Ulasan Semester I-2019

Miris! Semester I-2019, IHSG Nyaris Terburuk di Asia

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
01 July 2019 14:51
Miris! Semester I-2019, IHSG Nyaris Terburuk di Asia
Foto: Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Tak terasa, 6 bulan pertama di tahun 2019 sudah kita lewati. Kini, mari mengevaluasi kinerja pasar keuangan Tanah Air selama mengarungi paruh pertama tahun ini, tepatnya pasar saham.

Seperti yang kita ketahui, jika berbicara mengenai pasar saham Indonesia maka indeks acuan yang lazim digunakan adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Sepanjang tahun ini hingga akhir Juni 2019, IHSG masih bisa memberikan imbal hasil positif, yakni sebesar 2,65%.

Eits! Jangan senang dulu. Pasalnya, jika dibandingkan dengan indeks saham acuan dari negara-negara Asia lainnya, kinerja IHSG nyaris menjadi yang terburuk. IHSG hanya unggul dari indeks KLCI (Malaysia) yang terkoreksi 1,09%.



Kalau dari sisi eksternal, sebenarnya kondisi yang ada mendukung bagi pasar saham Asia. Bukan dari laju pertumbuhan ekonomi, tapi dari kinerja bursa saham AS yang menjadi kiblat dari pasar saham dunia.

Sepanjang paruh pertama 2019, indeks Dow Jones melejit 14,03%, sementara indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite menguat masing-masing sebesar 17,35% dan 20,66%.

Kalau secara laju perekonomian, perekonomian dunia sebenarnya memang sedang lesu. Melalui publikasi Global Economic Prospects edisi Juni 2019 yang dirilis pada awal bulan lalu, Bank Dunia (World Bank) memutuskan untuk memangkas proyeksinya atas pertumbuhan ekonomi global.

Miris! Semester I-2019, IHSG Nyaris Terburuk di AsiaFoto: World Bank (Reuters)

Lembaga yang berbasis di Washington, AS tersebut kini memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) global hanya akan tumbuh sebesar 2,6% pada tahun ini, dari yang sebelumnya 2,9% pada proyeksi yang dibuat bulan Januari.


Sebagai catatan, Bank Dunia mengestimasi perekonomian global tumbuh hingga 3% pada tahun 2018. Artinya, Bank Dunia melihat perlambatan ekonomi global yang signifikan pada tahun ini. Melambatnya laju pertumbuhan ekonomi global tersebut disebabkan oleh lesunya arus perdagangan internasional.

Dalam publikasinya, Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan perdagangan global menjadi hanya 2,6%, dari yang sebelumnya 3,6%. Jika proyeksi tersebut terealisasi, maka akan menjadi yang terlemah dalam satu dekade terakhir atau sejak krisis keuangan global.

LANJUT KE HALAMAN 2>>
Sejatinya, proyeksi untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia sama sekali tak diutak-atik oleh Bank Dunia.

Memang tak dikerek naik, tetapi juga tak dikerek turun. Untuk tahun 2019, Bank Dunia tetap memproyeksikan perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,2%, disusul kenaikan moderat dalam dua tahun berikutnya (2020 dan 2021) menjadi 5,3%.

Hal ini bisa dibilang membanggakan lantaran negara-negara tetangga diganjar pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi oleh Bank Dunia.



Namun, kenapa performa IHSG justru mengecewakan? Salah satu jawabannya adalah ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang sangat terbatas.

Ya, seperti sudah disebutkan di atas, negara-negara kawasan Asia lainnya diganjar pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi oleh Bank Dunia. Namun, ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan di sana terbuka lebar, bahkan sudah ada yang mulai mengeksekusinya.

Sikap dovish bank sentral negara-negara Asia ini bisa dipahami mengikuti sikap The Federal Reserve selaku bank sentral AS. Dalam beberapa waktu terakhir, Jerome Powell (Gubernur The Fed) dan kolega terus mengeluarkan pernyataan bernada dovish alias sabar yang membuat pelaku pasar yakin bahwa tingkat suku bunga acuan akan segera dipangkas.

Pada Mei, Bangko Sentral ng Pilipinas selaku bank sentral Filipina memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke level 4,5%. Sementara itu, People's Bank of China (PBOC) selaku bank sentral China dan Bank of Thailand's (BoT) selaku bank sentral Thailand sudah mengirim sinyal bahwa akan ada pemangkasan tingkat suku bunga acuan di masa depan.

Miris! Semester I-2019, IHSG Nyaris Terburuk di AsiaFoto: Gubernur bank sentral China, Yi Gang, di acara Belt and Road Forum di Beijing, China, Kamis (25/4/2019). (Foto: REUTERS/Jason Lee)

Pada awal bulan lalu, Gubernur PBOC Yi Gang mengatakan bahwa ada ruang yang sangat besar untuk menyesuaikan kebijakan moneter jika perang dagang antara AS dengan China semakin memanas, seperti dilansir dari Bloomberg.

Sementara itu, sinyal pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh BoT datang beberapa hari yang lalu kala salah satu pejabatnya mengatakan bahwa stance kebijakan bank sentral di masa depan akan bergantung kepada data-data ekonomi, dilansir dari Bangkok Post.


Dengan adanya eksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan atau setidaknya sinyal bahwa tingkat suku bunga acuan akan dipangkas ke depannya, ada harapan bahwa laju perekonomian akan menjadi terkerek naik dan perlambatan yang diproyeksikan bisa dihindari atau setidaknya diminimalisir.

Jika tingkat suku bunga acuan dipangkas, tingkat suku bunga kredit akan ikut melandai yang tentunya akan memberi insentif bagi dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia?

Walau proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tak dipangkas, tapi jelas sekali bahwa Indonesia memerlukan pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Pada periode kuartal I-2019, pertumbuhan ekonomi diumumkan di level 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.

Sebagai informasi, terakhir kali Bank Indonesia (BI) memangkas tingkat suku bunga acuan adalah pada September 2017 silam. Selepas itu, tingkat suku bunga acuan dipertahankan atau dinaikkan. Terhitung dalam periode Oktober 2017 hingga Juni 2019, BI sudah mengerek naik tingkat suku bunga acuan sebesar 175 bps.


Pada bulan lalu, BI menggelar rapat selama dua hari yang dimulai pada hari Rabu dan berakhir pada hari Kamis (19-20 Juni). Selepas menggelar pertemuan selama dua hari tersebut, bank sentral memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan atau 7-Day Reverse Repo Rate di level 6%.

Ke depannya, BI juga masih ragu dalam memangkas tingkat suku bunga acuan. Gubernur BI Perry Warjiyo menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.

Miris! Semester I-2019, IHSG Nyaris Terburuk di AsiaFoto: Bank Dunia merilis Indonesia Economic-Quarterly edisi Juni 2019 di kantor Bank Dunia, Soehanna Hall, The Energy Building, SCBD. (CNBC Indonesia/Rehia Sebayang)

“…sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga,” kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).

Memang, ada stimulus yang diberikan oleh bank sentral. BI memutuskan untuk menurunkan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) untuk bank umum menjadi 6%, dari yang sebelumnya 6,5%. Sementara itu, GWM untuk bank syariah juga dipangkas sebesar 50 bps menjadi 4,5%, dari yang sebelumnya 5%.

Penurunan ini akan efektif berlaku pada 1 Juli 2019 dan disebut oleh BI akan menambah likuiditas perbankan senilai Rp 25 triliun. “Rp 25 triliun ini kita akan nambah ke bank dan salurkan untuk kredit dan nambah perekonomian,” kata Perry.


Agaknya, pelonggaran rasio GWM tersebut dianggap belum akan cukup kuat untuk mendongkrak laju perekonomian Indonesia, mengingat di sisi lain peluang pemangkasan tingkat suku bunga acuan masih terbilang kecil.

Jadi, itulah alasan mengapa IHSG nyaris menjadi indeks saham acuan dengan kinerja terburuk di kawasan Asia pada semester I-2019. Belum adanya tanda-tanda pemangkasan tingkat suku bunga acuan dalam waktu dekat membuat pelaku pasar menahan diri dari melakukan aksi beli secara besar-besaran.

Pada akhirnya, imbal hasil yang dibukukan IHSG menjadi jauh lebih rendah ketimbang indeks saham acuan negara-negara tetangga.

TIM RISET CNBC INDONESIA



(ank/ags) Next Article Investor Borong Obligasi AS, IHSG Masih Kuat Naik Sesi 2

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular