Jelang Libur Lebaran, Rupiah Juara Tiga Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 May 2019 08:28
Jelang Libur Lebaran, Rupiah Juara Tiga Asia
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di pasar spot hari ini. Faktor eksternal dan domestik berperan dalam penguatan mata uang Tanah Air. 

Pada Jumat (31/5/2019), US$ 1 dibanderol Rp 14.395 kala pembukaan perdagangan pasar spot. Rupiah menguat 0,17% dibandingkan posisi penutupan perdagangan sebelum libur Kenaikan Yesus Kristus. 


Mata uang utama Asia bergerak variatif di hadapan dolar AS. Pagi ini, ada rupiah, yuan China, dolar Hong Kong, yen Jepang, dan rupee India yang mampu bertengger di zona hijau. 

Apresiasi 0,14% membawa rupiah sebagai mata uang terbaik ketiga di Benua Kuning. Yen berada di puncak klasemen dan yuan tepat di bawahnya. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 08:07 WIB: 

 

Faktor eksternal yang mendukung penguatan rupiah adalah harga minyak. Pada pukul 08:09 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet anjlok masing-masing 1,2% dan 1,01%. 

Penyebab penurunan harga si emas hitam adalah persepsi melimpahnya pasokan. US Energy Information Administration mencatat inventori minyak AS pekan lalu turun hapir 300.000 barel. Walau turun, tetapi tidak sedalam konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu minus 900.000 barel. 

Penurunan 300.000 barel membuat total inventori minyak AS sebanyak 476,5 juta barel. Angka ini masih 5% di atas rata-rata selama lima tahun terakhir. 

Kemudian, sentimen perang dagang juga menyebabkan harga minyak bergerak ke selatan. Perang dagang AS-China akan mempengaruhi kelancaran rantai pasok global. Arus perdagangan dan investasi global akan tersendat sehingga menurunkan laju pertumbuhan ekonomi. 


Pelambatan aktivitas ekonomi akan membuat permintaan energi menurun. Dampaknya tentu saja koreksi harga minyak. 

Namun bagi rupiah, penurunan harga minyak adalah sebuah berkah. Maklum, Indonesia adalah negara net importir minyak. Mau tidak mau, suka tidak suka, yang namanya impor minyak adalah wajib, harus, dan kudu karena produksi dalam negeri belum kunjung memadai untuk memenuhi permintaan. 

Jika harga minyak turun, maka biaya impor komoditas ini menjadi lebih murah. Tekanan yang dialami neraca perdagangan dan transaksi berjalan tidak begitu berat, karena devisa yang 'terbakar' akibat impor minyak lebih sedikit. Rupiah pun jadi punya fondasi yang lebih kuat sehingga bisa terapresiasi. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Sementara dari dalam negeri, sepertinya investor mulai mengukur laju inflasi domestik pada Mei yang relatif terjaga. Konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan laju inflasi Mei ada di 0,53% month-on-month (MoM) dan 3,165% year-on-year (YoY).  

Laju inflasi memang terakselerasi dibandingkan April yang sebesar 0,44% MoM dan 2,83% YoY. Namun dengan bulan Ramadan yang sebagian besar (hampir seluruhnya) jatuh pada Mei, inflasi boleh dibilang terkendali.  

Bagi Indonesia, inflasi rendah adalah berkah. Sebab khittah negara berkembang adalah inflasi tinggi karena permintaan masih tumbuh kencang sementara pasokan belum bisa memenuhi. Oleh karena itu, inflasi rendah merupakan pencapaian yang positif karena menjadi pertanda permintaan yang tinggi bisa dipenuhi. 

Apakah inflasi rendah merupakan pertanda permintaan lesu? Tampaknya tidak demikian. Sebab inflasi inti pada Mei diperkirakan 3,08% YoY, terakselerasi dibandingkan April yang sebesar 3,05%. Artinya, konsumsi masih kuat yang tercermin dari adanya ekspektasi inflasi. 

Dengan inflasi yang rendah, maka nilai mata uang tidak akan terlalu tergerus. Rupiah menjadi punya alasan untuk menguat.  


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular