
Rupiah Terbaik di Asia, Ini Penyebabnya
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 June 2019 08:39

Sepertinya faktor kebijakan moneter menjadi penentu pergerakan rupiah. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Bank Indonesia (BI) masih akan mempertahankan suku bunga acuan di angka 6% bulan ini.
Sikap BI masih mendua. Di satu sisi ada peluang menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate karena inflasi domestik yang terkendali dan kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun di sisi lain masih ada risiko di sisi keseimbangan eksternal yaitu Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Ada kekhawatiran terjadi arus modal keluar saat BI menurunkan suku bunga acuan, sehingga surplus NPI berisiko berkurang, atau bahkan bisa berbalik defisit. Sebab NPI kini praktis bertumpu kepada arus modal, salah satunya dari sektor keuangan yang sensitif terhadap suku bunga. Jika suku bunga turun, maka imbalan berinvestasi di Indonesia ikut berkurang sehingga menjadi disinsentif bagi investor untuk menanamkan modalnya.
Selain itu, penurunan suku bunga akan membuat pertumbuhan ekonomi berpotensi lebih cepat sehingga impor membengkak karena industri dalam negeri yang belum mampu memenuhi peningkatan permintaan. Akibatnya, transaksi berjalan (current account) tertekan sehingga rupiah berisiko melemah.
Baca:
Konsensus: Bunga Acuan Diramal Tetap 6%, Tapi...
Posisi BI yang masih galau ini berbeda dengan bank sentral negara-negara lain yang sepertinya sudah lebih tegas dalam menempuh jalur penurunan suku bunga acuan. The Federal Reserves/The Fed, Bank Sentral Uni Eropa (ECB), sampai Bank Sentral Jepang (BoJ) tampaknya sudah dalam posisi pelonggaran.
Jika situasi seperti ini terus terjadi, di mana BI menahan suku bunga acuan sementara negara lain menurunkan, maka selisih suku bunga akan semakin lebar. Artinya berinvestasi di Indonesia akan semakin menguntungkan karena memberikan imbalan lebih tinggi.
Adanya persepsi cuan semacam ini mendorong pelaku pasar berbondong-bondong masuk ke pasar keuangan Indonesia. Arus modal mengalir dengan deras dan membuat rupiah terapresiasi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Sikap BI masih mendua. Di satu sisi ada peluang menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate karena inflasi domestik yang terkendali dan kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun di sisi lain masih ada risiko di sisi keseimbangan eksternal yaitu Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Ada kekhawatiran terjadi arus modal keluar saat BI menurunkan suku bunga acuan, sehingga surplus NPI berisiko berkurang, atau bahkan bisa berbalik defisit. Sebab NPI kini praktis bertumpu kepada arus modal, salah satunya dari sektor keuangan yang sensitif terhadap suku bunga. Jika suku bunga turun, maka imbalan berinvestasi di Indonesia ikut berkurang sehingga menjadi disinsentif bagi investor untuk menanamkan modalnya.
Baca:
Konsensus: Bunga Acuan Diramal Tetap 6%, Tapi...
Posisi BI yang masih galau ini berbeda dengan bank sentral negara-negara lain yang sepertinya sudah lebih tegas dalam menempuh jalur penurunan suku bunga acuan. The Federal Reserves/The Fed, Bank Sentral Uni Eropa (ECB), sampai Bank Sentral Jepang (BoJ) tampaknya sudah dalam posisi pelonggaran.
Jika situasi seperti ini terus terjadi, di mana BI menahan suku bunga acuan sementara negara lain menurunkan, maka selisih suku bunga akan semakin lebar. Artinya berinvestasi di Indonesia akan semakin menguntungkan karena memberikan imbalan lebih tinggi.
Adanya persepsi cuan semacam ini mendorong pelaku pasar berbondong-bondong masuk ke pasar keuangan Indonesia. Arus modal mengalir dengan deras dan membuat rupiah terapresiasi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular