Rupiah Masih Menguat Sih, Tapi...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 June 2019 12:13
Rupiah Masih Menguat <i>Sih</i>, Tapi...
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Namun apresiasi rupiah tertahan karena sikap investor yang wait and see. 

Pada Kamis (20/6/2019) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.240. Rupiah menguat 0,18% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Rupiah sudah menguat sejak pembukaan pasar, tetapi seiring perjalanan apresiasi mata uang Tanah Air menipis. Setidaknya belum melemah lah.


Jika rupiah berhasil menguat sampai lapak ditutup, maka rantai apresiasinya semakin panjang menjadi tiga hari beruntun.
 Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah hingga tengah hari ini:

 

 
Dolar AS memang sedang nelangsa di Asia. Hampir seluruh mata uang utama Benua Kuning berhasil menguat di hadapan greenback, hanya peso Filipina yang masih tertinggal di zona merah. 

Baht Thailand menjadi mata uang terbaik Asia. Won Korea Selatan berada di posisi kedua, dan ringgit Malaysia menempati peringkat tiga. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:07 WIB: 

 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Meski masih menguat, tetapi langkah rupiah tertahan karena penantian investor terhadap hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI). Rencananya, BI akan menggelar jumpa pers pengumuman hasil RDG pada pukul 14:00 WIB. 

Pelaku pasar menantikan pengumuman suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan suku bunga acuan masih bertahan di 6%, tetapi ada suara-suara yang menilai sudah saatnya BI melonggarkan kebijakan moneter. 


Selain besaran suku bunga, investor juga menunggu pernyataan yang bisa menjadi petunjuk arah kebijakan suku bunga BI. Apalagi berbagai bank sentral sudah menunjukkan stance (posisi) kalem alias dovish

Dini hari tadi, Gubernur The Federal Reserves/The Fed Jerome 'Jay' Powell menyatakan bahwa prospek perekonomian AS pada dasarnya masih bagus (favourable). Akan tetapi ada risiko yang semakin meningkat, seperti friksi dagang AS dengan sejumlah negara, yang membuat investasi melambat. Selain itu, ada pula risiko perlambatan ekonomi di negara-negara mitra dagang dan investasi AS. 

"Pertanyaannya adalah, apakah risiko-risiko ini akan membebani prospek perekonomian? Kami akan bertindak jika dibutuhkan, termasuk kalau memungkinkan, menggunakan berbagai instrumen untuk menjaga ekspansi (ekonomi)," tuturnya, mengutip Reuters. 

Powell menambahkan, jika memang The Fed menurunkan suku bunga acuan maka kebijakan itu akan disertai dengan penundaan normalisasi neraca. Sebuah kebijakan all out attack, yang membuat likuiditas di perekonomian berpotensi melimpah-ruah. 

The Fed memang masih mempertahankan suku bunga acuan di 2,25-2,5%. Namun pernyataan dovish dari Powell membuat pelaku pasar semakin yakin bahwa Federal Funds Rate bisa turun bulan depan.  

Mengutip CME Fedwatch, peluang penurunan suku bunga acuan menjadi 2-2,25% pada Juli mencapai 67,7%. Bahkan peluang turun turun lebih jauh ke 1,75-2% juga lumayan tinggi yaitu 32,3%. Tidak ada ruang suku bunga bertahan di 2,25-2,5%, peluangnya 0%. 

Teranyar, Bank Sentral Jepang (BoJ) juga mempertahankan suku bunga acuan di -0,1%. Namun pernyataan yang muncul mengindikasikan stance yang juga dovish

"Risiko perlambatan di perekonomian global begitu besar, sehingga kami harus memantau dengan seksama bagaimana pengaruhnya terhadap dunia usaha dan rumah tangga di Jepang," sebut pernyataan tertulis BoJ. 

Gubernur BoJ Haruhiko Kuroda dalam wawancana dengan Bloomberg beberapa waktu lalu, seperti dikutip dari Reuters, menegaskan bank sentral Negeri Matahari terbit siap menggelontorkan stimulus jika target inflasi 2% tidak kunjung tercapai. Opsinya adalah menurunkan suku bunga acuan walau saat ini sudah berada di -0,1%, menurunkan target yield obligasi pemerintah, sampai menambah pembelian aset untuk memperbanyak likuiditas di perekonomian. 

Sejauh ini, pasar menilai BI masih galau dalam menentukan sikap. Di satu sisi ada ruang untuk menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate karena inflasi domestik yang terkendali dan kebutuhan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi lain ada pertimbangan untuk menjaga stabilitas, yang dicerminkan dari Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). 


Arah suku bunga global yang mengarah ke selatan itu sedikit banyak memberi tekanan kepada BI. Akankah BI bergabung di gerbong yang sama dengan The Fed dan BoJ? Atau apakah BI masih mengedepankan pendekatan stability over growth

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa didapat dari pengumuman siang nanti. Jadi sembari menunggu, pelaku pasar memilih tidak terlalu agresif. Akibatnya apresiasi rupiah menjadi menipis.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular