
Rating S&P Naik, Ini Fakta Indonesia Rentan Ditekan Asing
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 June 2019 15:21

Jika dikatakan bahwa perekonomian Indonesia rentan digoyang oleh investor asing, tentu hal tersebut benar adanya, seiring dengan besarnya porsi kepemilikan investor asing di pasar saham dan obligasi.
Tapi yang terjadi belakangan ini, investor asing ternyata tak menggoyahkan rupiah, setidaknya tidak dari aksi jual di pasar modal. Pada tahun 2018, memang terjadi aliran modal keluar investor asing yang begitu besar di pasar saham.
Sepanjang tahun 2018, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 50,75 triliun di pasar saham tanah air, seperti dilansir dari laman resmi Bursa Efek Indonesia (BEI).
Tim Riset CNBC Indonesia mengumpulkan data aliran modal investor asing di pasar saham secara tahunan melalui IDX Fact Book yang dipublikasikan oleh BEI. Data yang berhasil dikumpulkan adalah pada periode 2004-2017. Dari data tersebut terlihat bahwa jual bersih pada tahun lalu merupakan yang terbesar dalam setidaknya 15 tahun.
Namun di sisi lain, aksi beli yang sangat masif dilakukan investor di pasar obligasi. Sepanjang 2018, dana senilai Rp 57,1 triliun dibawa masuk oleh investor asing untuk dibelanjakan obligasi terbitan pemerintah Indonesia.
Beralih ke tahun 2019, sepanjang tahun ini (hingga akhir Mei) investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 2,3 triliun di pasar saham (pasar reguler). Data di pasar reguler digunakan pada tahun ini lantaran ada transaksi investor asing bernilai jumbo di pasar negosiasi, seperti pada saham PT Bank Danamon Tbk (BDMN) di mana investor asing masuk nyaris senilai Rp 50 triliun (pengambilalihan mayoritas kepemilikan saham BDMN oleh Mitsubishi UFJ Financial Group/MUFG).
Namun, lagi-lagi pasar obligasi kebanjiran aliran dana investor asing. Sepanjang tahun ini (hingga 24 Mei 2019), investor asing tercatat membukukan beli bersih senilai Rp 57,8 triliun atas obligasi terbitan pemerintah Indonesia.
Performa rupiah pun menjadi terangkat karenanya. Terlepas dari tak kondusifnya sentimen eksternal yang mayoritas berasal dari perang dari perang dagang AS-China, rupiah tercatat menguat 0,73% sepanjang tahun ini di pasar spot, dari Rp 14.375/dolar AS menjadi Rp 14.270/dolar AS.
Terus membaiknya peringkat surat utang Indonesia menjadi salah satu faktor yang melandasi aksi beli investor asing di pasar obligasi tanah air. Pada akhir 2017, lembaga pemeringkat kenamaan dunia Fitch Ratings menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia dari BBB- menjadi BBB, menjadikan Indonesia setara dengan Filipina dan Portugal yang telah lebih dulu mendapatkan kenaikan peringkat ke BBB pada pertengahan Desember 2017.
Kemudian pada April 2018, Moody’s memutuskan untuk mengerek peringkat surat utang jangka panjang Indonesia sebanyak 1 tingkat ke level Baa2, dari yang sebelumnya Baa3.
Dalam keterangannya tertulisnya, Moody's menyebut bahwa kebijakan fiskal dan moneter yang prudent serta ketahanan sektor finansial membuatnya pihaknya yakin bahwa Indonesia memiliki modal yang cukup dalam menghadapi guncangan-guncangan yang mungkin terjadi.
Teranyar, menjelang libur panjang Idul Fitri, Standard and Poor's (S&P) ikut memutuskan untuk menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia.
"S&P menaikkan peringkat pemerintah Indonesia ke BBB dengan alasan prospek pertumbuhan yang kuat dan kebijakan fiskal yang prudent," tulis S&P dalam keterangan resminya.
Dalam laporannya, S&P menulis bahwa perekonomian Indonesia berhasil tumbuh lebih tinggi dibandingkan rekan-rekannya di tingkat pendapatan yang sama. Pertumbuhan riil Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia mencapai 4,1% (rata-rata tertimbang 10 tahun), sedangkan negara-negara lain dengan tingkat pendapatan yang sama rata-rata hanya tumbuh 2,2%. Menurut lembaga yang bermarkas di New York, Amerika Serikat (AS) tersebut, hal itu merupakan sebuah prestasi yang mengesankan.
Terus membaiknya peringkat surat utang Indonesia merefleksikan menurunnya risiko yang ditanggung investor ketika memegangnya. Akibatnya, investor asing terus menerus masuk ke pasar obligasi Indonesia.
Kedepannya, jika peringkat surat utang Indonesia bisa dipertahankan atau malah didorong untuk dikerek naik lagi, investor asing bisa terus masuk ke pasar obligasi. Pada akhirnya, besarnya kepemilikan investor asing atas saham dan obligasi yang disebut Bank Dunia menjadi sumber kerentanan menjadi tak perlu dikhawatirkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/hps)
Tapi yang terjadi belakangan ini, investor asing ternyata tak menggoyahkan rupiah, setidaknya tidak dari aksi jual di pasar modal. Pada tahun 2018, memang terjadi aliran modal keluar investor asing yang begitu besar di pasar saham.
Sepanjang tahun 2018, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 50,75 triliun di pasar saham tanah air, seperti dilansir dari laman resmi Bursa Efek Indonesia (BEI).
Namun di sisi lain, aksi beli yang sangat masif dilakukan investor di pasar obligasi. Sepanjang 2018, dana senilai Rp 57,1 triliun dibawa masuk oleh investor asing untuk dibelanjakan obligasi terbitan pemerintah Indonesia.
Beralih ke tahun 2019, sepanjang tahun ini (hingga akhir Mei) investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 2,3 triliun di pasar saham (pasar reguler). Data di pasar reguler digunakan pada tahun ini lantaran ada transaksi investor asing bernilai jumbo di pasar negosiasi, seperti pada saham PT Bank Danamon Tbk (BDMN) di mana investor asing masuk nyaris senilai Rp 50 triliun (pengambilalihan mayoritas kepemilikan saham BDMN oleh Mitsubishi UFJ Financial Group/MUFG).
Namun, lagi-lagi pasar obligasi kebanjiran aliran dana investor asing. Sepanjang tahun ini (hingga 24 Mei 2019), investor asing tercatat membukukan beli bersih senilai Rp 57,8 triliun atas obligasi terbitan pemerintah Indonesia.
Performa rupiah pun menjadi terangkat karenanya. Terlepas dari tak kondusifnya sentimen eksternal yang mayoritas berasal dari perang dari perang dagang AS-China, rupiah tercatat menguat 0,73% sepanjang tahun ini di pasar spot, dari Rp 14.375/dolar AS menjadi Rp 14.270/dolar AS.
Terus membaiknya peringkat surat utang Indonesia menjadi salah satu faktor yang melandasi aksi beli investor asing di pasar obligasi tanah air. Pada akhir 2017, lembaga pemeringkat kenamaan dunia Fitch Ratings menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia dari BBB- menjadi BBB, menjadikan Indonesia setara dengan Filipina dan Portugal yang telah lebih dulu mendapatkan kenaikan peringkat ke BBB pada pertengahan Desember 2017.
Kemudian pada April 2018, Moody’s memutuskan untuk mengerek peringkat surat utang jangka panjang Indonesia sebanyak 1 tingkat ke level Baa2, dari yang sebelumnya Baa3.
Dalam keterangannya tertulisnya, Moody's menyebut bahwa kebijakan fiskal dan moneter yang prudent serta ketahanan sektor finansial membuatnya pihaknya yakin bahwa Indonesia memiliki modal yang cukup dalam menghadapi guncangan-guncangan yang mungkin terjadi.
Teranyar, menjelang libur panjang Idul Fitri, Standard and Poor's (S&P) ikut memutuskan untuk menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia.
"S&P menaikkan peringkat pemerintah Indonesia ke BBB dengan alasan prospek pertumbuhan yang kuat dan kebijakan fiskal yang prudent," tulis S&P dalam keterangan resminya.
Dalam laporannya, S&P menulis bahwa perekonomian Indonesia berhasil tumbuh lebih tinggi dibandingkan rekan-rekannya di tingkat pendapatan yang sama. Pertumbuhan riil Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia mencapai 4,1% (rata-rata tertimbang 10 tahun), sedangkan negara-negara lain dengan tingkat pendapatan yang sama rata-rata hanya tumbuh 2,2%. Menurut lembaga yang bermarkas di New York, Amerika Serikat (AS) tersebut, hal itu merupakan sebuah prestasi yang mengesankan.
Terus membaiknya peringkat surat utang Indonesia merefleksikan menurunnya risiko yang ditanggung investor ketika memegangnya. Akibatnya, investor asing terus menerus masuk ke pasar obligasi Indonesia.
Kedepannya, jika peringkat surat utang Indonesia bisa dipertahankan atau malah didorong untuk dikerek naik lagi, investor asing bisa terus masuk ke pasar obligasi. Pada akhirnya, besarnya kepemilikan investor asing atas saham dan obligasi yang disebut Bank Dunia menjadi sumber kerentanan menjadi tak perlu dikhawatirkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/hps)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular