Saat Asing Banyak Keluar, IHSG Finish di Zona Hijau

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
29 April 2019 16:43
Saat Asing Banyak Keluar, IHSG Finish di Zona Hijau
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan dengan pelemahan sebesar 0,2%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bisa membalikkan keadaan dan ditutup menguat 0,39% per akhir sesi 2 ke level 6.425,9.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong kenaikan IHSG di antaranya: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+1,16%), PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk/INKP (+7,64%), PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk/MIKA (+7,39%), PT Smartfren Telecom Tbk/FREN (+5,84%), dan PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (+0,65%).

Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona hijau: indeks Hang Seng naik 0,97%, indeks Straits Times naik 1,43%, dan indeks Kospi naik 1,7%.

Optimisme bahwa perekonomian AS tak akan mengalami hard landing membuat aksi beli dilakukan investor di bursa saham Benua Kuning.

Menjelang akhir pekan kemarin, pembacaan awal atas angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal-I 2019 diumumkan sebesar 3,2% (QoQ annualized), jauh di atas konsensus dan capaian kuartal sebelumnya yang hanya sebesar 2,2%, seperti dilansir dari Forex Factory.

Rilis data tersebut melengkapi rangkaian rilis data ekonomi AS sebelumnya yang juga oke. Pemesanan barang-barang tahan lama (durable goods) diumumkan naik 2,7% MoM pada bulan Maret, menandai kenaikan tertinggi sejak Agustus 2018 dan jauh mengalahkan konsensus yakni pertumbuhan sebesar 0,7% saja, seperti dilansir dari Forex Factory.

Kemudian, pemesanan barang-barang tahan lama inti (mengeluarkan komponen transportasi) naik 0,4% secara bulanan, juga di atas konsensus yang sebesar 0,2%, dilansir dari Forex Factory.

Lebih lanjut, penjualan barang-barang ritel periode Maret 2019 diumumkan naik sebesar 1,6% secara bulanan, menandai kenaikan tertinggi sejak September 2017 dan jauh membaik dibandingkan capaian bulan Februari yakni kontraksi sebesar 0,2%. Capaian pada bulan Maret juga berhasil mengalahkan konsensus yakni pertumbuhan sebesar 0,9% saja, seperti dilansir dari Forex Factory.

Sebagai informasi, belum lama ini International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi AS untuk tahun 2019 menjadi 2,3%, dari yang sebelumnya 2,5% pada proyeksi yang dibuat bulan Januari. Pada tahun 2018, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9%.

Ketika perekonomian AS berada dalam kondisi yang kuat, tentu negara-negara lain akan ikut merasakan dampak positifnya, mengingat posisi AS sebagai negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia.
Selain itu, ada optimisme yang menyelimuti negosiasi dagang AS-China. Besok (30/4/2019), delegasi AS akan bertandang ke Beijing guna menggelar negosiasi dagang lanjutan dengan China.

Dalam pernyataan tertulisnya yang dirilis Selasa (23/4/2019) malam waktu setempat atau Rabu (23/4/2019) pagi waktu Indonesia, Gedung Putih mengatakan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin akan memimpin delegasi AS.

Dalam pertemuan pekan ini, isu-isu krusial yang selama ini sulit sekali untuk dipecahkan seperti pencurian hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi secara paksa akan kembali dibahas.

Melansir pemberitaan New York Times yang dikutip dari CNBC International, negosiasi dagang antara AS dan China disebut Mnuchin sudah memasuki tahap akhir.

“Saya rasa kedua belah pihak memiliki keinginan untuk mencapai sebuah kesepakatan,” papar Mnuhcin. “Kami telah mencapi banyak kemajuan.”

Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.

Jika kesepakatan dagang bisa segera disegel, ada kemungkinan bahwa pengenaan bea masuk tersebut akan dicabut, mendorong perekonomian AS dan China melaju lebih kencang. Sejatinya, penguatan IHSG bisa lebih tinggi jika investor asing tak melakukan aksi jual. Per akhir sesi 2, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 336,7 miliar di pasar reguler.

Saham-saham yang banyak dilepas investor asing di antaranya: PT Astra International Tbk/ASII (Rp 87,1 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 67,3 miliar), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (Rp 61,6 miliar), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 53,9 miliar), dan PT JAPFA Tbk/JPFA (Rp 50,6 miliar).

Pelemahan rupiah menjadi momok bagi investor asing. Pada pembukaan perdagangan di pasar spot, mata uang Garuda melemah 0,04% ke level Rp 14.185/dolar AS. Hingga sore hari, pelemahannya menjadi bertambah dalam yakni sebesar 0,21% ke level Rp 14.210/dolar AS.

Lantas, sudah dalam 6 hari perdagangan terakhir rupiah tak pernah mencetak apresiasi. Terakhir kali rupiah menguat adalah sehari selepas gelaran pemilihan umum atau pada tanggal 18 April silam. Selepas itu, rupiah ditransaksikan melemah atau setidaknya flat.

Kala rupiah melemah, investor asing berpotensi menanggung yang namanya kerugian dari selisih kurs, sehingga wajar jika aksi jual di pasar saham Indonesia dilakukan.

Walaupun direspons positif di bursa saham, kinclongnya data ekonomi AS menjadi petaka bagi rupiah. Pasalnya, deretan data ekonomi yang kinclong tersebut membuat keyakinan bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS akan memangkas suku bunga acuan pada tahun ini menjadi memudar. Praktis, dolar AS menjadi memiliki daya tarik yang besar.

Dari dalam negeri, tak ada suntikan energi bagi rupiah dari Bank Indonesia (BI). Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang hasilnya diumumkan pada hari Kamis lalu (25/4/2019) memutuskan bahwa 7 Day Reverse Repo Rate ditahan di level 6%.

Lebih lanjut, harga minyak mentah dunia yang belum suportif ikut menjadi faktor yang membuat rupiah dilego pelaku pasar. Walaupun terkoreksi pada hari ini, harga minyak mentah dunia masih berada di level yang relatif tinggi.

Hingga sore hari, harga minyak WTI kontrak pengiriman bulan Juni melemah 0,73% ke level US$ 62,84/barel, sementara brent kontrak pengiriman bulan Juni turun 0,93% ke level US$ 71,48/barel.

Kala harga minyak berada dalam level yang tinggi, ada kemungkinan bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) akan melebar, mengingat status Indonesia sebagai net importir minyak mentah.

Sebagai informasi, sepanjang kuartal-IV 2018, CAD Indonesia tercatat senilai US$ 9,1 miliar atau 3,57% dari PDB, naik dari capaian kuartal-III 2018 yang sebesar 3,37% dari PDB. CAD pada kuartal-IV 2018 merupakan yang terparah sejak kuartal-II 2014.

Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan memang merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular