
Semester I Melesat, Bagaimana Nasib Saham Bank Paruh Kedua?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
04 July 2019 14:02

Untuk semester II-2019, sebenarnya ada kabar baik bagi perbankan tanah air. Kini, yield obligasi pemerintah Indonesia sudah berangsur-angsur turun. Namun, jika ingin saham-saham perbankan menjadi prospektif, rasanya diperlukan penurunan yield yang lebih dalam lagi.
Salah satu cara yang bisa ditempuh untuk menurunkan yield lebih dalam lagi adalah dengan memangkas tingkat suku bunga acuan. Kala tingkat suku bunga acuan di pangkas dan yield turun lebih dalam lagi, perbankan akan memiliki ruang untuk menurunkan tingkat suku bunga depositonya, namun di sisi lain tetap mempertahankan daya tarik instrumen tersebut.
Pada akhirnya, NIM bisa diperbesar sembari melonggarkan likuditas. Kombinasi dari kedua hal tersebut berpotensi untuk mengerek kinerja keuangan perbankan di tanah air.
Namun ya itu, pelaku pasar harus berharap bahwa akan ada pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI).
Pada bulan lalu, BI menggelar rapat selama dua hari yang dimulai pada hari Rabu dan berakhir pada hari Kamis (19-20 Juni). Selepas menggelar pertemuan selama dua hari tersebut, bank sentral memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan atau 7-Day Reverse Repo Rate di level 6%.
Ke depannya, BI juga masih ragu dalam memangkas tingkat suku bunga acuan. Gubernur BI Perry Warjiyo menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.
“…sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga,” kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).
Memang, Perry ada benarnya. Masalah NPI atau lebih tepatnya Current Account Deficit/CAD (yang merupakan komponen pembentuk NPI) menjadi momok kala BI berniat memangkas tingkat suku bunga acuan. Lantaran CAD Indonesia cukup besar, ada potensi bahwa aliran dana yang akan masuk ke pasar saham dan obligasi ketika tingkat suku acuan dipangkas akan segera dibawa kabur lantaran fundamental rupiah yang bermasalah.
Namun, apakah ruang pemangkasan menjadi tidak ada? Rasanya tidak. Guna mengakali masalah fundamental rupiah yang bermasalah, pemangkasan tingkat suku bunga acuan bisa dikombinasikan dengan kebijakan fiskal guna menjaga supaya hot money yang masuk tak mudah dibawa kabur.
Kebijakan fiskal yang saat ini tengah digodok pemerintah diketahui adalah pemangkasan tingkat pajak penghasilan (PPh) korporasi. Celakanya, kebijakan ini ternyata tak akan bisa diterapkan pada tahun ini.
Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan menyebutkan bahwa RUU KUP masih dalam pembahasan di DPR.
"Enggak berlaku tahun ini. Ini perlu UU dan tahun ini kan tinggal beberapa bulan lagi," ucap Robert.
Jadi, walaupun ada harapan bahwa emiten-emiten perbankan bisa membukukan kinerja yang kinclong di semester II-2019, peluangnya terbilang sangat-sangat kecil karena harus berharap BI akan memangkas tingkat suku bunga acuan, di mana hal itu sendiri nampak sulit untuk terealisasi.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/hps)
Salah satu cara yang bisa ditempuh untuk menurunkan yield lebih dalam lagi adalah dengan memangkas tingkat suku bunga acuan. Kala tingkat suku bunga acuan di pangkas dan yield turun lebih dalam lagi, perbankan akan memiliki ruang untuk menurunkan tingkat suku bunga depositonya, namun di sisi lain tetap mempertahankan daya tarik instrumen tersebut.
Pada akhirnya, NIM bisa diperbesar sembari melonggarkan likuditas. Kombinasi dari kedua hal tersebut berpotensi untuk mengerek kinerja keuangan perbankan di tanah air.
Pada bulan lalu, BI menggelar rapat selama dua hari yang dimulai pada hari Rabu dan berakhir pada hari Kamis (19-20 Juni). Selepas menggelar pertemuan selama dua hari tersebut, bank sentral memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan atau 7-Day Reverse Repo Rate di level 6%.
Ke depannya, BI juga masih ragu dalam memangkas tingkat suku bunga acuan. Gubernur BI Perry Warjiyo menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.
“…sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga,” kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).
Memang, Perry ada benarnya. Masalah NPI atau lebih tepatnya Current Account Deficit/CAD (yang merupakan komponen pembentuk NPI) menjadi momok kala BI berniat memangkas tingkat suku bunga acuan. Lantaran CAD Indonesia cukup besar, ada potensi bahwa aliran dana yang akan masuk ke pasar saham dan obligasi ketika tingkat suku acuan dipangkas akan segera dibawa kabur lantaran fundamental rupiah yang bermasalah.
Namun, apakah ruang pemangkasan menjadi tidak ada? Rasanya tidak. Guna mengakali masalah fundamental rupiah yang bermasalah, pemangkasan tingkat suku bunga acuan bisa dikombinasikan dengan kebijakan fiskal guna menjaga supaya hot money yang masuk tak mudah dibawa kabur.
Kebijakan fiskal yang saat ini tengah digodok pemerintah diketahui adalah pemangkasan tingkat pajak penghasilan (PPh) korporasi. Celakanya, kebijakan ini ternyata tak akan bisa diterapkan pada tahun ini.
Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan menyebutkan bahwa RUU KUP masih dalam pembahasan di DPR.
"Enggak berlaku tahun ini. Ini perlu UU dan tahun ini kan tinggal beberapa bulan lagi," ucap Robert.
Jadi, walaupun ada harapan bahwa emiten-emiten perbankan bisa membukukan kinerja yang kinclong di semester II-2019, peluangnya terbilang sangat-sangat kecil karena harus berharap BI akan memangkas tingkat suku bunga acuan, di mana hal itu sendiri nampak sulit untuk terealisasi.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/hps)
Pages
Most Popular