
Semester I Melesat, Bagaimana Nasib Saham Bank Paruh Kedua?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
04 July 2019 14:02

Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang enam bulan pertama di tahun 2019, kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bisa dibilang sangat-sangat mengecewakan.
Sepanjang semester I-2019, sebenarnya IHSG masih memberikan imbal hasil yang positif, yakni sebesar 2,65%. Namun jika dibandingkan dengan indeks saham acuan dari negara-negara Asia lainnya, kinerja IHSG nyaris menjadi yang terburuk. IHSG hanya unggul dari indeks KLCI (Malaysia) yang terkoreksi 1,09%.
Walaupun kinerja IHSG mengecewakan, ternyata kinerja indeks sektoral ada yang oke. Dari sembilan klasifikasi sektor yang membentuk IHSG, terdapat dua sektor yang bisa mencatatkan imbal hasil dua digit pada semester I-2019, yakni Infrastruktur, Utilitas, & Transportasi serta Jasa Keuangan.
Di sini, kami akan membahas prospek sektor jasa keuangan pada semester II-2019. Untuk diketahui, saham-saham yang berkontribusi signifikan bagi kenaikan indeks sektor jasa keuangan pada semester I-2019 datang dari emiten-emiten perbankan, di antaranya: PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syariah Tbk (BTPS), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI).
Sepanjang semester I-2019, perbankan tanah air memang membukukan kinerja yang oke. Jika berbicara mengenai perbankan, tentu salah satu hal yang harus dilihat adalah dari sisi penyaluran kredit. Terkait penyaluran kredit, tahun 2019 memang terbilang lebih oke dari tahun 2018.
Hingga April 2019, OJK mencatat bahwa penyaluran kredit bank umum konvensional kepada pihak ketiga non-bank adalah senilai Rp 5.098,8 triliun, naik 11,2% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih baik ketimbang capaian pada April 2018 yakni pertumbuhan sebesar 9% saja (year-on-year/YoY).
Sayang, kencangnya penyaluran kredit ini tak dibarengi oleh kenaikan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK). Per April 2019, DPK bank umum konvensional tercatat senilai Rp 5.098,7 triliun, naik 6,6% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih rendah ketimbang capaian pada April 2018 yakni pertumbuhan sebesar 7,9% YoY.
Efek sampingnya, likuiditas pun menjadi ketat. Masih melansir publikasi SPI, rasio penyaluran kredit terhadap DPK atau Loan to Deposits Ratio (LDR) naik menjadi 94,25% pada April 2019, dari yang sebelumnya 90,43% pada April 2018.
Ketatnya likuiditas sudah terjadi sejak Mei 2018 silam atau ketika Bank Indonesia (BI) mulai mengerek naik tingkat suku bunga acuan yang jika kemudian ditotal mencapai 175 bps.
Likuiditas ketat karena bank bersaing secara sengit dengan pemerintah dalam menyerap dana masyarakat. Penyebabnya, semenjak BI mulai menginjak gas pengetatan, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah terus bergerak ke utara.
Karena likuiditas ketat, mau tak mau tingkat suku bunga deposito yang ditawarkan bank harus menarik. Di sisi lain, tingkat suku bunga kredit tak bisa dikerek naik lantaran perbankan takut kehilangan pangsa pasarnya. Yang ada, tingkat suku bunga justru cenderung dipangkas.
Per April 2018, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk modal kerja dan konsumsi denominasi rupiah tercatat masing-masing sebesar 10,57% dan 12,4%. Per April 2019, nilainya turun menjadi masing-masing sebesar 10,53% dan 11,62%.
Sementara itu, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk investasi denominasi rupiah naik tipis menjadi 10,31% pada April 2019, dari 10,3% pada April 2018.
Alhasil, marjin bunga bersih/Net Interest Margin (NIM) perbankan menjadi menipis. Sebagai informasi, NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.
Tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, sebuah bank bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama.
Pada April 2018, NIM bank umum konvensional berada di level 5,07%. Per April 2019, nilainya sudah ambruk menjadi 4,87% saja.
Sepanjang semester I-2019, sebenarnya IHSG masih memberikan imbal hasil yang positif, yakni sebesar 2,65%. Namun jika dibandingkan dengan indeks saham acuan dari negara-negara Asia lainnya, kinerja IHSG nyaris menjadi yang terburuk. IHSG hanya unggul dari indeks KLCI (Malaysia) yang terkoreksi 1,09%.
Di sini, kami akan membahas prospek sektor jasa keuangan pada semester II-2019. Untuk diketahui, saham-saham yang berkontribusi signifikan bagi kenaikan indeks sektor jasa keuangan pada semester I-2019 datang dari emiten-emiten perbankan, di antaranya: PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syariah Tbk (BTPS), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI).
Sepanjang semester I-2019, perbankan tanah air memang membukukan kinerja yang oke. Jika berbicara mengenai perbankan, tentu salah satu hal yang harus dilihat adalah dari sisi penyaluran kredit. Terkait penyaluran kredit, tahun 2019 memang terbilang lebih oke dari tahun 2018.
Hingga April 2019, OJK mencatat bahwa penyaluran kredit bank umum konvensional kepada pihak ketiga non-bank adalah senilai Rp 5.098,8 triliun, naik 11,2% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih baik ketimbang capaian pada April 2018 yakni pertumbuhan sebesar 9% saja (year-on-year/YoY).
Sayang, kencangnya penyaluran kredit ini tak dibarengi oleh kenaikan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK). Per April 2019, DPK bank umum konvensional tercatat senilai Rp 5.098,7 triliun, naik 6,6% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih rendah ketimbang capaian pada April 2018 yakni pertumbuhan sebesar 7,9% YoY.
Efek sampingnya, likuiditas pun menjadi ketat. Masih melansir publikasi SPI, rasio penyaluran kredit terhadap DPK atau Loan to Deposits Ratio (LDR) naik menjadi 94,25% pada April 2019, dari yang sebelumnya 90,43% pada April 2018.
Ketatnya likuiditas sudah terjadi sejak Mei 2018 silam atau ketika Bank Indonesia (BI) mulai mengerek naik tingkat suku bunga acuan yang jika kemudian ditotal mencapai 175 bps.
Likuiditas ketat karena bank bersaing secara sengit dengan pemerintah dalam menyerap dana masyarakat. Penyebabnya, semenjak BI mulai menginjak gas pengetatan, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah terus bergerak ke utara.
Karena likuiditas ketat, mau tak mau tingkat suku bunga deposito yang ditawarkan bank harus menarik. Di sisi lain, tingkat suku bunga kredit tak bisa dikerek naik lantaran perbankan takut kehilangan pangsa pasarnya. Yang ada, tingkat suku bunga justru cenderung dipangkas.
Per April 2018, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk modal kerja dan konsumsi denominasi rupiah tercatat masing-masing sebesar 10,57% dan 12,4%. Per April 2019, nilainya turun menjadi masing-masing sebesar 10,53% dan 11,62%.
Sementara itu, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk investasi denominasi rupiah naik tipis menjadi 10,31% pada April 2019, dari 10,3% pada April 2018.
Alhasil, marjin bunga bersih/Net Interest Margin (NIM) perbankan menjadi menipis. Sebagai informasi, NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.
Tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, sebuah bank bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama.
Pada April 2018, NIM bank umum konvensional berada di level 5,07%. Per April 2019, nilainya sudah ambruk menjadi 4,87% saja.
Pages
Most Popular