Masih Tak Pede, Asing 4 Hari Tinggalkan Bursa Saham Indonesia

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
08 May 2019 11:02
Masih Tak Pede, Asing 4 Hari Tinggalkan Bursa Saham Indonesia
Foto: Ilustrasi Bursa. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Investor asing terus tercatat meninggalkan pasar saham domestik. Hari ini, tercatat empat hari berturut-turut pemodal asing memindahkan dana dari pasar saham domestik.

Pada perdagangan hari Jumat (3/5/2019), investor asing tercatat membukukan jual bersih senilai Rp 948,3 miliar di pasar reguler, disusul oleh jual bersih senilai masing-masing Rp 733,2 miliar dan Rp 17,2 miliar pada 2 hari perdagangan setelahnya atau hari Senin (6/5/2019) dan Selasa (7/5/2019). Dalam 3 hari perdagangan tersebut, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok sebesar 1,21%.

Pada perdagangan hari ini (hingga pukul 10:35 WIB), jual bersih investor asing di pasar reguler sudah mencapai Rp 145,2 miliar, sementara IHSG jatuh sebesar 0,59%.

Padahal, dalam beberapa waktu terakhir sentimen domestik yang menyelimuti pasar saham Indonesia terbilang positif. Pada hari Senin, Bank Indonesia (BI) merilis angka Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode April 2019 di level 128,1, naik dibandingkan capaian bulan Maret yaitu 124,5. Nilai IKK pada bulan April merupakan yang tertinggi sejak Juni 2018.



Kenaikan IKK pada bulan lalu didorong oleh kedua komponen pembentuknya. Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) naik menjadi 124,8, dari yang sebelumnya 121,4. Sementara itu, Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi (IEK) naik menjadi 152,8, dari yang sebelumnya 151,6.

Sebagai hasil dari meningkatnya optimisme konsumen, porsi pengeluaran konsumsen yang dialokasikan untuk konsumsi meningkat menjadi 68,5% pada bulan April, dari yang sebelumnya 68,1% pada bulan Maret. Sementara itu, alokasi untuk tabungan menipis menjadi 20%, dari yang sebelumnya 20,1%.

Sehari setelahnya yakni pada hari Selasa, BI mengumumkan bahwa penjualan barang-barang melesat hingga 10,1% secara tahunan pada Maret 2019, mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya yakni pertumbuhan sebesar 2,5% saja.

Lantas, sepanjang 3 bulan pertama tahun ini pertumbuhan penjualan barang-barang ritel selalu berhasil mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Untuk periode Januari 2019, penjualan barang-barang ritel tumbuh sebesar 7,2%, lebih baik dari capaian Januari 2018 yakni kontraksi sebesar 1,8%. Untuk periode Februari 2019, penjualan barang-barang ritel tumbuh sebesar 9,1%, lebih baik dari capaian Februari 2018 yakni pertumbuhan sebesar 1,5%.

Untuk bulan April, angka sementara menunjukkan bahwa terjadi pertumbuhan penjualan barang-barang ritel sebesar 5,7%, di atas pertumbuhan periode April 2018 yang sebesar 4,1%.

Perang dagang AS-China yang justru memanas membuat investor asing berlarian keluar dari pasar saham tanah air. Sebagai informasi, pada hari Selasa pekan lalu (30/4/2019) delegasi AS menggelar dialog dagang lanjutan dengan China di Beijing. Delegasi AS dipimpin oleh Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin, sementara delegasi China dikomandoi oleh Wakil Perdana Menteri Liu He.

Selepas pertemuan berlangsung, beberapa orang sumber mengatakan kepada CNBC International bahwa kesepakatan dagang AS-China bisa diumumkan pada hari Jumat pekan ini (10/5/2019).

Namun, nampaknya kesepakatan dagang AS-China belum pasti bisa diteken. Juru Bicara Gedung Putih Sarah Sanders mengatakan bahwa Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping baru akan memutuskan selepas negosiasi dagang pekan ini di Washington terkait apakah keduanya akan bertemu untuk menyegel kesepakatan dagang.

Pernyataan bernada defensif pun dilontarkan oleh Trump sendiri. Pada hari Jumat waktu setempat, Trump mengatakan bahwa AS akan baik-baik saja walau tanpa kesepakatan dagang dengan China.

“Dan jika itu tidak terjadi (kesepakatan dagang), kami akan baik-baik saja. Mungkin lebih baik,” kata Trump di Gedung Putih pada hari Jumat.

Apa yang ditakutkan pelaku pasar kemudian terjadi. Damai dagang yang sempat terasa kian dekat kini benar menjauh. Pada akhir pekan kemarin, Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencana untuk menaikkan bea masuk atas importasi produk-produk asal China senilai US$ 200 miliar, dari yang saat ini 10% menjadi 25% pada hari Jumat ini. Lebih lanjut, produk impor asal China senilai US$ 325 miliar yang saat ini bebas bea masuk dalam waktu dekat akan dibebankan bea masuk senilai 25%.

Trump beralasan bahwa negosiasi dagang dengan China berlangsung begitu lambat lantaran pihak Beijing menginginkan negosiasi ulang terkait dengan poin-poin kesepakatan dagang kedua negara.

"Selama 10 bulan terakhir, China membayar bea masuk 25% untuk importasi produk-produk high-tech senilai US$ 50 miliar dan 10% untuk produk-produk lain senilai US$ 200 miliar. Pembayaran ini sedikit banyak berperan dalam kinclongnya data ekonomi kita. Bea masuk senilai 10% akan naik menjadi 25% pada Jumat. Sementara US$ 325 miliar importasi produk-produk China belum kena bea masuk, tetapi dalam waktu dekat akan dikenakan 25%....” cuit Trump melalui akun Twitter-nya, @realDonaldTrump.

Memang, perkembangan yang ada tak sepenuhnya negatif. Terlepas dari ancaman Trump tersebut, pihak China mengonfirmasi bahwa delegasinya akan tetap berkunjung ke Washington untuk menggelar dialog dagang pada hari Kamis dan Jumat (9-10 Mei). Wakil Perdana Menteri China Liu He akan ikut dalam rombongan yang mengunjungi AS tersebut.

Namun kini, situasinya menjadi panas lagi. Terlepas dari etikat baik untuk tetap menggelar negosiasi dagang dengan AS, ternyata pihak China tetap dibuat gerah dengan langkah AS. Menurut sumber-sumber yang mengetahui masalah tersebut, China diketahui tengah mempersiapkan bea masuk balasan yang akan dikenakan terhadap produk impor asal AS jika pemerintahan Presiden Donald Trump jadi mengeksekusi rencananya, seperti dilansir dari Bloomberg.

China akan mengenakan bea masuk balasan tersebut dalam selang satu menit pasca AS memberlakukan bea masuknya, menurut sumber yang tak ingin disebutkan namanya tersebut.

Jika perang dagang kedua negara benar tereskalasi, tentu laju perekonomian dunia akan semakin tertekan sehingga instrumen berisiko seperti saham kini dilepas oleh investor asing.

Sebagai informasi, belum lama ini International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksinya atas pertumbuhan ekonomi dunia untuk tahun 2019 menjadi 3,3%, dari yang sebelumnya 3,5% pada proyeksi yang dibuat bulan Januari. Sebagai informasi, perekonomian dunia tumbuh hingga 3,6% pada tahun 2018.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular