan di 3,6%.
Oleh karena itu, muncul sedikit (sedikit saja, tidak usah banyak-banyak) keraguan bahwa Bank Sentral AS The Federal Reserves/The Fed akan menurunkan suku bunga acuan pada rapat 31 Juli mendatang. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas penurunan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,25% saat ini adalah 93,1%. Turun dari kemarin yang mencapai 94,6%.
Jadi tampaknya investor memilih untuk menunggu petunjuk selanjutnya mengenai arah kebijakan moneter Negeri Adidaya sebelum menentukan pilihan. Sikap hati-hati seperti ini membuat instrumen berisiko di negara-negara berkembang kekurangan peminat, sehingga wajar mata uang Asia melemah berjamaah.
"Kami mengurangi eksposur di instrumen yang kami pandang underweight," ungkap Andrew Sheets, Strategist Morgan Stanley yang berbasis di London, seperti dikutip dari Reuters.
Kedua, data ekonomi di Jepang seperti 'mengusir' investor keluar dari Asia. Pemesanan mesin inti (di luar komponen kapal dan elektronik) di Jepang turun 3,7% year-on-year (YoY) pada Mei.
Ini menjadi penurunan paling tajam dalam delapan bulan terakhir. Data di Negeri Matahari Terbit menunjukkan perlambatan ekonomi di Asia (dan dunia) semakin nyata.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular