
Proyek Baru Bus Daerah di 2020, Sopir Tak Perlu Kejar Setoran
Efrem Siregar, CNBC Indonesia
05 July 2019 12:33

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) punya program pengembangan sistem buy the service pada angkutan umum perkotaan di daerah. Tujuaannya modernisasi kendaraan bus di kota-kota besar di Indonesia.
Sistem buy the service semacam "jual" pelayanan oleh pemerintah pusat kepada pihak swasta di daerah untuk memberikan pelayanan angkutan umum. Sistem ini digulirkan karena program sebelumnya soal transportasi bus oleh pemerintah pusat tak efektif. Pada program lama, pemerintah hanya bagi-bagi bus ke pemerintah daerah (pemda) tapi hasilnya transportasi umum di daerah malah jalan di tempat karena ada masalah sistem.
Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi mengatakan sistem buy the service rencananya akan diterapkan pada 2020. Ada 6 kota yang menjadi pilot project yaitu Medan, Solo, Bandung, Denpasar, Surabaya, dan Jogja.
Dia pun berencana untuk segera mengenalkannya kepada Pemerintah Daerah (Pemda) terkait. Operatornya akan diambil dari swasta.
"Karena untuk optimalisasi dan modernisasi kendaraan perkotaan, harus ada peran dari Pemerintah Daerah. Saya akan roadshow dan akan mempersentasikannya," kata Budi dalam konferensi pers di kantor Kemenhub, Jakarta, Jumat (5/7/2019).
Budi mengharapkan Pemda untuk membantu menyediakan infrastruktur pendukung seperti shelter bus. Ia menambahkan sudah membahas sistem buy the service bersama pakar dan APM.
"Begitu program ini bisa jalan, APM diharapkan bisa memberikan semacam kendaraan khusus sesuai dengan spesifikasi kita," jelas Budi.
Spesifikasi yang dimaksud Budi yaitu bus dengan jenis High Deck atau Low Deck tergantung dengan kebutuhan daerah.
Pada 2020, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat sudah punya program penataan angkutan umum di daerah dengan konsep Pembelian Layanan atau buy the service. Program ini semacam perbaikan dari program yang lama.
"Selama lebih dari 10 tahun, daerah hanya dibagikan sejumlah armada bus. Tidak menimbulkan layanan angkutan umum yang bagus di daerah," kata anggota Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno.
Ia memberikan catatan, tidak ada pola pembinaan dan pengawasan dari pusat dalam pengelolaan transportasi bus. Padahal, penataan angkutan umum sudah diamanahkan dalam UU 22/2009 tentang LLAJ, RPJMN 2015-2019 dan Rencana Strategi Kemenhub 2015-2019.
"Program ini tidak akan banyak menimbulkan gejolak di kalangan pengusaha angkutan umum jika sedini mungkin dilakukan sosialisasi. Sopir akan mendapat gaji bulanan, tidak dipusingkan dengan setoran pada pemilik armada," katanya.
Ia mengatakan pemilik armada bisa bergabung dalam satu badan hukum yang menjadi operator dan diberikan keuntungan dari biaya operasional yang diselenggarakan. Program ini murah, karena setiap koridor menghabiskan biaya operasional sekitar Rp 15 miliar hingga Rp 25 miliar per tahun. Namun, persisnya tergantung pilihan jenis armada yang dioperasikan dan headway yang ditetapkan.
"Setiap koridor dapat mempekerjakan 150 -200 pekerja tetap," katanya.
Djoko mengatakan kelebihan program bus di daerah dengan konsep buy the service, tidak perlu lagi harus membangun prasarana khusus, seperti perlintasan khusus pada O-Bahn.
(hoi/hoi) Next Article Pengusaha Otobus Tanggapi Rencana Kenaikan Tarif Tol
Sistem buy the service semacam "jual" pelayanan oleh pemerintah pusat kepada pihak swasta di daerah untuk memberikan pelayanan angkutan umum. Sistem ini digulirkan karena program sebelumnya soal transportasi bus oleh pemerintah pusat tak efektif. Pada program lama, pemerintah hanya bagi-bagi bus ke pemerintah daerah (pemda) tapi hasilnya transportasi umum di daerah malah jalan di tempat karena ada masalah sistem.
Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi mengatakan sistem buy the service rencananya akan diterapkan pada 2020. Ada 6 kota yang menjadi pilot project yaitu Medan, Solo, Bandung, Denpasar, Surabaya, dan Jogja.
Dia pun berencana untuk segera mengenalkannya kepada Pemerintah Daerah (Pemda) terkait. Operatornya akan diambil dari swasta.
"Karena untuk optimalisasi dan modernisasi kendaraan perkotaan, harus ada peran dari Pemerintah Daerah. Saya akan roadshow dan akan mempersentasikannya," kata Budi dalam konferensi pers di kantor Kemenhub, Jakarta, Jumat (5/7/2019).
Budi mengharapkan Pemda untuk membantu menyediakan infrastruktur pendukung seperti shelter bus. Ia menambahkan sudah membahas sistem buy the service bersama pakar dan APM.
"Begitu program ini bisa jalan, APM diharapkan bisa memberikan semacam kendaraan khusus sesuai dengan spesifikasi kita," jelas Budi.
Spesifikasi yang dimaksud Budi yaitu bus dengan jenis High Deck atau Low Deck tergantung dengan kebutuhan daerah.
"Selama lebih dari 10 tahun, daerah hanya dibagikan sejumlah armada bus. Tidak menimbulkan layanan angkutan umum yang bagus di daerah," kata anggota Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno.
Ia memberikan catatan, tidak ada pola pembinaan dan pengawasan dari pusat dalam pengelolaan transportasi bus. Padahal, penataan angkutan umum sudah diamanahkan dalam UU 22/2009 tentang LLAJ, RPJMN 2015-2019 dan Rencana Strategi Kemenhub 2015-2019.
"Program ini tidak akan banyak menimbulkan gejolak di kalangan pengusaha angkutan umum jika sedini mungkin dilakukan sosialisasi. Sopir akan mendapat gaji bulanan, tidak dipusingkan dengan setoran pada pemilik armada," katanya.
Ia mengatakan pemilik armada bisa bergabung dalam satu badan hukum yang menjadi operator dan diberikan keuntungan dari biaya operasional yang diselenggarakan. Program ini murah, karena setiap koridor menghabiskan biaya operasional sekitar Rp 15 miliar hingga Rp 25 miliar per tahun. Namun, persisnya tergantung pilihan jenis armada yang dioperasikan dan headway yang ditetapkan.
"Setiap koridor dapat mempekerjakan 150 -200 pekerja tetap," katanya.
Djoko mengatakan kelebihan program bus di daerah dengan konsep buy the service, tidak perlu lagi harus membangun prasarana khusus, seperti perlintasan khusus pada O-Bahn.
(hoi/hoi) Next Article Pengusaha Otobus Tanggapi Rencana Kenaikan Tarif Tol
Most Popular