Sedih, Ekspor Indonesia Diprediksi Terkontraksi di 2019

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
25 May 2019 11:27
Tampaknya awan kelabu masih akan membayangi kinerja ekspor Indonesia di tahun 2019.
Foto: Ilustrasi aktivitas bongkar muat di Jakarta International Container Terminal (JICT), Tanjung Priok, Jakarta Utara. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Tampaknya awan kelabu masih akan membayangi kinerja ekspor Indonesia di tahun 2019. Pasalnya berdasarkan Tinjauan Kebijakan Moneter Triwulan I-2019 yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI), volume perdagangan dunia (World Trade Volume/WTV) diprediksi hanya akan tumbuh 3,1% di tahun 2019.

Adapun tahun 2020, volume perdagangan dunia diprediksi sedikit lebih baik dengan pertumbuhan WTV 3,3%.

Menurut BI penurunan WTV tahun ini akan kuat dipengaruhi oleh perang dagang Amerika Serikat (AS) China yang berkecamuk.

Sumber: Bank Indonesia


Seperti yang telah diketahui, pekan lalu AS melalui Kantor Perwakilan Dagang secara resmi memberlakukan bea impor sebesar 25% pada produk China senilai US$ 200 miliar. Sementara China membalas dengan menetapkan tambahan tarif 5%-25% pada produk AS senilai US$ 60 miliar mulai 1 Juni 2019 mendatang.

Seakan belum cukup, AS dikabarkan tengah berencana menetapkan bea impor 25% pada produk China lain (yang sebelumnya bukan objek perang dagang) senilai US$ 300 miliar.

Saat ini kajian dampak penetapan kebijakan tersebut terhadap konsumen sedang dilakukan. Bila tidak ada halangan, dalam 30-45 hari, tarif tersebut akan diresmikan.

SABTU-Sedih, Ekspor Indonesia Tahun 2019 Diprediksi TerkonFoto: Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin, tengah, dikawal oleh pengawal dan delegasi meninggalkan hotel di Beijing, Jumat, 29 Maret 2019. Negosiator perdagangan AS yang dipimpin oleh Mnuchin dan Perwakilan Dagang Robert Lighthizer tiba di Beijing untuk memulai putaran baru pembicaraan yang bertujuan untuk mengakhiri perang tarif atas ambisi teknologi China saat para pejabat mengisyaratkan mereka mungkin akan membuat kemajuan. (AP / Andy Wong)

Pun sebenarnya sejak tahun 2018, AS dan China sudah berseteru dengan cara yang serupa. Bedanya saat itu tarif yang berlaku baru sebesar 10%.

Tentu saja ini akan berdampak pada rantai pasokan global. Dari yang sudah lambat, akan semakin lambat. Sebab, dua negara yang bertarung itu merupakan dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Hampir seluruh negara memiliki hubungan dagang, baik langsung maupun tak langsung, dengan keduanya.


Tak terkecuali Indonesia, di mana AS dan China merupakan mitra dagang terbesarnya. Tentu saja kinerja ekspor Indonesia juga akan terpukul.

Sementara itu, BI juga menaruh perhatian pada harga komoditas ekspor Indonesia yang melambat, terutama minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO).

Harga CPO tahun ini memang terpantau masih berada dalam tren penurunan. Penyebab utamanya adalah keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) yang masih berat di sisi pasokan.

Berdasarkan data Malaysia Palm Oil Board (MPOB) peningkatan produksi yang tidak sejalan dengan pertumbuhan permintaan telah membawa inventori minyak sawit di Malaysia di akhir tahun 2018 ke posisi tertinggi sejak 19 tahun terakhir.

Di sisi lain, pada hari Rabu (22/5/2019), Uni Eropa telah menerbitkan hukum baru yang mana akan membatasi penggunaan minyak sawit pada campuran biosolar.

Peraturan yang akan mulai berlaku mulai 10 Juni 2019 tersebut membatasi penggunaan minyak sawit untuk biosolar sepanjang 2021-2023 di level yang sama pada tahun 2019.

Selanjutnya, penggunaan minyak sawit akan dikurangi secara bertahap hingga habis sama sekali pada tahun 2030.

Rancangan peraturan tersebut sebenarnya sudah muncul sejak 13 Maret 2019 silam, yang mana setelahnya negara-negara Eropa bisa mengajukan keberatan (bila ada) dalam rentang waktu 2 bulan.

Namun karena tidak ada yang keberatan, akhirnya rancangan tersebut disahkan dan berlaku sebagai Undang-Undang Uni Eropa.

Kondisi-kondisi tersebut membuat BI memprediksi ekspor Indonesia sepanjang tahun 2019 akan terkontraksi pada kisaran 0,5%-0.9%.

Padahal berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2018 ekspor Indonesia masih bisa tumbuh hingga 6,65%. Dengan ekspor yang tumbuh sebesar itu saja, neraca perdagangan sudah mengalami defisit sebesar US$ 8,7 miliar atau terdalam sepanjang sejarah.

Untuk itu, bauran kebijakan pemerintah untuk menekan laju impor sangat perlu mendapat perhatian tahun ini. Bukan tanpa pengorbanan, karena pertumbuhan ekonomi berpotensi semakin tipis bila impor dihambat.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Simak deretan 10 barang impor non-migas Indonesia.
[Gambas:Video CNBC]

(taa/tas) Next Article Kinerja Komoditas RI: Batu Bara-CPO Menyedihkan, Karet Kuat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular