
Daya Saing RI Naik 11 Peringkat ke-32, Ternyata Ini Pemicunya
tahir saleh, CNBC Indonesia
03 June 2019 17:14

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) mengungkapkan peringkat daya saing Indonesia tahun 2019 yang dirilis lembaga riset berbasis di Swiss, IMD World Competitiveness Center, melesat 11 peringkat tahun ini menjadi urutan 32 dari sebelumnya tahun 2018 berada di peringkat 43.
Empat indikator besar yang diukur dari peringkat itu yaitu kinerja ekonomi, efisiensi birokrasi, efisiensi bisnis, dan infrastruktur. Kenaikan peringkat daya saing Indonesia ini menjadi yang terbesar di regional Asia Pasifik.
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengungkapkan selesainya sejumlah proyek infrastruktur yang telah dirasakan dampaknya menjadi salah satu faktor yang turut berkontribusi pada peningkatan daya saing Indonesia.
Dalam periode 2015-2019, pembangunan infrastruktur menjadi salah satu program prioritas Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan.
Dalam rilis IMD World Competitiveness Center, peningkatan daya saing disebabkan efisiensi di sektor pemerintahan, demikian halnya kemajuan dalam ketersediaan infrastruktur dan iklim bisnis.
"Meskipun demikian masih di bawah Malaysia (peringkat 22) dan Thailand (peringkat 25). Apabila stok infrastruktur kita stagnan maka daya tarik investasi kita akan kalah dibandingkan negara tetangga," ujar Basuki Hadimuljono, dalam keterangan resmi, dikutip CNBC Indonesia, Senin (3/6/2019).
Basuki mengatakan pembangunan infrastruktur menjadi pilihan logis dan strategis semata-mata untuk meningkatkan daya saing Indonesia sekaligus untuk mengejar ketertinggalan.
Apalagi Indonesia sempat mengalami krisis ekonomi yang berdampak pada penundaan dan penghentian pembangunan dan pemeliharan infrastruktur.
Oleh karena itu, katanya, sejak tahun 2015 pemerintah mengalihkan belanja subsidi menjadi belanja produktif berupa pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan. Namun demikian dampak kebijakan pembangunan infrastruktur tidak serta merta dapat dirasakan dalam jangka pendek.
"Untuk itu kita banyak membangun infrastruktur di Papua, Papua Barat, NTT dan kawasan perbatasan," ujar mantan Direktur Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum 2013-2014 ini.
Dia menjelaskan, daya saing yang baik diperlukan guna menarik investasi baik dari dalam maupun luar negeri untuk meningkatkan produksi nasional dan membuka lapangan kerja yang akan mengurangi jumlah pengangguran.
"Infrastruktur yang kurang memadai akan membuat produk Indonesia sulit bersaing. Rendahnya konektivitas yang mengakibatkan biaya logistik kita lebih mahal daripada Malaysia, Singapura atau bahkan Filipina," ujarnya.
Dalam membangun konektivitas, dilakukan secara sinergi multimoda. "Sebagai contoh Kementerian Perhubungan membangun pelabuhan dan bandara, maka Kementerian PUPR akan menyediakan akses jalan bebas hambatannya. Pembiayaan menjadi tantangan Pemerintah meski anggaran infrastruktur Kementerian PUPR cukup besar dengan rata-rata di atas Rp 100 triliun, namun belum memenuhi kebutuhan," jelasnya.
Dalam 5 tahun (2015-2019) total anggaran Kementerian PUPR sebesar Rp 548,4 triliun yang terbagi tahun 2015 sebesar Rp 119,6 triliun, tahun 2016 sebesar Rp 98,1 triliun, tahun 2017 sebesar Ro 106,3 triliun, tahun 2018 sebesar Rp 113,7 triliun dan tahun 2019 sebesar Rp 110,7 triliun.
Oleh karenanya, tegasnya, untuk infrastruktur yang pembiayaannya dapat melibatkan masyarakat seperti jalan tol, maka pembangunannya melalui investasi badan usaha.
"Dengan demikian anggaran infrastruktur yang ada dioptimalkan bagi pembangunan di kawasan perbatasan, daerah terpencil maupun infrastruktur kerakyatan seperti air minum, sanitasi, jembatan gantung, rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah semakin diperluas cakupan layanannya."
(hps) Next Article Laju Cepat Bisnis Jasa Pengiriman JNE
Empat indikator besar yang diukur dari peringkat itu yaitu kinerja ekonomi, efisiensi birokrasi, efisiensi bisnis, dan infrastruktur. Kenaikan peringkat daya saing Indonesia ini menjadi yang terbesar di regional Asia Pasifik.
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengungkapkan selesainya sejumlah proyek infrastruktur yang telah dirasakan dampaknya menjadi salah satu faktor yang turut berkontribusi pada peningkatan daya saing Indonesia.
Dalam rilis IMD World Competitiveness Center, peningkatan daya saing disebabkan efisiensi di sektor pemerintahan, demikian halnya kemajuan dalam ketersediaan infrastruktur dan iklim bisnis.
"Meskipun demikian masih di bawah Malaysia (peringkat 22) dan Thailand (peringkat 25). Apabila stok infrastruktur kita stagnan maka daya tarik investasi kita akan kalah dibandingkan negara tetangga," ujar Basuki Hadimuljono, dalam keterangan resmi, dikutip CNBC Indonesia, Senin (3/6/2019).
Basuki mengatakan pembangunan infrastruktur menjadi pilihan logis dan strategis semata-mata untuk meningkatkan daya saing Indonesia sekaligus untuk mengejar ketertinggalan.
Apalagi Indonesia sempat mengalami krisis ekonomi yang berdampak pada penundaan dan penghentian pembangunan dan pemeliharan infrastruktur.
Oleh karena itu, katanya, sejak tahun 2015 pemerintah mengalihkan belanja subsidi menjadi belanja produktif berupa pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan. Namun demikian dampak kebijakan pembangunan infrastruktur tidak serta merta dapat dirasakan dalam jangka pendek.
"Untuk itu kita banyak membangun infrastruktur di Papua, Papua Barat, NTT dan kawasan perbatasan," ujar mantan Direktur Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum 2013-2014 ini.
Dia menjelaskan, daya saing yang baik diperlukan guna menarik investasi baik dari dalam maupun luar negeri untuk meningkatkan produksi nasional dan membuka lapangan kerja yang akan mengurangi jumlah pengangguran.
"Infrastruktur yang kurang memadai akan membuat produk Indonesia sulit bersaing. Rendahnya konektivitas yang mengakibatkan biaya logistik kita lebih mahal daripada Malaysia, Singapura atau bahkan Filipina," ujarnya.
![]() |
Dalam membangun konektivitas, dilakukan secara sinergi multimoda. "Sebagai contoh Kementerian Perhubungan membangun pelabuhan dan bandara, maka Kementerian PUPR akan menyediakan akses jalan bebas hambatannya. Pembiayaan menjadi tantangan Pemerintah meski anggaran infrastruktur Kementerian PUPR cukup besar dengan rata-rata di atas Rp 100 triliun, namun belum memenuhi kebutuhan," jelasnya.
Dalam 5 tahun (2015-2019) total anggaran Kementerian PUPR sebesar Rp 548,4 triliun yang terbagi tahun 2015 sebesar Rp 119,6 triliun, tahun 2016 sebesar Rp 98,1 triliun, tahun 2017 sebesar Ro 106,3 triliun, tahun 2018 sebesar Rp 113,7 triliun dan tahun 2019 sebesar Rp 110,7 triliun.
Oleh karenanya, tegasnya, untuk infrastruktur yang pembiayaannya dapat melibatkan masyarakat seperti jalan tol, maka pembangunannya melalui investasi badan usaha.
"Dengan demikian anggaran infrastruktur yang ada dioptimalkan bagi pembangunan di kawasan perbatasan, daerah terpencil maupun infrastruktur kerakyatan seperti air minum, sanitasi, jembatan gantung, rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah semakin diperluas cakupan layanannya."
(hps) Next Article Laju Cepat Bisnis Jasa Pengiriman JNE
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular