
Sedih, Rupiah Terlemah Sejak 30 Mei Plus Terlemah Kedua Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 June 2019 16:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Berbagai sentimen negatif dari dalam dan luar negeri membuat rupiah (dan mata uang Asia lainnya) sulit menguat.
Pada Jumat (14/6/2019), US$ 1 dibanderol Rp 14.320 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,32% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. Ini menjadi posisi terlemah rupiah sejak 30 Mei.
Kala pembukaan pasar spot, rupiah masih menguat tipis 0,04%. Namun itu ternyata fana belaka, karena kemudian rupiah jatuh ke zona merah. Bahkan rupiah jatuh semakin dalam.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini:
Pelemahan ini membuat rupiah melemah dalam dua hari perdagangan berturut-turut dengan depresiasi 0,63%. Sebelumnya, rupiah sempat menguat selama empat hari perdagangan beruntun.
Mungkin ini menjadi salah satu alasan mengapa rupiah melemah. Selama menguat empat hari, apresiasi rupiah mencapai 1,15%. Dalam sebulan terakhir, rupiah juga masih mengoleksi penguatan sebesar 0,73%.
Oleh karena itu, bisa jadi sebagian investor menilai keuntungan yang didapat dari rupiah sudah lumayan tinggi. Aksi jual membayangi mata uang Tanah Air, sehingga risiko pelemahan masih melekat.
Selain itu, rilis data ekonomi terbaru juga kurang memuaskan. Bank Indonesia (BI) melaporkan penjualan ritel pada April tumbuh 6,7% year-on-year (YoY), jauh melambat dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya yaitu 10,1%.
Pertumbuhan penjualan ritel pada April menjadi yang terlemah sejak November 2018. Memang April belum menjadi puncak konsumsi masyarakat, karena Ramadan baru jatuh pada awal Mei.
Namun data ini memberi gambaran bahwa masyarakat agak hati-hati dalam berbelanja, sebuah sinyal perlambatan konsumsi rumah tangga. Padahal konsumsi rumah tangga adalah komponen terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), dengan porsi nyaris 60%.
Ketika komponen ini bermasalah, maka pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan ikut tertahan. Risiko pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari perkiraan membuat investor pikir-pikir untuk masuk ke pasar keuangan Indonesia. Tidak heran rupiah kekurangan 'darah' sehingga bergerak melemah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Di samping faktor domestik itu, sentimen eksternal juga ikut membebani rupiah. Pertama adalah prospek damai dagang AS-China yang masih suram.
Jelang KTT G20 di Osaka (Jepang) akhir bulan ini, belum ada konfirmasi bahwa Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akan bertemu. Sejauh ini Washington masih ingin kedua pemimpin itu bertemu dan bisa membuka jalan menuju damai dagang, seperti yang terjadi di Buenos Aires (Argentina) akhir tahun lalu.
"Namun belum ada proses formalisasi," ujar Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, mengutip Reuters.
"Prinsip dasar (dialog dagang) adalah kerja sama. China tidak akan bernegosiasi untuk sebuah hal yang sangat prinsip," tegas Gao Feng, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China, dikutip dari Reuters.
Sepertinya hubungan Washington-Beijing masih renggang, dan belum ada titik terang seputar pertemuan Trump-Xi di Osaka. Khawatir tensi perang dagang AS-China bisa naik, investor pun memilih bermain aman.
Kedua adalah tensi di Timur Tengah yang meninggi. Kemarin, dua kapal kargo mengalami serangan di Selat Hormuz. AS langsung menunjuk hidung, Iran dijadikan tersangka utama.
"Berdasarkan kajian pemerintah AS, Republik Islam Iran bertanggung jawab atas serangan yang terjadi di Teluk Oman," tegas Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS, dikutip dari Reuters.
Iran pun membantah keras tuduhan tersebut. Misi Iran di PBB mengutuk keras pernyataan AS.
"Kami membantah klaim AS yang tidak berdasar tersebut dan mengutuk dengan cara yang paling keras," tegas pernyataan misi Iran di PBB, mengutip Reuters.
Investor cemas tensi yang meninggi ini bisa berpuncak pada konflik bersenjata alias perang. Amit-amit, tetapi sebuah risiko yang tidak bisa dikesampingkan.
Ketiga, ada rilis data ekonomi di China yang kurang oke. Produksi industri di negeri Tirai Bambu pada Mei tumbuh 5% YoY, melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 5,4% YoY. Pertumbuhan pada Mei menjadi yang paling lemah dalam 17 tahun terakhir.
China adalah perekonomian terbesar di Asia, sehingga apa yang terjadi di sana akan mempengaruhi satu benua. Sinyal perlambatan ekonomi China yang semakin jelas membuat investor ragu-ragu untuk menanamkan modal di Asia.
Tiga faktor eksternal tersebut membuat mayoritas mata uang utama Benua Kuning terdepresiasi di hadapan dolar AS. Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 16: WIB:
Meski mata uang Asia ramai-ramai melemah, tetapi rupiah menjadi salah satu yang paling lemah. Rupiah menduduki posisi kedua dari bawah, hanya unggul dari peso Filipina.
Sebab selain sentimen eksternal yang negatif, perkembangan domestik yang kurang impresif menambah beban rupiah. Harap maklum kalau rupiah tidak bisa memberi happy weekend.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Jumat (14/6/2019), US$ 1 dibanderol Rp 14.320 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,32% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. Ini menjadi posisi terlemah rupiah sejak 30 Mei.
Kala pembukaan pasar spot, rupiah masih menguat tipis 0,04%. Namun itu ternyata fana belaka, karena kemudian rupiah jatuh ke zona merah. Bahkan rupiah jatuh semakin dalam.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini:
Pelemahan ini membuat rupiah melemah dalam dua hari perdagangan berturut-turut dengan depresiasi 0,63%. Sebelumnya, rupiah sempat menguat selama empat hari perdagangan beruntun.
Mungkin ini menjadi salah satu alasan mengapa rupiah melemah. Selama menguat empat hari, apresiasi rupiah mencapai 1,15%. Dalam sebulan terakhir, rupiah juga masih mengoleksi penguatan sebesar 0,73%.
Oleh karena itu, bisa jadi sebagian investor menilai keuntungan yang didapat dari rupiah sudah lumayan tinggi. Aksi jual membayangi mata uang Tanah Air, sehingga risiko pelemahan masih melekat.
Selain itu, rilis data ekonomi terbaru juga kurang memuaskan. Bank Indonesia (BI) melaporkan penjualan ritel pada April tumbuh 6,7% year-on-year (YoY), jauh melambat dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya yaitu 10,1%.
Pertumbuhan penjualan ritel pada April menjadi yang terlemah sejak November 2018. Memang April belum menjadi puncak konsumsi masyarakat, karena Ramadan baru jatuh pada awal Mei.
Namun data ini memberi gambaran bahwa masyarakat agak hati-hati dalam berbelanja, sebuah sinyal perlambatan konsumsi rumah tangga. Padahal konsumsi rumah tangga adalah komponen terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), dengan porsi nyaris 60%.
Ketika komponen ini bermasalah, maka pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan ikut tertahan. Risiko pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari perkiraan membuat investor pikir-pikir untuk masuk ke pasar keuangan Indonesia. Tidak heran rupiah kekurangan 'darah' sehingga bergerak melemah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Di samping faktor domestik itu, sentimen eksternal juga ikut membebani rupiah. Pertama adalah prospek damai dagang AS-China yang masih suram.
Jelang KTT G20 di Osaka (Jepang) akhir bulan ini, belum ada konfirmasi bahwa Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akan bertemu. Sejauh ini Washington masih ingin kedua pemimpin itu bertemu dan bisa membuka jalan menuju damai dagang, seperti yang terjadi di Buenos Aires (Argentina) akhir tahun lalu.
"Namun belum ada proses formalisasi," ujar Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, mengutip Reuters.
"Prinsip dasar (dialog dagang) adalah kerja sama. China tidak akan bernegosiasi untuk sebuah hal yang sangat prinsip," tegas Gao Feng, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China, dikutip dari Reuters.
Sepertinya hubungan Washington-Beijing masih renggang, dan belum ada titik terang seputar pertemuan Trump-Xi di Osaka. Khawatir tensi perang dagang AS-China bisa naik, investor pun memilih bermain aman.
Kedua adalah tensi di Timur Tengah yang meninggi. Kemarin, dua kapal kargo mengalami serangan di Selat Hormuz. AS langsung menunjuk hidung, Iran dijadikan tersangka utama.
"Berdasarkan kajian pemerintah AS, Republik Islam Iran bertanggung jawab atas serangan yang terjadi di Teluk Oman," tegas Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS, dikutip dari Reuters.
Iran pun membantah keras tuduhan tersebut. Misi Iran di PBB mengutuk keras pernyataan AS.
"Kami membantah klaim AS yang tidak berdasar tersebut dan mengutuk dengan cara yang paling keras," tegas pernyataan misi Iran di PBB, mengutip Reuters.
Investor cemas tensi yang meninggi ini bisa berpuncak pada konflik bersenjata alias perang. Amit-amit, tetapi sebuah risiko yang tidak bisa dikesampingkan.
Ketiga, ada rilis data ekonomi di China yang kurang oke. Produksi industri di negeri Tirai Bambu pada Mei tumbuh 5% YoY, melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 5,4% YoY. Pertumbuhan pada Mei menjadi yang paling lemah dalam 17 tahun terakhir.
China adalah perekonomian terbesar di Asia, sehingga apa yang terjadi di sana akan mempengaruhi satu benua. Sinyal perlambatan ekonomi China yang semakin jelas membuat investor ragu-ragu untuk menanamkan modal di Asia.
Tiga faktor eksternal tersebut membuat mayoritas mata uang utama Benua Kuning terdepresiasi di hadapan dolar AS. Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 16: WIB:
Meski mata uang Asia ramai-ramai melemah, tetapi rupiah menjadi salah satu yang paling lemah. Rupiah menduduki posisi kedua dari bawah, hanya unggul dari peso Filipina.
Sebab selain sentimen eksternal yang negatif, perkembangan domestik yang kurang impresif menambah beban rupiah. Harap maklum kalau rupiah tidak bisa memberi happy weekend.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular