
The Fed Mulai Agresif, Sepekan Rupiah Amsyong!
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
04 May 2019 09:17

Jakarta, CNBC Indonesia - Mengecewakan! Kata ini bisa dibilang tepat menggambarkan kinerja rupiah sepanjang pekan ini, pekan kelabu karena dalam 5 hari perdagangan tak pernah sekalipun rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS)
Pada penutupan pasar spot Jumat (3/5/2019), mata uang Tanah Air ini ditutup pada posisi Rp 14.250/US$ yang merupakan nilai tukar tertinggi sejak 15 Maret 2019. Ini berarti rupiah telah melemah selama 9 hari berturut-turut, di mana penguatan rupiah terakhir kali tercatat pada 18 April 2019.
Sentimen yang meliputi rupiah pada pekan ini semuanya bersumber dari Negeri Paman Sam, mulai dari rilis data ekonomi hingga yang terakhir adalah keputusan bank sentral AS, The Federal Reserves (The Fed) terkait suku bunga acuan yang tak lagi kalem (dovish).
Pada awal perdagangan pekan ini, rupiah tertekan seiring dengan penguatan dolar AS yang ditopang fakta bahwa ekonomi AS menorehkan hasil yang cemerlang.
Pembacaan awal atas angka pertumbuhan ekonomi AS kuartal I-2019 diumumkan sebesar 3,2% (QoQ annualized), jauh di atas konsensus dan capaian kuartal sebelumnya yang hanya sebesar 2,2%, seperti dilansir dari Forex Factory.
Selain itu, penjualan barang ritel Maret AS juga naik 1,6% secara bulanan yang jauh membaik dari kontraksi sebesar 0,2% di bulan Februari.
Rentetan data ekonomi Negeri Paman Sam yang kinclong, praktis membuat dolar AS memiliki daya tarik yang besar, sehingga mata uang negara-negara kawasan Asia dilego pelaku pasar. Hanya rupee India, peso Filipina, dan yen Jepang saja yang berhasil menaklukkan mata uang greenback ini.
LANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA>> Pengumuman hasil rapat komite pengambil kebijakan The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di kisaran 2,25%-2,5%.
Sejatinya keputusan tersebut sudah diprediksi pasar, masalahnya adalah pernyataan yang meliputi keputusan itulah yang tidak diprediksi investor.
Dalam pernyataannya, Gubernur The Fed Jerome Powell mengindikasikan bahwa kebijakan suku bunga saat ini sudah sesuai dan jangan diartikan The Fed membuka peluang untuk mengubahnya.
"Kami merasa stance [posisi] kebijakan kami masih layak dipertahankan untuk saat ini. Kami tidak melihat ada tanda-tanda yang kuat untuk menuju ke arah sebaliknya. Saya melihat kita dalam jalur yang benar," tegas Powell dalam konferensi pers usai rapat, mengutip Reuters.
Komentar yang jauh dari kesan kalem atau dovish ini benar-benar tidak terbayangkan sebelumnya. Pasalnya, pelaku pasar menduga The Fed akan kembali melontarkan pernyataan bernada dovish yang diekspektasi mengarah pada penurunan suku bunga acuan di akhir tahun.
Jika akhirnya peluang itu kandas dan bahkan ada kemungkinan suku bunga dinaikkan, tentunya instrumen berbasis dollar AS akan lebih menguntungkan.
"Pernyataan Powell membuat kenaikan suku bunga acuan sebagai sesuatu yang mungkin saja bisa terwujud. Jadi arah kebijakan suku bunga bukan hanya turun, tetapi bisa naik juga," tegas Brian Battle, Director Trading di Performance Trust Capital Partners yang berbasis di Chicago, mengutip Reuters.
Setelah rilis pengumuman The Fed, Dollar Index, yang menunjukkan posisi dollar AS dibanding 6 mata uang utama dunia, terus menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/tas) Next Article Pecah Rekor 3 Tahun, Rupiah Perkasa Pimpin Asia
Pada penutupan pasar spot Jumat (3/5/2019), mata uang Tanah Air ini ditutup pada posisi Rp 14.250/US$ yang merupakan nilai tukar tertinggi sejak 15 Maret 2019. Ini berarti rupiah telah melemah selama 9 hari berturut-turut, di mana penguatan rupiah terakhir kali tercatat pada 18 April 2019.
Pada awal perdagangan pekan ini, rupiah tertekan seiring dengan penguatan dolar AS yang ditopang fakta bahwa ekonomi AS menorehkan hasil yang cemerlang.
Pembacaan awal atas angka pertumbuhan ekonomi AS kuartal I-2019 diumumkan sebesar 3,2% (QoQ annualized), jauh di atas konsensus dan capaian kuartal sebelumnya yang hanya sebesar 2,2%, seperti dilansir dari Forex Factory.
Selain itu, penjualan barang ritel Maret AS juga naik 1,6% secara bulanan yang jauh membaik dari kontraksi sebesar 0,2% di bulan Februari.
Rentetan data ekonomi Negeri Paman Sam yang kinclong, praktis membuat dolar AS memiliki daya tarik yang besar, sehingga mata uang negara-negara kawasan Asia dilego pelaku pasar. Hanya rupee India, peso Filipina, dan yen Jepang saja yang berhasil menaklukkan mata uang greenback ini.
LANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA>> Pengumuman hasil rapat komite pengambil kebijakan The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di kisaran 2,25%-2,5%.
Sejatinya keputusan tersebut sudah diprediksi pasar, masalahnya adalah pernyataan yang meliputi keputusan itulah yang tidak diprediksi investor.
Dalam pernyataannya, Gubernur The Fed Jerome Powell mengindikasikan bahwa kebijakan suku bunga saat ini sudah sesuai dan jangan diartikan The Fed membuka peluang untuk mengubahnya.
"Kami merasa stance [posisi] kebijakan kami masih layak dipertahankan untuk saat ini. Kami tidak melihat ada tanda-tanda yang kuat untuk menuju ke arah sebaliknya. Saya melihat kita dalam jalur yang benar," tegas Powell dalam konferensi pers usai rapat, mengutip Reuters.
Komentar yang jauh dari kesan kalem atau dovish ini benar-benar tidak terbayangkan sebelumnya. Pasalnya, pelaku pasar menduga The Fed akan kembali melontarkan pernyataan bernada dovish yang diekspektasi mengarah pada penurunan suku bunga acuan di akhir tahun.
Jika akhirnya peluang itu kandas dan bahkan ada kemungkinan suku bunga dinaikkan, tentunya instrumen berbasis dollar AS akan lebih menguntungkan.
"Pernyataan Powell membuat kenaikan suku bunga acuan sebagai sesuatu yang mungkin saja bisa terwujud. Jadi arah kebijakan suku bunga bukan hanya turun, tetapi bisa naik juga," tegas Brian Battle, Director Trading di Performance Trust Capital Partners yang berbasis di Chicago, mengutip Reuters.
Setelah rilis pengumuman The Fed, Dollar Index, yang menunjukkan posisi dollar AS dibanding 6 mata uang utama dunia, terus menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/tas) Next Article Pecah Rekor 3 Tahun, Rupiah Perkasa Pimpin Asia
Most Popular