Miris! Dolar Perkasa 0,8% & Tembus Rp 14.400/US$!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
13 May 2019 14:34
Miris! Dolar Perkasa 0,8% & Tembus Rp 14.400/US$!
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan rupiah pada perdagangan hari ini makin mengenaskan saja. Dibuka melemah 0,07% di pasar spot ke level Rp 14.330/dolar AS, pelemahan rupiah berangsur-angsur menjadi kian dalam.

Pada pukul 14:17 WIB, rupiah ditransaksikan di level Rp 14.435/dolar AS atau melemah hingga 0,8% dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan hari Jumat (10/5/2019).

Lantas, rupiah untuk pertama kalinya menembus level psikologis Rp 14.400/dolar AS sejak awal tahun ini.



Nasib rupiah senada dengan mayoritas mata uang negara-negara Asia lainnya yang juga terkapar di hadapan dolar AS.



Eskalasi perang dagang AS-China membuat pelaku pasar melepas mata uang negara-negara Asia dan mengalihkannya ke dolar AS yang merupakan safe haven.

Pada hari Jumat, AS resmi menaikkan bea masuk atas importasi produk-produk asal China senilai US$ 200 miliar, dari 10% menjadi 25%. Lebih lanjut, Presiden AS Donald Trump diketahui sudah memerintahkan Kepala Perwakilan Dagang Robert Lighthizer untuk memulai proses guna mengenakan bea masuk senilai 25% bagi produk impor asal China senilai US$ 325 miliar yang hingga kini belum terdampak oleh perang dagang.

Hal ini dilakukan AS di tengah-tengah negosiasi dagang dengan China di Washington. Dalam negosiasi yang berlangsung selama 2 hari tersebut (9-10 Mei), delegasi AS dipimpin oleh Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin, sementara delegasi China dikomandoi oleh Wakil Perdana Menteri Liu He.


Hasilnya bisa ditebak, kedua negara gagal meneken kesepakatan dagang. Liu He menyebut bahwa ada 3 perbedaan mendasar yang membuat kesepakatan dagang belum bisa diteken.

Seperti dilansir dari Reuters, salah satu perbedaan yang dimaksud adalah terkait dengan pengenaan bea masuk. China berpendapat bahwa jika kedua belah pihak ingin meneken kesepakatan, maka seluruh bea masuk harus dihapuskan.

Perbedaan kedua adalah terkait dengan volume pembelian barang-barang AS oleh China, sementara yang ketiga adalah terkait dengan bahasa yang akan digunakan dalam teks kesepakatan dagang kedua negara.

"Setiap negara memiliki martabatnya sendiri, jadi teksnya harus berimbang," papar Liu He, dilansir dari Reuters.

Merespons tindakan AS yang justru menaikkan bea masuk atas produk impor asal China, Liu He mengatakan bahwa pihaknya secara tegas menolak kenaikan bea masuk tersebut dan pihaknya tak punya pilihan lain selain membalas, dilansir dari Reuters.

BERLANJUT KE HALAMAN 2

Tekanan bagi rupiah juga datang dari dalam negeri. Belum lama ini, Bank Indonesia (BI) mengumumkan bahwa cadangan devisa per bulan April berada di angka US$ 124,3 miliar, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu US$ 124,5 miliar. Tekanan terhadap cadangan devisa berarti BI memiliki amunisi yang lebih sedikit dalam menetralisir pelemahan rupiah.

Padahal, cadangan devisa yang berlimpah sedang dibutuhkan Indonesia, seiring dengan defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) yang melebar.



Pada hari Jumat, BI mengumumkan bahwa transaksi berjalan membukukan defisit senilai US$ 7 miliar pada 3 bulan pertama tahun ini atau setara dengan 2,6% dari PDB. Memang lebih baik dibandingkan defisit pada kuartal-IV 2018 yang sebesar 3,6% dari PDB, namun melebar dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.

Jika defisit di awal tahun saja sudah lebih lebar, maka ada potensi bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) untuk keseluruhan tahun 2019 juga akan melebar. Ditambah dengan menipisnya cadangan devisa, praktis rupiah menjadi kehilangan pijakan untuk menguat.

Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money. Harga minyak mentah yang tak suportif ikut membebani kinerja rupiah.

Hingga berita ini diturunkan, harga minyak WTI kontrak pengiriman bulan Juni menguat 0,34% ke level US$ 61,87/barel, sementara brent kontrak pengiriman bulan Juli naik 0,81% ke level US$ 71,19/barel.



Defisit perdagangan migas selama ini menjadi faktor yang membebani transaksi berjalan, seiring dengan status Indonesia yang merupakan net importir minyak mentah. Kala harga minyak mentah menguat apalagi jika berlangsung dalam jangka waktu yang lama, ada kekhawatiran bahwa CAD akan melebar.

Lagi-lagi, rupiah menjadi tak memiliki pijakan untuk menguat.


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular