Catat! 5 Sentimen Penggerak Pasar Pekan Depan

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
30 June 2019 21:39
Catat! 5 Sentimen Penggerak Pasar Pekan Depan
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasca hanya membukukan kenaikan yang moderat pada pekan ini, pasar keuangan tanah air memiliki peluang untuk mencatatkan imbal hasil yang lebih oke pada pekan depan.

Sepanjang pekan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membukukan imbal hasil sebesar 0,68%, rupiah menguat 0,18% melawan dolar AS di pasar spot, dan imbal hasil (yield) obligasi seri acuan tenor 10 tahun turun 4,4 bps.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Namun, apresiasi pasar keuangan yang lebih oke baru bisa terjadi jika sentimen dari dalam dan luar negeri mendukung.

Tim Riset CNBC Indonesia merangkum sejumlah sentimen yang berpotensi menentukan arah pergerakan pasar keuangan Indonesia pada pekan depan.

AS-China 'Rujuk' Lagi
Sentimen utama yang berpotensi besar mengerek kinerja pasar saham keuangan air adalah rujuknya AS dan China dalam hal perdagangan. Pasca berbincang sekitar 80 menit di sela-sela gelaran KTT G20 di Osaka, Jepang, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping menyetujui gencatan senjata di bidang perdagangan sekaligus membuka kembali pintu negosiasi yang sempat tertutup.

Dilansir dari CNBC International, kedua negara secara terpisah mengumumkan bahwa mereka telah setuju untuk tak saling mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor dari masing-masing negara.

Media milik pemerintah China Xinhua menyebut bahwa kedua pimpinan negara setuju "untuk memulai kembali negosiasi dagang antar kedua negara dengan dasar kesetaraan dan rasa hormat."

Lebih lanjut, Trump menyebut bahwa China akan membeli produk-produk agrikultur asal AS dalam jumlah besar.

"Kami menahan diri dari (mengenakan) bea masuk dan mereka akan membeli produk pertanian (asal AS)," tutur Trump, dilansir dari CNBC International.

Walaupun belum dikonfirmasi pihak China, jika apa yang disebutkan Trump tersebut benar adanya, maka hal ini tentu akan mengerek laju perekonomian AS.

Selama ini, produk agrikultur memang menjadi incaran pemerintah China dalam upayanya melawan balik serangan-serangan AS. Pada tanggal 1 Juni, pemerintah China resmi mengenakan bea masuk baru bagi produk agrikultur asal AS seperti kacang tanah, gula, gandum, ayam, dan kalkun dari Negeri Paman Sam. Bea masuk baru yang berlaku adalah 20% dan 25%, dari yang sebelumnya 5% dan 10%.

Kala perekonomian AS dan China menggeliat, tentu laju perekonomian global akan terkerek naik, mengingat AS dan China merupakan dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi.
Aura perdamaian antara AS dengan Korea Utara juga berpotensi menjadi faktor yang akan mengerek kinerja pasar keuangan tanah air pada pekan depan. Selepas gelaran KTT G20 berakhir, Trump bertolak ke Korea Selatan.

Menjelang kunjungannya tersebut, Trump mengungkapkan keinginannya untuk bertemu dengan Pimpinan Korea Utara, Kim Jong Un. Hal ini diungkapkan melalui akun Twitter pribadinya, @realDonaldTrump. Secara mengejutkan, Kim bersedia untuk menemuinya. Pada hari ini waktu setempat, Trump menemui Kim di zona demiliterisasi yang memisahkan Korea Selatan dengan Korea Utara. Usai berjabat tangan dan sedikit berbincang dengan Kim, Trump kemudian diajaknya untuk melewati perbatasan, menjadikannya presiden AS pertama yang menginjakkan kaki di Korea Utara kala sedang menjabat.

Pertemuan kali ini menjadi yang ketiga antara Trump dengan Kim pasca pertemuan kedua di Vietnam beberapa waktu yang lalu berakhir dengan buruk. Kala itu, AS dan Korea Utara bersitegang lantaran tak mencapai titik temu terkait dengan denuklirisasi Korea Utara.

Saat bertemu Kim pada hari ini, Trump mengundang orang nomor satu di Korea Utara itu untuk bertandang ke AS, tepatnya ke Gedung Putih.

"Kapanpun dia mau melakukannya. Saya pikir kami ingin membawa ini ke tingkat selanjutnya, mari kita lihat apa yang akan terjadi," kata Trump seperti dilansir dari detikcom, Minggu (30/6/2019).

Trump mengatakan bahwa pasca pertemuannya dengan Kim, delegasi AS dan Korea Utara akan melakukan pertemuan lanjutan dalam dua atau tiga minggu ke depan guna membicarakan program nuklir milik Pyongyang.

Kala AS dan Korea Utara jauh dari yang namanya peperangan, investor akan terdorong untuk masuk ke instrumen yang relatif berisiko sehingga pasar keuangan Indonesia berpotensi membukukan apresiasi pada pekan depan. Awas, Harga Minyak Bisa Terbang!
Namun, pelaku pasar jangan kelewat senang dulu. Pasalnya, ada sentimen lain yang berpotensi menekan kinerja pasar keuangan tanah air yakni potensi eskalasi harga minyak mentah dunia.

Dalam gelaran KTT G20 pekan ini, Presiden Rusia Vladimir Putin berhasil meyakinkan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman untuk memperpanjang program pembatasan produksi minyak oleh negara-negara OPEC+ (negara-negara OPEC + Rusia).

Sejatinya, program pembatasan produksi yang ditujukan untuk mempertahankan harga minyak mentah di level yang relatif tinggi itu akan berakhir pada akhir bulan ini. Putin mengatakan bahwa perpanjangan program pembatasan produksi minyak dapat berlaku selama enam atau sembilan bulan.

Kala produksi kembali ditahan, maka pasokan akan menipis dan berpotensi melambungkan harga.

Kala harga minyak mentah melesat, maka defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) akan menjadi sulit untuk diredam. Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen NPI lainnya) yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portofolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

Sebagai informasi, CAD pada kuartal-I 2019 adalah senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.

Pelemahan rupiah pada akhirnya berpotensi membuat investor asing melego saham dan obligasi di tanah air. Rilis data ekonomi dari negara-negara dengan nilai perekonomian raksasa juga patut menjadi perhatian pelaku pasar. Pada pekan depan, rilis data ekonomi penting akan banyak terjadi pada hari Senin (1/7/2019).

Besok, angka indeks keyakinan konsumen Jepang periode Juni 2019 akan dirilis. Masih pada tanggal 1 Juli, angka Manufacturing PMI China periode Juni 2019 versi Caixin akan diumumkan dan data perdagangan internasional Korea Selatan periode Juni 2019 akan dirilis.

Di AS, pada tanggal 1 Juli data Manufacturing PMI periode Juni 2019 versi ISM akan dirilis.

Menjelang akhir pekan yakni pada hari Jumat (5/7/2019), data penciptaan lapangan kerja di AS periode Juni 2019 beserta dengan tingkat pengangguran periode yang sama akan diumumkan.

Rilis Angka Inflasi & Cadangan Devisa Indonesia
Dari dalam negeri, pelaku pasar perlu mencermati rilis angka inflasi periode Mei 2019 yang dijadwalkan esok hari. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi Juni sebesar 0,46% month-on-month (MoM) dan 3,185% year-on-year (YoY). Sementara itu, inflasi inti secara tahunan diperkirakan berada di level 3,13%.

Jika realisasi data inflasi sesuai perkiraan, maka terjadi perlambatan dibandingkan Mei. Kala itu, inflasi tercatat 0,68% MoM, 3,32% YoY, dan inflasi inti sebesar 3,12% YoY.

Namun, perlambatan inflasi tersebut merupakan sebuah hal yang wajar, karena sebagian besar bulan Mei diwarnai oleh Ramadan. Bulan suci umat Islam ini merupakan puncak konsumsi rumah tangga di tanah air, sehingga mendorong inflasi dari sisi permintaan.

Juniman, Kepala Ekonom Maybank Indonesia, menilai inflasi Juni kembali ke mode normal. Ada kenaikan harga sejumlah bahan pangan, tetapi secara umum masih terkendali.

"Beberapa bahan pangan yang mengalami kenaikan harga antara lain cabai, beras, ikan segar, telur ayam ras, dan daging sapi. Namun di sisi lain ada pula yang harganya turun seperti daging ayam ras, bawang putih, bawang bombai, dan sayur-mayur," sebut Juniman.

Inflasi yang terkendali tentu akan menopang daya beli masyarakat Indonesia, sekaligus menjadi kabar positif bagi pasar keuangan tanah air.

Beralih ke hari Jumat, Bank Indonesia (BI) dijadwalkan merilis angka cadangan devisa periode Juni 2019. Kenaikan cadangan devisa berpotensi mengerek kinerja rupiah lantaran BI dipandang memiliki amunisi yang kian besar dalam menetralisir pelemahan rupiah di masa depan. Sebaliknya, penurunan cadangan devisa berpotensi mendorong rupiah ke zona depresiasi.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular