2 Sentimen Ini Sebabkan Harga Minyak Rebound Tipis

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
08 May 2019 08:45
Harga minyak mentah dunia kembali menguat, meskipun agak terbatas, didorong sentimen dari sisi pasokan yang semakin ketat.
Foto: Reuters
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia kembali menguat, meskipun agak terbatas, didorong sentimen dari sisi pasokan yang semakin ketat. Namun potensi eskalasi perang dagang Amerika Serikat (AS)-China masih memberikan tekanan pada pergerakan harga minyak.

Pada perdagangan hari Rabu (8/5/2019) pukul 08:30 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak pengiriman Juli menguat tipis sebesar 0,09% ke posisi US$ 69,94/barel. Sedangkan jenis light sweet (WTI) kontrak pengiriman Juni naik 0,28% ke level US$ 61,57/barel.

Meskipun demikian, pada perdagangan sehari sebelumnya (7/5/2019), harga Brent dan WTI anjlok masing-masing sebesar 1,91% dan 1,37%. Bahkan Brent kembali berada di bawah level psikologis US$ 70/barel.



Penyebab harga minyak amblas kemarin adalah potensi eskalasi perang dagang Amerika Serikat (AS)-China yang membuncah.

Pelaku pasar masih mengantisipasi jika benar pada hari Jumat (10/5/2019) Presiden AS, Donald Trump memberlakukan bea impor sebesar 25% terhadap produk-produk China yang senilai US$ 200 miliar.

"Eskalasi perang dagang AS-China telah membawa harga minyak ke dalam tekanan yang baru," ujar Abhishek Kumar, kepala analis Interfax Energy di London, mengutip Reuters.

Sebagai informasi, pada hari Minggu (5/5/2019), setelah delegasi AS dan China melakukan perundingan di Beijing, Trump mengatakan bahwa dirinya akan meningkatkan bea impor produk China senilai US$ 200 menjadi 25% (dari yang semula 10%) pada hari Jumat (10/5/2019). Selain itu dia juga berencana mengenakan bea impor sebesar 25% pada produk China lainnya yang senilai US$ 325 miliar.

Hal itu sepertinya terkait dari hasil perundingan yang terjadi pada pekan lalu, dimana delegasi AS yang dipimpin oleh Kepala Perwakilan Danag, Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan, Steven Mnuchin terbang ke Beijing untuk bertemu pihak China yang dipimpin Wakil Perdana Menteri, Liu He.

"Dalam beberapa pekan terakhir, kami melihat ada penurunan komitmen dari pihak China. Kami tidak bicara soal membatalkan dialog, tetapi mulai Jumat akan ada tarif bea masuk baru," tegas Robert Lighthizer, Kepala Perwakilan Dagang AS, dikutip dari Reuters.

Pada hari Kamis dan Jumat (9-10/5/2019), Liu He akan bertandang ke Washington untuk melanjutkan dialog dagang. Meskipun dialog berlanjut, tapi pasar akan tetap waspada akan hasilnya yang sepertinya masih belum bisa ditebak.

Jika sampai benar-benar tidak ada kesepakatan, skenario perang bea impor seperti yang terjadi pada tahun 2018 bisa terulang, bahkan dengan intensitas yang lebih parah.

Akibatnya pun akan terulang juga. Rantai pasokan global akan melambat dan membuat aktivitas industri lesu. Ujung-ujungnya, permintaan energi, yang salah satunya berasal dari minyak, akan terpangkas. Lebih dalam.

Dari sisi pasokan, ekspor minyak Iran terancam semakin sulit dilepas ke pasar karena adanya sanksi AS.

Sebenarnya AS sudah memberlakukan sanksi sejak bulan November 2018 silam dengan melarang mitranya untuk membeli minyak asal Negeri Persia. Tapi kala itu masih ada keringanan dengan mengizinkan delapan negara untuk tetap dapat mengimpor minyak dari Iran. Negara-negara tersebut adalah pembeli utama minyak Iran yang perlu waktu untuk beradaptasi atas berlakunya sanksi.

Pada 22 April 2019 lalu, Gedung Putih telah secara terang-terangan mencabut keringanan sanksi tersebut. Bila masih ada negara yang membeli minyak dari Iran, AS telah mengancam akan mengenakan sanksi baru.

Alhasil, pasokan minyak global bisa semakin ketat. Bahkan seorang pejabat Iran yang lekat dengan kebijakan perminyakan memprediksi ekspor minyak Iran bisa turun ke bawah 500.000 barel mulai bulan Mei ke depan, mengutip Reuters. Sumber lain dari OPEC mengatakan ekspor minyak Iran akan berada di kisaran 400.000-600.000 barel/hari dengan adanya sanksi.

Padahal Iran merupakan negara produsen minyak terbesar keempat diantara negara OPEC lainnya dengan ekspor mencapai 2,5 juta barel/hari sebelum adanya sanksi.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/hps) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular