
Diadang Isu Regulasi, Bagaimana Nasib Industri Batu Bara?
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
25 June 2019 09:09

Bali, CNBC Indonesia - Masifnya gerakan ramah lingkungan dan energi terbarukan membuat industri batu bara global menghadapi tantangan untuk bisa bertahan. Ditambah lagi, investor pun mulai kurang tertarik mendanai proyek pembangkit listrik berbahan bakar batu bara.
Kondisi ini setidaknya terjadi di negara-negara Eropa, dan mulai menjalar ke Australia. Pandangan serupa juga disampaikan oleh Lead Adviser, Energy, Utilities & Mining PwC Indonesia, Sacha Winzenried di gelaran Coaltrans Asia Conference di Bali. Konferensi tersebut dimulai sejak 23 hingga 25 Juni mendatang, di Nusa Dua, Bali.
Lalu, benarkah bisnis batu bara sedang memasuki senjakala?
Menanggapi hal ini, Executive Vice President Batu Bara PT PLN (Persero) Harlen En mengatakan, secara makro, proyek pembangkit listrik batu bara masih atraktif bagi investor. Permintaan batu bara untuk pembangkit listrik masih akan meningkat.
"Kami mencoba untuk terus mengelaborasi dan berkolaborasi antara IPP [Independent Power Producer] dan PLN, sesuai dengan kebijakan pemerintah," ujarnya saat ditemui di kesempatan yang sama di forum global tersebut.
Kendati demikian, Wakil Direktur Utama PT Adaro Power, Dharma Djojonegoro tidak menampik hal tersebut. Ia mengatakan, dalam 1-2 tahun mendatang, akan lebih banyak perbankan yang tidak mau memberikan pendanaan untuk proyek pembangkit listrik batu bara ini.
Tetapi, ia menambahkan,perbankan China dan Malaysia masih menyediakan pembiayaan untuk pembangkit listrik tenaga batu bara, sementara perbankan dari Jepang dan Korea hanya akan mendukung proyek-proyek ultra-kritis.
"Kalau perbankan di Uni Eropa, Singapura telah menolak untuk membiayai. Sedangkan perbankan Indonesia masih akan menyediakan pembiayaan tetapi ada pertanyaan tentang likuiditas mereka. Sehingga, pembiayaan juga menjadi lebih mahal," tutur Dharma.
Selain soal pembiayaan proyek pembangkit listrik batu bara, Sacha juga memperingatkan pemerintah agar segera memberi kepastian regulasi agar Indonesia tidak ditinggal investasi.
Hal ini tidak terlepas dari revisi PP 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang tak kunjung menemui titik terangnya.
"Yang perlu diingat pemerintah Indonesia adalah, dengan banyak kontrak yang akan habis dalam lima tahun ke depan, kalau pemerintah tidak ingin adanya pengurangan besar-besaran, lebih baik beri kejelasan untuk para perusahaan tambang batu bara tersebut," ujar Sacha kepada CNBC Indonesia.
Apalagi, katanya, perusahaan tambang batu bara di Indonesia banyak menyumbang pajak dan royalti yang besar untuk pendapatan negara. "Saya tidak bilang pemerintah plin-plan, tapi banyak regulatory issues di Indonesia yang perlu untuk diselesaikan, beri kepastian, apa yang dibutuhkan untuk perpanjangan, dan selama perusahaan mengikuti aturan, ya harus diberikan izin," imbuh Sacha.
Selain itu, perlu diingat juga, perusahaan tambang batu bara di Indonesia itu besar dan tidak hanya bisa menanamkan investasi di dalam negeri, tetapi juga di luar.
"Yang jelas, uncertainty is the enemy of investment. Jadi kalau pemerintah tidak punya punya clear legal system yang tidak bisa support, maka perusahaan akan berpikir dua kali untuk melanjutkan investasi mereka," kata Sacha.
"Ini tentunya mengancam dan bisa beri impak negatif terhadap investasi di Indonesia," tandasnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menambahkan, sampai saat ini para pengusaha batu bara memang masih dibuat menunggu kejelasan dari pemerintah terkait revisi PP tersebut, dan berharap bisa segera ditandatangani demi kejelasan nasib PKP2B (Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara) generasi pertama yang akan diterminasi.
Apalagi, lanjut Hendra, PKP2B generasi pertama itu yang berkontribusi sekitar separuh dari produksi batu bara nasional dan sekitar 70% dari pasokan batu bara ke PLN serta penyumbang terbesar PNBP (pendapatan negara bukan pajak) subsektor batu bara.
"Kami harapkan revisi PP bisa segera ditandatangani karena penting untuk kepastian investasi jangka panjang bagi pemegang PKP2B generasi pertama," ujar Hendra saat dijumpai dalam gelaran Coaltrans Asia 2019, di Nusa Dua, Bali, Senin (24/6/2019).
Meski begitu, ditemui di kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Kideco Jaya Agung Kurnia Ariawan mengatakan, memang dengan menggunakan revisi PP 23/2010 tersebut, penerimaan negara akan lebih tinggi. Dengan demikian, pada dasarnya, industri batu bara terbuka untuk berdiskusi dengan pemerintah terkait hal tersebut.
"Ya, pada akhirnya, memang ini yang terbaik buat Indonesia," pungkas Kurnia.
Simak bagaimana strategi pelaku usaha di sektor batu bara 2019.
[Gambas:Video CNBC]
(tas) Next Article Ini Sebab Harga Batu Bara Merosot ke Level US$ 88,85/Ton
Kondisi ini setidaknya terjadi di negara-negara Eropa, dan mulai menjalar ke Australia. Pandangan serupa juga disampaikan oleh Lead Adviser, Energy, Utilities & Mining PwC Indonesia, Sacha Winzenried di gelaran Coaltrans Asia Conference di Bali. Konferensi tersebut dimulai sejak 23 hingga 25 Juni mendatang, di Nusa Dua, Bali.
Lalu, benarkah bisnis batu bara sedang memasuki senjakala?
Menanggapi hal ini, Executive Vice President Batu Bara PT PLN (Persero) Harlen En mengatakan, secara makro, proyek pembangkit listrik batu bara masih atraktif bagi investor. Permintaan batu bara untuk pembangkit listrik masih akan meningkat.
"Kami mencoba untuk terus mengelaborasi dan berkolaborasi antara IPP [Independent Power Producer] dan PLN, sesuai dengan kebijakan pemerintah," ujarnya saat ditemui di kesempatan yang sama di forum global tersebut.
Kendati demikian, Wakil Direktur Utama PT Adaro Power, Dharma Djojonegoro tidak menampik hal tersebut. Ia mengatakan, dalam 1-2 tahun mendatang, akan lebih banyak perbankan yang tidak mau memberikan pendanaan untuk proyek pembangkit listrik batu bara ini.
Tetapi, ia menambahkan,perbankan China dan Malaysia masih menyediakan pembiayaan untuk pembangkit listrik tenaga batu bara, sementara perbankan dari Jepang dan Korea hanya akan mendukung proyek-proyek ultra-kritis.
"Kalau perbankan di Uni Eropa, Singapura telah menolak untuk membiayai. Sedangkan perbankan Indonesia masih akan menyediakan pembiayaan tetapi ada pertanyaan tentang likuiditas mereka. Sehingga, pembiayaan juga menjadi lebih mahal," tutur Dharma.
Selain soal pembiayaan proyek pembangkit listrik batu bara, Sacha juga memperingatkan pemerintah agar segera memberi kepastian regulasi agar Indonesia tidak ditinggal investasi.
Hal ini tidak terlepas dari revisi PP 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang tak kunjung menemui titik terangnya.
"Yang perlu diingat pemerintah Indonesia adalah, dengan banyak kontrak yang akan habis dalam lima tahun ke depan, kalau pemerintah tidak ingin adanya pengurangan besar-besaran, lebih baik beri kejelasan untuk para perusahaan tambang batu bara tersebut," ujar Sacha kepada CNBC Indonesia.
Apalagi, katanya, perusahaan tambang batu bara di Indonesia banyak menyumbang pajak dan royalti yang besar untuk pendapatan negara. "Saya tidak bilang pemerintah plin-plan, tapi banyak regulatory issues di Indonesia yang perlu untuk diselesaikan, beri kepastian, apa yang dibutuhkan untuk perpanjangan, dan selama perusahaan mengikuti aturan, ya harus diberikan izin," imbuh Sacha.
![]() |
Selain itu, perlu diingat juga, perusahaan tambang batu bara di Indonesia itu besar dan tidak hanya bisa menanamkan investasi di dalam negeri, tetapi juga di luar.
"Yang jelas, uncertainty is the enemy of investment. Jadi kalau pemerintah tidak punya punya clear legal system yang tidak bisa support, maka perusahaan akan berpikir dua kali untuk melanjutkan investasi mereka," kata Sacha.
"Ini tentunya mengancam dan bisa beri impak negatif terhadap investasi di Indonesia," tandasnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menambahkan, sampai saat ini para pengusaha batu bara memang masih dibuat menunggu kejelasan dari pemerintah terkait revisi PP tersebut, dan berharap bisa segera ditandatangani demi kejelasan nasib PKP2B (Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara) generasi pertama yang akan diterminasi.
Apalagi, lanjut Hendra, PKP2B generasi pertama itu yang berkontribusi sekitar separuh dari produksi batu bara nasional dan sekitar 70% dari pasokan batu bara ke PLN serta penyumbang terbesar PNBP (pendapatan negara bukan pajak) subsektor batu bara.
"Kami harapkan revisi PP bisa segera ditandatangani karena penting untuk kepastian investasi jangka panjang bagi pemegang PKP2B generasi pertama," ujar Hendra saat dijumpai dalam gelaran Coaltrans Asia 2019, di Nusa Dua, Bali, Senin (24/6/2019).
Meski begitu, ditemui di kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Kideco Jaya Agung Kurnia Ariawan mengatakan, memang dengan menggunakan revisi PP 23/2010 tersebut, penerimaan negara akan lebih tinggi. Dengan demikian, pada dasarnya, industri batu bara terbuka untuk berdiskusi dengan pemerintah terkait hal tersebut.
"Ya, pada akhirnya, memang ini yang terbaik buat Indonesia," pungkas Kurnia.
Simak bagaimana strategi pelaku usaha di sektor batu bara 2019.
[Gambas:Video CNBC]
(tas) Next Article Ini Sebab Harga Batu Bara Merosot ke Level US$ 88,85/Ton
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular