Pertumbuhan Ekonomi Loyo Gara-gara Pertanian Pangan Negatif
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
06 May 2019 13:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2019 dibacakan sebesar 5,07% secara year on year (YoY) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) hari Senin (6/5/2019).
Angka tersebut jauh di bawah ekspektasi konsensus pasar yang sebesar 5,19% berdasarkan hasil poling CNBC Indonesia.
Menurut lapangan usaha, sektor industri, perdagangan, dan pertanian masih menjadi penyumbang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga kuartal I-2019.
Sayangnya, pertumbuhan PDB di sektor pertanian hanya mampu tumbuh sebesar 1,81% YoY, sangat jauh dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Padahal sektor pertanian pada kuartal I-2018 masih bisa tumbuh sebesar 3,34% YoY. Angka ini juga merupakan pertumbuhan PDB sektor pertanian yang paling rendah setidaknya sejak kuartal I-2017.
Bahkan pada kuartal I-2019, pertumbuhan PDB tanaman pangan terkontraksi atau negatif hingga 5,94% YoY. Artinya produksi tanaman pangan, yang utamanya masih disumbang oleh beras jauh lebih sedikit sepanjang kuartal I-2019 dibanding tahun sebelumnya.
Menurut Kepala BPS, Suhariyanto, hal tersebut terjadi karena adanya pergeseran masa panen padi. Pada tahun 2018, puncak masa panen padi terjadi di sekitar bulan Maret, sehingga masuk dalam perhitungan PDB kuartal I. Sedangkan pada tahun 2019, puncak masa panen padi jatuh di sekitar bulan April. Perbedaan tersebut membuat pertumbuhan PDB tanaman pangan kuartal I-2019 mengalami kontraksi yang sangat dalam.
Tetapi, Suhariyanto juga menambahkan, bahwa itu bukan satu-satunya alasan kontraksi pertumbuhan PDB tanaman pangan. Karena pada tahun sebelumnya (kuartal I-2018) PDB tanaman pangan Indonesia juga terkontraksi hingga 3,42% YoY.
Sama dengan tanaman pangan, PDB sektor kehutanan dan penebangan kayu juga mengalami kontraksi sebesar 2,86% YoY pada kuartal I-2019. Padahal kuartal I tahun sebelumnya masih bisa tumbuh hingga 5,4% YoY.
Sektor tanaman hortikultura, meskipun tumbuh hingga 6,18% YoY pada kuartal I-2019, namun sejatinya mengalami perlambatan dibanding tahun sebelumnya. Karena pada kuartal I-2018, sektor ini bisa tumbuh 7,02% YoY.
Tanaman perkebunan pun juga begitu, yang mana hanya tumbuh 3,33% YoY pada kuartal I-2019, melambat ketimbang kuartal I-2018 yang tumbuh hingga 7,19% YoY.
Sebenarnya, hampir seluruh subsektor yang masuk dalam Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan tumbuh melambat pada kuartal I-2019 dibanding tahun sebelumnya. Hanya sektor peternakan saja yang mampu tumbuh 7,95% YoY atau lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 3,94% Yoy.
Artinya memang ada faktor lain yang menyebabkan pertumbuhan PDB di sektor pertanian jauh melambat dibanding tahun sebelumnya. Namun dalam konferensi pers hari Senin (6/5/2019), Suhariyanto enggan untuk mengelaborasi alasan tersebut lebih jauh.
Sebagai informasi, tanaman pangan di Indonesia masih didominasi oleh beras, meskipun ada pula bagian dari jagung, singkong, ubi, dan kedelai. Mengingat beras memiliki andil yang cukup besar pada perhitungan inflasi dan juga batas garis kemiskinan, sewajarnya pemerintah menaruh perhatian yang lebih atas fakta-fakta tersebut.
BERLANJUT KE HALAMAN 2
(taa/dru) Next Article Streaming: Buka-Bukaan Ekonomi RI yang Tumbuh 'Cuma' 5,02%
Angka tersebut jauh di bawah ekspektasi konsensus pasar yang sebesar 5,19% berdasarkan hasil poling CNBC Indonesia.
Menurut lapangan usaha, sektor industri, perdagangan, dan pertanian masih menjadi penyumbang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga kuartal I-2019.
![]() |
Sayangnya, pertumbuhan PDB di sektor pertanian hanya mampu tumbuh sebesar 1,81% YoY, sangat jauh dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Padahal sektor pertanian pada kuartal I-2018 masih bisa tumbuh sebesar 3,34% YoY. Angka ini juga merupakan pertumbuhan PDB sektor pertanian yang paling rendah setidaknya sejak kuartal I-2017.
Bahkan pada kuartal I-2019, pertumbuhan PDB tanaman pangan terkontraksi atau negatif hingga 5,94% YoY. Artinya produksi tanaman pangan, yang utamanya masih disumbang oleh beras jauh lebih sedikit sepanjang kuartal I-2019 dibanding tahun sebelumnya.
Menurut Kepala BPS, Suhariyanto, hal tersebut terjadi karena adanya pergeseran masa panen padi. Pada tahun 2018, puncak masa panen padi terjadi di sekitar bulan Maret, sehingga masuk dalam perhitungan PDB kuartal I. Sedangkan pada tahun 2019, puncak masa panen padi jatuh di sekitar bulan April. Perbedaan tersebut membuat pertumbuhan PDB tanaman pangan kuartal I-2019 mengalami kontraksi yang sangat dalam.
![]() |
Tetapi, Suhariyanto juga menambahkan, bahwa itu bukan satu-satunya alasan kontraksi pertumbuhan PDB tanaman pangan. Karena pada tahun sebelumnya (kuartal I-2018) PDB tanaman pangan Indonesia juga terkontraksi hingga 3,42% YoY.
Sama dengan tanaman pangan, PDB sektor kehutanan dan penebangan kayu juga mengalami kontraksi sebesar 2,86% YoY pada kuartal I-2019. Padahal kuartal I tahun sebelumnya masih bisa tumbuh hingga 5,4% YoY.
Sektor tanaman hortikultura, meskipun tumbuh hingga 6,18% YoY pada kuartal I-2019, namun sejatinya mengalami perlambatan dibanding tahun sebelumnya. Karena pada kuartal I-2018, sektor ini bisa tumbuh 7,02% YoY.
Tanaman perkebunan pun juga begitu, yang mana hanya tumbuh 3,33% YoY pada kuartal I-2019, melambat ketimbang kuartal I-2018 yang tumbuh hingga 7,19% YoY.
Sebenarnya, hampir seluruh subsektor yang masuk dalam Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan tumbuh melambat pada kuartal I-2019 dibanding tahun sebelumnya. Hanya sektor peternakan saja yang mampu tumbuh 7,95% YoY atau lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 3,94% Yoy.
Artinya memang ada faktor lain yang menyebabkan pertumbuhan PDB di sektor pertanian jauh melambat dibanding tahun sebelumnya. Namun dalam konferensi pers hari Senin (6/5/2019), Suhariyanto enggan untuk mengelaborasi alasan tersebut lebih jauh.
Sebagai informasi, tanaman pangan di Indonesia masih didominasi oleh beras, meskipun ada pula bagian dari jagung, singkong, ubi, dan kedelai. Mengingat beras memiliki andil yang cukup besar pada perhitungan inflasi dan juga batas garis kemiskinan, sewajarnya pemerintah menaruh perhatian yang lebih atas fakta-fakta tersebut.
BERLANJUT KE HALAMAN 2
Perlambatan pertumbuhan ekonomi juga tak hanya menyerang sektor pertanian. Sektor industri pengolahan secara keseluruhan pada kuartal I-2019 juga hanya mampu tumbuh sebesar 3,86% YoY, melambat dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 4,6% YoY.
Meskipun industri makanan dan minuman tumbuh cukup pesat, yaitu 6,77% YoY, namun sejatinya jauh melambat dibanding tahun sebelumnya. Karena pada kuartal I-2018, industri makanan dan minuman bisa tumbuh sebesar 12,77% YoY.
Padahal Suhariyanto mengatakan bahwa kali ini industri makanan dan minuman sudah didorong oleh peningkatan produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) serta persiapan menjelang Ramadan dan lebaran.
![]() |
Nasib yang lebih mengenaskan terjadi pada industri batu bara dan pengolahan migas, yang mana harus rela terkontraksi hingga 4,19% YoY di kuartal I-2019. Capaian ini jauh lebih buruk dibanding kuartal I-2018 dimana kala itu mampu tumbuh 0,6y% YoY. Hal ini disebabkan oleh harga batu bara dan minyak bumi yang mengalami penurunan.
Berdasarkan data Refinitiv, harga rata-rata batu bara Newcastle yang sering dijadikan harga acuan batu bara global sepanjang kuartal I-2019 turun 6,1% YoY. Sedangkan harga minyak jenis Brent yang dapat menjadi proxy mengukur harga minyak Indonesia turun 5,04% YoY pada periode yang sama.
Berdasarkan data Refinitiv, harga rata-rata batu bara Newcastle yang sering dijadikan harga acuan batu bara global sepanjang kuartal I-2019 turun 6,1% YoY. Sedangkan harga minyak jenis Brent yang dapat menjadi proxy mengukur harga minyak Indonesia turun 5,04% YoY pada periode yang sama.
Sementara itu industri tekstil dan pakaian jadi mampu tumbuh hingga 18,96% YoY atau lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 7,46% YoY. Ini diakibatkan adanya pesta demokrasi terbesar Indonesia, Pemilihan Umum (Pemilu), yang jatuh pada bulan April 2019.
Pun jauh hari sebelum Pemilu, aktivitas kampanye juga sudah marak dilakukan. Produksi kaus-kaus partai pun mampu mendongkrak kinerja industri tekstil.
Tak hanya itu, industri kertas dan percetakan juga melesat hingga 9,22% YoY di kuartal I-2019, padahal tahun sebelumnya terkontraksi 0,18%.
Namun setidaknya di kuartal I-2019, kinerja sektor perdagangan dapat sedikit menyelamatkan nasib pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sektor ini mampu tumbuh 5,26% YoY, meningkat ketimbang tahun sebelumnya yang hanya 4,99% YoY.
Lagi-lagi, penyebanya adalah permintaan logistik untuk aktivitas kampanye Pemilu yang meningkat. Hal ini agaknya wajar karena sepanjang kampanye kebutuhan logistik partai meningkat secara signifikan. Apalagi kampanye ini dilakukan secara nasional.
TIM RISET CNBC INDONESIA
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/dru) Next Article Streaming: Buka-Bukaan Ekonomi RI yang Tumbuh 'Cuma' 5,02%
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular