Dirundung Neraca & Perang Dagang, Rupiah Masih Tertekan

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
16 May 2019 09:17
Dirundung Neraca & Perang Dagang, Rupiah Masih Tertekan
Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah dibuka menguat 5 poin pada perdagangan hari Kamis (16/5/2019), rupiah balik melemah. Pada pukul 09:00 WIB, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah 0,07% di level Rp 14.465/US$.

Bila pelemahan terus berlanjut hingga akhir sesi perdagangan, maka rupiah akan melemah selama empat hari berturut-turut.

Namun hari ini rupiah punya banyak teman. Pasalnya hampir seluruh mata uang utama di Asia melemah terhadap dolar AS.

Hanya yen Jepang, ringgit Malaysia, rupee India, dan baht Thailand saja yang mampu menaklukkan dolar AS. Setidaknya pada pagi hari ini.

Mata UangPerubahan (%)
USD/KRW0.3
USD/PHP0.15
USD/TWD0.12
USD/IDR0.07
USD/CNY0.05
USD/SGD0.02
USD/HKD0
USD/INR-0.02
USD/THB-0.03
USD/MYR-0.14
USD/JPY-0.17


Tampaknya investor hari ini masih ragu-ragu untuk mengambil risiko di instrumen berisiko. tu mungkin terjadi karena perkembangan dari perang dagang AS-China yang kurang enak didengar.

Kantor Perwakilan Dagang AS dikabarkan telah mengajukan proposal untuk memberlakukan tarif impor sebesar 25% terhadap produk China senilai US$ 300 miliar. Sebelumnya pada produk-produk tersebut tidak ada bea masuk, yang artinya aman dari kemelut perang dagang.

Sementara untuk produk China lain yang senilai US$ 200 miliar sudah lebih dulu dikenakan tarif 25% pada hari Jumat (10/5/2019) pekan lalu.

Sebenarnya rencana tersebut sudah pernah tercetus dari Presiden AS, Donald Trump pada hari Jumat pekan lalu. Tapi dengan adanya proposal ini, menandakan bahwa rencana Trump bukan sekedar gertak sambal.

Setelah ini akan ada jajak pendapat pada tanggal 17 Juni yang akan diikuti oleh proses diskusi selama setidaknya satu minggu. Produk-produk yang berencana dikenakan tarif meliputi telepon genggam, komputer, pakaian, dan sepatu.

Ini artinya, tensi perang dagang masih bisa meningkat. Bila tarif baru dikenakan untuk produk-produk yang sebelumnya aman-aman saja, tentu saja China akan bereaksi.

Pada hari Senin (13/5/2019), China sudah mengumumkan pemberlakuan tarif baru yang bervariasi antara 5%-25% bagi produk-produk asal AS senilai US% 60 miliar mulai 1 Juni 2019 mendatang.

Selain itu pemerintah China juga sudah menegaskan bahwa pihaknya tidak akan tunduk begitu saja kepada tekanan Trump (ancaman bea impor produk-produk senilai US$ 300 miliar). Kementerian Luar Negeri China mengatakan bahwa pihaknya berharap AS tidak "meremehkan tekad dan kemauan China untuk melindungi kepentingan-kepentingannya".

Bila benar eskalasi perang dagang terjadi, maka dampaknya juga akan merembet kemana-mana. Rantai pasokan global akan terhambat. Seperti yang terjadi pada tahun 2018.

Kala itu, akibat perang dagang dengan intensitas tarif 10% saja, perekonomian China anjlok sebesar 6,6% (tahunan) atau paling rendah sejak 1990.

Tentu saja hal itu membuat investor masih memilih main aman. Masuk ke instrumen berisiko di pasar negara berkembang masih terlalu menakutkan. Alhasil pasokan valas dalam negeri kian tipis, membuat rupiah sulit menahan tekanan mata uang bangsa lain.

BERLANJUT KE HALAMAN 2
Sementara itu, faktor dari dalam tubuh rupiah sendiri juga tidak kuat.

Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan kinerja perdagangan internasional (ekspor-impor) Indonesia periode April 2019.

Sayangnya pada bulan April Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan sebesar US$ 2,5 miliar. Tak tanggung-tanggung, itu merupakan defisit yang paling dalam sepanjang sejarah Indonesia.

Penyebabnya adalah kinerja ekspor yang ternyata turun cukup jauh. Sepanjang bulan April 2019, Indonesia hanya mampu mencetak ekspor senilai US$ 12,6 miliar, atau turun hingga 10,8% year-on-year (YoY). Sementara impor hanya turun 6,58% YoY menjadi sebesar US$ 15,10.

Tentu saja profil kinerja perdagangan barang yang seperti itu tidak akan membuat investor senang.

Pasalnya defisit perdagangan barang yang masif akan memberi tekanan pada neraca transaksi berjalan (current account) Indonesia.

Nah, parahnya lagi, pekan lalu Bank Indonesia (BI) baru saja mengumumkan neraca transaksi berjalan kuartal I-2019 yang ternyata membukukan defisit (current account deficit/CAD) sebesar US$ 6,9 miliar atau setara 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Dengan CAD sebesar itu, artinya sudah semakin dalam dibanding kuartal I-2018 yang hanya 2,01% PDB.

Bila kinerja perdagangan tidak ngangkat, bukan hal yang mustahil apabila tahun ini CAD semakin lebar. Pun sepanjang tahun 2018, CAD Indonesia sudah setara dengan 2,98% PDB atau yang terdalam sejak 2014.

Transaksi berjalan merupakan komponen penting dalam stabilitas rupiah karena menggambarkan aliran dana yang masuk (atau keluar) melalui sektor riil, yang mana cenderung bertahan lama. Lain dengan aliran dana yang masuk melalui portfolio, dimana investor dapat dengan mudah menarik modalnya.

Kala di dalam negeri kurang pasokan modal karena terus tersedot ke luar, maka rupiah akan kekurangan energi untuk melawan dolar AS.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular