Gawat! Gara-gara Trump Rupiah Bisa Makin Parah di Akhir Mei?

Lidya Julita Sembiring, CNBC Indonesia
06 May 2019 10:12
Nilai tukar rupiah tampaknya masih akan melanjutkan pelemahan terhadap dolar AS sepanjang pekan ini.
Foto: Presiden AS Donald Trump naik Angkatan Udara Satu setelah pertemuan puncaknya dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, di Bandara Internasional Noi Bai di Hanoi, Vietnam, 28 Februari 2019. (REUTERS / Leah Millis)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah tampaknya masih akan melanjutkan pelemahan terhadap dolar AS sepanjang pekan ini. Tak hanya itu, sepanjang Mei ini, kurs rupiah diproyeksi bisa terdepresiasi kembali di atas Rp14.300/US$.

Pada perdagangan Senin pagi ini (6/5/2019), rupiah enggan bergerak menguat. Pada pukul 09:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.300. Rupiah melemah 0,35% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.

Faktor global dan domestik secara bersamaan terus mempengaruhi pelemahan rupiah terhadap dolar AS. Sentimen global datang dari pulihnya data ekonomi AS, mulai dari data tenaga kerja yang meningkat hingga kebijakan moneter bank sentral AS, The Fed.
 


Departemen Tenaga Kerja AS menunjukkan, penciptaan lapangan kerja baru non-pertanian (non farm payrolls) pada April bertambah sebanyak 263.000. Sementara tingkat pengangguran turun menjadi 3,6%, terendah sejak Desember 1969.

"Rupiah berpotensi ke atas Rp14.300 per dolar AS. Tren ekonomi AS dari sisi pertumbuhan ekonomi dan data tenaga kerja arahnya positif di tengah perang dagang AS-China," kata Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), kepada CNBC Indonesia, Jakarta, Senin (6/5/2019).

"Alokasi aset dari negara berkembang berangsur dialihkan ke AS. Terlihat dari performa indeks saham Dow Jones, Nasdaq dan S&P 500 [di bursa Wall Street] yang kompak naik konsisten dalam sebulan terakhir," ujarnya lagi.

Dari sisi domestik, realisasi angka inflasi pada April lalu sangat tinggi dibandingkan April tahun sebelumnya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran inflasi bakal lebih meningkat di bulan selanjutnya, terutama Ramadan ini.

"Dari dalam negeri tinggi nya inflasi bulan April 0,44% tertinggi sejak April 2008. Ini menimbulkan kekhawatiran sepanjang Mei inflasi akan konsisten meningkat. Inflasi yang mulai naik akan menggerus return [imbal hasil] riil dari instrumen berbasis bunga dan berpengaruh terhadap pasar obligasi," jelas Bhima.


Di sisi lain, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai kepastian kebijakan politik juga turut membuat investor wait and see alias menunggu. Banyak yang menanti nama-nama kabinet di masa kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden baru pada 2019 ini.

Adapun rilis produk domestik bruto (PDB) pada Senin ini dinilai tidak akan terlalu signifikan mempengaruhi kurs rupiah. Pasalnya perekonomian sepanjang kuartal I diramal masih akan sesuai dengan prediksi yakni tumbuh di kisaran 5,2%.

"Keliatan trennya masih ada pelemahan karena beberapa data positif yang dikeluarkan oleh AS, makanya rupiah melemah. Kalau dari domestik pasar menunggu perkembangan data PDB, perkembangan politik, terutama kabinet ke depan. Tapi itu setelah Lebaran," ujar David.

Menanti arah rupiah pasca-Pilpres 2019.
[Gambas:Video CNBC]

(tas) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular