Sehat Selalu Jadi Presiden, Pak Jokowi! Tugasnya Berat Lho..

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 May 2019 12:14
Sehat Selalu Jadi Presiden, Pak Jokowi! Tugasnya Berat Lho..
Presiden Joko Widodo (Biro Pers Kepresidenan)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sebenarnya tidak enak juga jadi presiden Republik Indonesia. Banyak hal yang harus diselesaikan, dan tuntutan rakyat begitu besar. Namun banyak juga yang bernafsu menduduki kursi RI-1. 

Untuk periode 2019-2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden. Jika dalam tiga hari tidak ada yang memperkarakan di Mahkamah Konstitusi (MK), maka eks gubernur DKI Jakarta itu akan kembali menjadi presiden. 


Padahal tidak enak menjadi presiden. Ada banyak pekerjaan yang harus dituntaskan oleh Jokowi dalam lima tahun ke depan, dan itu tidak akan mudah. 

Salah satu tuntutan paling besar bagi Jokowi adalah menyejahterakan rakyat Indonesia sebagai perwujudan sila kelima Pancasila. Sebagai kendaraan untuk memakmurkan rakyat, tentu pertumbuhan ekonomi harus dipacu lebih kencang. 

Ini masalahnya. Pada masa pemerintahan Jokowi terhitung sejak 2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia so-so saja. 

Pertumbuhan ekonomi nasional sejak 2015 berkutat di kisaran 4-5% dengan pencapaian terbaik ada di 5,27%. Bahkan teranyar, pada kuartal I-2019 ekonomi tumbuh 5,07%, laju terlemah sejak kuartal I-2018. 

 

Untuk tahun depan, pemerintah (yang akan kembali dipimpin oleh Jokowi) dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal 2020 memperkirakan pertumbuhan ekonomi dalam kisaran 5,3-5,6%. Masih di kisaran 5%, segitu-segitu saja.


Indonesia butuh pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dari itu. Berdasarkan kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, setiap 1% pertumbuhan ekonomi akan menciptakan sekitar 350.000 lapangan kerja. 

Pada Februari 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran terbuka sebanyak 6,82 juta orang. Jadi memang butuh pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, jangan 5% lagi dong... 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Nah, masalahnya tidak semudah itu mendorong pertumbuhan ekonomi. Indonesia punya penyakit yang tidak kunjung sembuh yaitu defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Setiap kali ekonomi membaik, impor bengkak karena industri dalam negeri belum bisa memenuhi peningkatan permintaan. 

Pada kuartal I-2019, industri manufaktur hanya tumbuh 3,86%, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi umum dan menjadi pertumbuhan paling lemah sejak kuartal II-2017. 

 

Impor yang membanjir karena kebutuhan mendorong pertumbuhan ekonomi membuat transaksi berjalan merana. Sejak 2011, Indonesia belum pernah merasakan lagi nikmatnya surplus transaksi berjalan. 

Terakhir, transaksi berjalan mencatat defisit 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal I-2019. Lebih dalam ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 2,01% PDB. 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Apa dampaknya kalau transaksi berjalan defisit, dan bahkan semakin dalam? Transaksi berjalan mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Pasokan valas dari pos ini lebih berjangka panjang, lebih setia ketimbang sumbangan dari uang panas (hot money) di sektor keuangan yang bisa datang dan pergi dalam hitungan detik. 

Oleh karena itu, keseimbangan eksternal sebuah negara sering kali diukur dengan melihat transaksi berjalan. Ketika transaksi berjalan kuat, maka fondasi negara tersebut menjadi kuat dan tidak mudah terombang-ambing akibat gejolak eksternal. 

Transaksi berjalan juga menjadi fondasi bagi nilai tukar mata uang. Jika transaksi berjalan rapuh, maka mata uang juga menjadi rapuh dan mudah melemah karena murni mengandalkan arus modal dari pasar keuangan yang sangat volatil. 


Oke, kita masuk ke permasalahan utama. Dengan kondisi saat ini, memacu pertumbuhan ekonomi sama dengan menaikkan impor dan mencederai transaksi berjalan. Artinya, rupiah akan semakin rawan melemah. 

Ketika rupiah melemah, Bank Indonesia (BI) tentu tidak akan tinggal diam. Sebagai penjaga rupiah, BI wajib melakukan stabilisasi baik melalui intervensi di pasar, operasi moneter, sampai kebijakan suku bunga. 


Pelemahan rupiah akan mendorong BI untuk menaikkan suku bunga acuan agar pasar keuangan domestik menjadi menarik, banyak hot money masuk, dan rupiah selamat. Itulah menjadi salah satu alasan kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate sampai enam kali sepanjang 2018. 

Saat suku bunga acuan naik, kemungkinan besar suku bunga deposito dan kredit perbankan akan ikut terdongkrak. Kalau suku bunga kredit naik, konsumsi dan investasi tentu akan melambat karena rumah tangga dan pengusaha tentu berpikir ulang untuk melakukan ekspansi. 

Ketika konsumsi dan investasi melambat, tidak mungkin ekonomi tumbuh lebih cepat. Sebab konsumsi rumah tangga menyumbang nyaris 60% dalam pembentukan PDB, sementara investasi berkontribusi hampir 20%. 

Well, ini seperti lingkaran setan yang tidak bisa terputus. Upaya menggenjot pertumbuhan ekonomi malah bisa mengerem pertumbuhan ekonomi. Susah kan, Pak Jokowi? 

Jadi bagaimana obatnya? Ya benahi transaksi berjalan, itu kunci dari masalah perekonomian Indonesia. Caranya adalah dengan reindustrialisasi, menggairahkan kembali industri nasional agar mampu meningkatkan produksi dan tidak lagi sedikit-sedikit impor.

Namun membangun kembali industri nasional bukan pekerjaan gampang, butuh waktu, tenaga, dan biaya. Ketersediaan energi, lahan, sumber daya manusia, infrastruktur, kemudahan regulasi, kepastian hukum, pasar tenaga kerja yang kondusif, dan sebagainya harus dibenahi oleh Jokowi dalam lima tahun ke depan kalau mau memperbaiki transaksi berjalan.  


Sungguh sebuah tugas yang sangat berat. Tidak mudah menjadi presiden Indonesia. Namun mengapa masih saja ada orang yang bernafsu menjadi presiden ya...


TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular