Prospek Semester II-2019

Semester I Terburuk di Asia, Mampukah Dikejar Paruh Kedua?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
01 July 2019 18:03
Tak Ada Dukungan Dari Sisi Fiskal
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Alasan kedua yang membuat BI menjadi sulit untuk memangkas tingkat suku bunga acuan adalah pemerintah tak berani memberikan dukungan berupa kebijakan fiskal.

Perry ada benarnya. Masalah NPI atau lebih tepatnya Current Account Deficit/CAD (yang merupakan komponen pembentuk NPI) menjadi momok kala BI berniat memangkas tingkat suku bunga acuan.

Lantaran CAD Indonesia cukup besar, ada potensi bahwa aliran dana yang akan masuk ke pasar saham dan obligasi ketika tingkat suku acuan dipangkas akan segera dibawa kabur lantaran fundamental rupiah yang bermasalah.

Guna menjaga supaya hot money yang masuk tak mudah dibawa kabur, tentu kebijakan moneter (pemangkasan tingkat suku bunga acuan) harus dikombinasikan dengan kebijakan fiskal.

Salah satu kebijakan fiskal yang bisa diambil oleh pemerintah adalah pemangkasan tingkat Pajak Penghasilan (PPh) korporasi. Sejatinya, wacana ini sudah begitu lama dilontarkan sendiri oleh pemerintah.

Rencananya, PPh korporasi Indonesia yang saat ini berada di level 25% akan dipangkas menjadi 18% supaya kompetitif dengan Singapura. Namun pertanyaannya: berapa besar pemangkasan tarif PPh korporasi yang sudah diberlakukan? Jawabannya: nol.

Ya, saat ini tarif PPh korporasi masih sebesar 25%. Baru-baru ini, pemerintah kembali menyuarakan rencana untuk memangkas tarif PPh korporasi menjadi 20%.

"Sekarang sedang di-exercise seberapa cepat dan itu sudah betul-betul harus dihitung. Rate-nya turun ke 20%," kata Sri Mulyani di kompleks kepresidenan baru-baru ini.

Kala Sri Mulyani dan koleganya di kementerian keuangan terus saja gamang, mungkin bisa kita katakan bahwa ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan sudah benar-benar tertutup.

Kalau tak ingin memangkas tarif PPh korporasi, insentif fiskal bisa diberikan melalui tax allowance dan tax holiday. Tapi, ya jangan sampai ‘kentang’ seperti yang kita lihat selama ini.

Ya, pemerintah sejatinya telah lama menawarkan insentif fiskal berupa tax allowance dan tax holiday. Namun, insentif ini benar-benar sepi peminat.

Untuk periode 2017, Sri Mulyani bahkan menyatakan bahwa tak ada satupun perusahaan yang mengajukan diri untuk mendapatkan tax allowance dan tax holiday. Kok bisa? Rupanya, persyaratannya terlalu sulit dipenuhi. Pemerintah seakan tak tulus memberikan insentif bagi pengusaha.

Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pernah menyatakan bahwa untuk mendapatkan insentif pajak di Indonesia, seperti tax holiday, tidaklah mudah. Selain terbatas di sektor industri tertentu, batas minimal nilai investasi yang harus dikucurkan juga sangat besar, yakni Rp 1 triliun.

Memang, batas minimal investasi bisa diturunkan hingga menjadi Rp 500 miliar. Namun, investor harus memperkenalkan teknologi tingkat tinggi dan insentif yang bisa diberikan hanyalah pengurangan PPh paling banyak 50% saja. Hal ini memicu minimnya partisipasi pelaku usaha.

Jadi, dengan melihat perkembangan yang ada sejauh ini, rasanya akan sulit jika mengharapkan IHSG akan melaju kencang pada semester II-2019. Pasalnya, ruang bagi BI untuk memangkas tingkat suku bunga acuan sangatlah terbatas atau mungkin tidak ada sama sekali.

TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/ank)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular