
Dolar AS Menyapu Bersih Asia, Tidak Ada Korban Selamat!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 June 2019 08:27

Hari ini, ada dua sentimen yang menyebabkan investor memilih bermain aman dan menghindari pasar keuangan Asia. Pertama adalah perang dagang AS-India.
Mulai 5 Juni, AS menghapus fasilitas Generalized System of Preference (GSP) bagi India. Fasilitas ini membuat produk made in India bebas bea masuk di AS, nilainya ditaksir mencapai US$ 5,6 miliar.
Namun Trump memutuskan untuk meniadakan fasilitas itu, karena dinilai mengancam industri dan kepentingan dalam negeri. India tidak terima, dan membalas dengan menerapkan bea masuk untuk 28 produk AS seperti kacang almon, walnut, dan apel yang berlaku mulai minggu waktu setempat.
Kebijakan Negeri Bollywood ini bisa memukul sektor pertanian AS. Pasalnya, data US Department of Agriculture menyebutkan India adalah pembeli kacang almon terbesar dengan nilai US$ 543 juta. Jumlah ini lebih dari separuh dari total ekspor kacang almon AS.
Perang dagang AS-China belum jelas juntrungannya, kini ada lagi perang dagang AS-India. Jika perang dagang terus berlangsung dan bahkan skalanya lebih luas, maka dijamin perlambatan ekonomi global adalah sebuah keniscayaan. Sesuatu yang bisa membuat investor khawatir dan enggan masuk ke instrumen berisiko di negara berkembang.
Kedua, situasi di Timur Tengah sedang memanas. Pekan lalu, dua kapal kargo mengalami serangan di Selat Hormuz. Serangan yang ditengarai berasal dari torpedo itu membuat mata AS dan sekutunya melirik ke Iran.
"Iran yang melakukannya. Anda tahu mereka pelakunya," tegas Trump dalam wawancara dengan Fox News.
Tensi geopolitik Timur Tengah yang meningkat membuat Arab Saudi cemas. Negeri Padang Pasir menegaskan jalur distribusi minyak harus diamankan dari segala bentuk ancaman.
"Kerajaan tidak ingin ada perang di wilayah ini. Namun tidak akan ragu untuk mengatasi segala gangguan terhadap rakyat, kedaulatan, dan kepentingan nasional," tegas Mohammed bin Salman, Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, dikutip dari Reuters.
Apabila situasi di Timur Tengah memanas, apalagi jika sampai mengganggu jalur pelayaran, maka akan berdampak terhadap harga minyak dunia. Maklum, sebagian besar pasokan minyak di pasar global berasal di kawasan Timur Tengah.
Kalau sampai ada persepsi pasokan bakal seret, maka harga minyak dunia berpeluang naik. Benar saja, pada pukul 08:19 WIB harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 0,29% dan 0,23%.
Kenaikan harga minyak akan menjadi sentimen negatif bagi rupiah. Sebab kenaikan harga komoditas ini akan membuat biaya impornya semakin mahal sehingga mengancam transaksi berjalan (current account).
Padahal transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi stabilitas nilai tukar, karena mencerminkan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa yang lebih berjangka panjang.
Jika transaksi berjalan defisit dalam, maka rupiah akan rentan melemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Mulai 5 Juni, AS menghapus fasilitas Generalized System of Preference (GSP) bagi India. Fasilitas ini membuat produk made in India bebas bea masuk di AS, nilainya ditaksir mencapai US$ 5,6 miliar.
Namun Trump memutuskan untuk meniadakan fasilitas itu, karena dinilai mengancam industri dan kepentingan dalam negeri. India tidak terima, dan membalas dengan menerapkan bea masuk untuk 28 produk AS seperti kacang almon, walnut, dan apel yang berlaku mulai minggu waktu setempat.
Kebijakan Negeri Bollywood ini bisa memukul sektor pertanian AS. Pasalnya, data US Department of Agriculture menyebutkan India adalah pembeli kacang almon terbesar dengan nilai US$ 543 juta. Jumlah ini lebih dari separuh dari total ekspor kacang almon AS.
Perang dagang AS-China belum jelas juntrungannya, kini ada lagi perang dagang AS-India. Jika perang dagang terus berlangsung dan bahkan skalanya lebih luas, maka dijamin perlambatan ekonomi global adalah sebuah keniscayaan. Sesuatu yang bisa membuat investor khawatir dan enggan masuk ke instrumen berisiko di negara berkembang.
Kedua, situasi di Timur Tengah sedang memanas. Pekan lalu, dua kapal kargo mengalami serangan di Selat Hormuz. Serangan yang ditengarai berasal dari torpedo itu membuat mata AS dan sekutunya melirik ke Iran.
"Iran yang melakukannya. Anda tahu mereka pelakunya," tegas Trump dalam wawancara dengan Fox News.
Tensi geopolitik Timur Tengah yang meningkat membuat Arab Saudi cemas. Negeri Padang Pasir menegaskan jalur distribusi minyak harus diamankan dari segala bentuk ancaman.
"Kerajaan tidak ingin ada perang di wilayah ini. Namun tidak akan ragu untuk mengatasi segala gangguan terhadap rakyat, kedaulatan, dan kepentingan nasional," tegas Mohammed bin Salman, Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, dikutip dari Reuters.
Apabila situasi di Timur Tengah memanas, apalagi jika sampai mengganggu jalur pelayaran, maka akan berdampak terhadap harga minyak dunia. Maklum, sebagian besar pasokan minyak di pasar global berasal di kawasan Timur Tengah.
Kalau sampai ada persepsi pasokan bakal seret, maka harga minyak dunia berpeluang naik. Benar saja, pada pukul 08:19 WIB harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 0,29% dan 0,23%.
Kenaikan harga minyak akan menjadi sentimen negatif bagi rupiah. Sebab kenaikan harga komoditas ini akan membuat biaya impornya semakin mahal sehingga mengancam transaksi berjalan (current account).
Padahal transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi stabilitas nilai tukar, karena mencerminkan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa yang lebih berjangka panjang.
Jika transaksi berjalan defisit dalam, maka rupiah akan rentan melemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular