Kuat di Kurs Tengah BI, Rupiah Kok Loyo di Pasar Spot?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 May 2019 10:40
Kuat di Kurs Tengah BI, Rupiah <i>Kok</i> Loyo di Pasar Spot?
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berhasil menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Penguatan ini memutus rantai depresiasi yang sebelumnya terjadi selama delapan hari beruntun. 

Pada Selasa (21/5/2019), dolar AS di kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor ada di Rp 14.462. Rupiah menguat 0,11% dibandingkan posisi hari sebelumnya. 

Penguatan ini menjadi oasis yang menyegarkan, setelah delapan hari rupiah 'puasa' menguat di kurs tengah BI. Selama delapan hari tersebut, depresiasi rupiah mencapai 1,21%. 

 

Sementara di perdagangan pasar spot, nasib rupiah masih apes. Pukul 10:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.465. Rupiah melemah 0,1% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Kala pembukaan pasar, rupiah masih stagnan di Rp 14.450/US$. Namun itu tidak lama, rupiah kemudian terperosok ke zona merah dan depresiasinya perlahan semakin dalam. 

Padahal secara kasat mata tidak ada alasan bagi rupiah untuk melemah. Sebab di perdagangan pasar Non-Deliverable Forwards (NDF), rupiah terus menguat. Biasanya NDF menjadi penentu arah pergerakan di pasar spot, tetapi hari ini sepertinya tidak berlaku. 

PeriodeKurs 20 Mei (15:58 WIB)Kurs 21 Mei (10:10 WIB)
1 PekanRp 14.528,9Rp 14.463,6
1 BulanRp 14.622,4Rp 14.556,6
2 BulanRp 14.703,8Rp 14.635,1
3 BulanRp 14.797,4Rp 14.731,6
6 BulanRp 15.019.9Rp 14.954,1
9 BulanRp 15.227,9Rp 15.160,5
1 TahunRp 15.422,4Rp 15.379,1
2 TahunRp 16.106Rp 16.076
 
Sentimen di dalam negeri juga sejatinya positif. Rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma'ruf Amin sebagai capres-cawapres terpilih periode 2019-2024 dengan raihan suara 55,48%. Sedangkan pesaingnya, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, mendapatkan suara 44,52%. 


Kembalinya Jokowi menduduki kursi RI-1 semestinya menjadi kabar gembira. Sebab ada kepastian bahwa kebijakan pemerintah akan dilanjutkan, tidak ada perubahan arah yang signifikan karena status Jokowi sebagai petahana (incumbent). 

Kepastian adalah sesuatu yang didambakan investor. Tidak perlu ada perubahan kalkulasi, semua sudah masuk dalam rencana bisnis. 

Lalu apa yang membuat rupiah masih lesu? 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari sisi eksternal, sebenarnya rupiah bukan satu-satunya mata uang Asia yang melemah. Selain rupiah, ada rupee India, yen Jepang, ringgit Malaysia, baht Thailand, dan dolar Taiwan yang juga terjebak di zona merah. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 10:18 WIB: 



Bukan apa-apa, dolar AS memang sedang menguat secara global. Pada pukul 10:19 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,03%. 

Penyebabnya adalah kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Pada pukul 10:21 WIB, yield surat utang pemerintah AS seri acuan tenor 10 tahun naik 0,7 basis poin (bps). 

Kenaikan yield menandakan ada ekspektasi percepatan laju inflasi. Saat inflasi terakselerasi, artinya ruang untuk pelonggaran kebijakan moneter menjadi lebih kecil. Jadi peluang The Federal Reserve/The Fed untuk menurunkan suku bunga acuan pun berkurang. 

Bagi dolar AS, saat ini Federal Funds Rate yang tidak turun sudah menjadi berkah. Jangan lagi berharap suku bunga bisa naik seperti tahun lalu, kondisinya sudah berbeda. Suku bunga yang bertahan di kisaran 2,25-2,5% sudah cukup atraktif bagi aset-aset berbasis dolar AS. 

Oleh karena itu, kenaikan yield menjadi katalis bagi penguatan dolar AS. Akibatnya sebagian besar mata uang Asia kini berkubang di zona merah. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Sementara dari sisi domestik, meski KPU sudah menetapkan hasil pilpres tetapi drama politik belum sepenuhnya usai. Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga menolak hasil rekapitulasi suara tersebut. Kubu 02 menilai pilpres penuh dengan kecurangan sehingga legalitasnya dipertanyakan. 


Oleh karena itu, aksi massa pada 22 Mei masih terjadwal. Risiko keamanan masih cukup tinggi, sehingga mungkin menjadi perhatian investor. 

Kedua, bisa jadi pelaku pasar menilai rupiah memang sudah terlalu mahal alias overvalued. Ini bisa dilihat dari fondasi penyokong rupiah yang sebenarnya rapuh. 

Pada April 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit neraca perdagangan mencapai US$ 2,5 miliar. Ini merupakan defisit paling dalam sepanjang sejarah Indonesia merdeka. 


Sementara pada kuartal I-2019, defisit transaksi berjalan ada di 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Memburuk ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 2,01% PDB. 

Dengan neraca perdagangan yang tekor habis-habisan pada April, dan mungkin berlanjut pada Mei akibat tingginya impor mengantisipasi kebutuhan Ramadan-Idul Fitri, maka prospek transaksi berjalan pada kuartal II-2019 boleh dibilang suram. Artinya, pasokan devisa yang bertahan lama dari ekspor-impor barang dan jasa masih seret sehingga rupiah bergantung kepada arus modal di pasar keuangan yang bisa keluar-masuk dalam satu kedipan mata. Rentan sekali. 

Fondasi yang rapuh ini sepertinya membuat nilai rupiah terdiskon. Bisa jadi level Rp 14.300/US$ memang sudah terlalu mahal, sehingga rupiah layak melemah. 



TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular