Prospek Semester II-2019

Semester I Terburuk di Asia, Mampukah Dikejar Paruh Kedua?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
01 July 2019 18:03
Semester I Terburuk di Asia, Mampukah Dikejar Paruh Kedua?
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Enam bulan pertama di tahun 2019 sudah kita lewati. Jika berbicara mengenai pasar saham, hasilnya bisa dibilang tak membanggakan. Memang, sepanjang paruh pertama tahun ini Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih membukukan apresiasi yakni sebesar 2,65%.

Namun, jika dibandingkan dengan indeks saham acuan dari negara-negara Asia lainnya, kinerja IHSG nyaris menjadi yang terburuk. IHSG hanya unggul dari indeks KLCI (Malaysia) yang terkoreksi 1,09%.



Pada intinya, kami menyimpulkan bahwa IHSG nyaris menjadi indeks saham acuan dengan kinerja terburuk di kawasan Asia pada semester I-2019 lantaran belum ada sinyal yang jelas dari Bank Indonesia (BI) terkait dengan pemangkasan tingkat suku bunga acuan.

Padahal, kala tingkat suku bunga acuan dipangkas, tingkat suku bunga kredit akan ikut melandai yang tentunya akan memberi insentif bagi dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang. Bagi pasar saham, tentu ini merupakan kabar gembira.

Lantas, guna memproyeksikan kinerja IHSG di semester II-2019, kami akan melakukannya dengan memproyeksikan arah kebijakan suku bunga acuan.

Asal tahu saja, negara-negara lain yang indeks saham acuannya membukukan kinerja yang oke pada paruh pertama 2019 mendapatkan dukungan dari sikap dovish bank sentralnya. Pada bulan Mei, Bangko Sentral ng Pilipinas selaku bank sentral Filipina memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke level 4,5%.

Sementara itu, walaupun sejauh ini belum memangkas tingkat suku bunga acuan, People's Bank of China (PBOC) selaku bank sentral China dan Bank of Thailand's (BoT) selaku bank sentral Thailand sudah mengirim sinyal bahwa akan ada pemangkasan tingkat suku bunga acuan di masa depan.

Pada awal bulan lalu, Gubernur PBOC Yi Gang mengatakan bahwa ada ruang yang sangat besar untuk menyesuaikan kebijakan moneter jika perang dagang antara AS dengan China semakin memanas, seperti dilansir dari Bloomberg.

Sementara itu, sinyal pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh BoT datang beberapa hari yang lalu kala salah satu pejabatnya mengatakan bahwa stance kebijakan bank sentral di masa depan akan bergantung kepada data-data ekonomi, dilansir dari Bangkok Post.

Di Indonesia, dalam pertemuan selama dua hari yang digelar pada bulan lalu, BI terlihat masih sangat galau untuk melakukan pelonggaran.

"...sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).
Kedepannya, nampak masih akan sulit bagi bank sentral untuk melonggarkan tingkat suku bunga acuan. Ada dua alasan yang melandasi hal tersebut. Pertama, nampaknya The Federal Reserve selaku bank sentral AS tak akan kelewat agresif dalam memangkas tingkat suku bunga acuannya.

Sebelumnya, ada ekspektasi yang cukup besar bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan hingga 50 bps pada pertemuan bulan ini. Kini, ekspektasi itu sudah jauh memudar.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 1 Juli 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps pada pertemuan bulan ini hanya tersisa 21,4% saja, anjlok dari posisi sebulan sebelumnya yang sebesar 42,6%.

Kini, pelaku pasar berekspektasi bahwa tingkat suku bunga acuan hanya akan dipangkas sebesar 25 bps saja, di mana probabilitasnya mencapai 78,6%.

Memudarnya ekspektasi bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan hingga 50 bps pada pertemuan bulan ini bukan tanpa alasan. Pejabat The Fed sendiri yang membuat ekspektasi itu pudar.

Presiden The Fed St. Louis James Bullard mengungkapkan bahwa pemangkasan sebesar 25 bps menjadi opsi yang paling rasional untuk saat ini.

"Duduk di sini hari ini, saya rasa 50 basis poin akan berlebihan," ujarnya kepada Bloomberg TV belum lama ini, dikutip dari Reuters.

"Saya tidak merasa situasi saat ini benar-benar memerlukan hal tersebut namun saya bersedia menurunkan 25 bps... Saya tidak suka mendahului pertemuan (The Fed) karena banyak hal bisa berubah hingga saat itu tiba. Namun, jika saya harus memutuskan hari ini, itulah yang akan saya lakukan," lanjutnya.

Sementara itu, Gubernur The Fed Jerome Powell belum lama ini kembali menegaskan terkait independensi bank sentral dari tekanan politik. Seperti yang diketahui, Presiden AS Donald Trump sudah berulang kali meminta The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan.

"The Fed bebas dari tekanan-tekanan politik jangka pendek," kata Powell, dilansir dari Reuters.

Seiring dengan besarnya kemungkinan bahwa The Fed tak akan kelewat agresif dalam memangkas tingkat suku bunga acuan, praktis ruang bagi BI untuk melakukkan pelonggaran menjadi lebih terbatas. Alasan kedua yang membuat BI menjadi sulit untuk memangkas tingkat suku bunga acuan adalah pemerintah tak berani memberikan dukungan berupa kebijakan fiskal.

Perry ada benarnya. Masalah NPI atau lebih tepatnya Current Account Deficit/CAD (yang merupakan komponen pembentuk NPI) menjadi momok kala BI berniat memangkas tingkat suku bunga acuan.

Lantaran CAD Indonesia cukup besar, ada potensi bahwa aliran dana yang akan masuk ke pasar saham dan obligasi ketika tingkat suku acuan dipangkas akan segera dibawa kabur lantaran fundamental rupiah yang bermasalah.

Guna menjaga supaya hot money yang masuk tak mudah dibawa kabur, tentu kebijakan moneter (pemangkasan tingkat suku bunga acuan) harus dikombinasikan dengan kebijakan fiskal.

Salah satu kebijakan fiskal yang bisa diambil oleh pemerintah adalah pemangkasan tingkat Pajak Penghasilan (PPh) korporasi. Sejatinya, wacana ini sudah begitu lama dilontarkan sendiri oleh pemerintah.

Rencananya, PPh korporasi Indonesia yang saat ini berada di level 25% akan dipangkas menjadi 18% supaya kompetitif dengan Singapura. Namun pertanyaannya: berapa besar pemangkasan tarif PPh korporasi yang sudah diberlakukan? Jawabannya: nol.

Ya, saat ini tarif PPh korporasi masih sebesar 25%. Baru-baru ini, pemerintah kembali menyuarakan rencana untuk memangkas tarif PPh korporasi menjadi 20%.

"Sekarang sedang di-exercise seberapa cepat dan itu sudah betul-betul harus dihitung. Rate-nya turun ke 20%," kata Sri Mulyani di kompleks kepresidenan baru-baru ini.

Kala Sri Mulyani dan koleganya di kementerian keuangan terus saja gamang, mungkin bisa kita katakan bahwa ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan sudah benar-benar tertutup.

Kalau tak ingin memangkas tarif PPh korporasi, insentif fiskal bisa diberikan melalui tax allowance dan tax holiday. Tapi, ya jangan sampai ‘kentang’ seperti yang kita lihat selama ini.

Ya, pemerintah sejatinya telah lama menawarkan insentif fiskal berupa tax allowance dan tax holiday. Namun, insentif ini benar-benar sepi peminat.

Untuk periode 2017, Sri Mulyani bahkan menyatakan bahwa tak ada satupun perusahaan yang mengajukan diri untuk mendapatkan tax allowance dan tax holiday. Kok bisa? Rupanya, persyaratannya terlalu sulit dipenuhi. Pemerintah seakan tak tulus memberikan insentif bagi pengusaha.

Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pernah menyatakan bahwa untuk mendapatkan insentif pajak di Indonesia, seperti tax holiday, tidaklah mudah. Selain terbatas di sektor industri tertentu, batas minimal nilai investasi yang harus dikucurkan juga sangat besar, yakni Rp 1 triliun.

Memang, batas minimal investasi bisa diturunkan hingga menjadi Rp 500 miliar. Namun, investor harus memperkenalkan teknologi tingkat tinggi dan insentif yang bisa diberikan hanyalah pengurangan PPh paling banyak 50% saja. Hal ini memicu minimnya partisipasi pelaku usaha.

Jadi, dengan melihat perkembangan yang ada sejauh ini, rasanya akan sulit jika mengharapkan IHSG akan melaju kencang pada semester II-2019. Pasalnya, ruang bagi BI untuk memangkas tingkat suku bunga acuan sangatlah terbatas atau mungkin tidak ada sama sekali.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular