Dari dalam negeri, tak ada suntikan energi bagi rupiah dari Bank Indonesia (BI). Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang hasilnya diumumkan pada hari Kamis lalu (25/4/2019) memutuskan bahwa 7 Day Reverse Repo Rate ditahan di level 6%.
Memang, dengan tingkat suku bunga acuan saat ini saja, pasar obligasi Indonesia masih memberikan imbal hasil (
yield) yang menarik. Masih terdapat selisih (
spread) yang besar antara
yield dan inflasi.
Survei pemantuan Indeks Harga Konsumen (IHK) yang dilakukan BI pada minggu keempat April 2019 mencatat bahwa terjadi inflasi 0,35% secara bulanan.
"Minggu ke empat April kami perkirakan 0,35%. Secara tahunan 2,74%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo, Jumat (26/4/2019).
Inflasi merupakan variabel penting bagi investor dalam menentukan keputusan investasi di pasar obligasi.
Jika inflasi rendah, maka obligasi akan menjadi menarik lantaran menawarkan
real interest rate yang lebih tinggi. Sebaliknya, jika inflasi tinggi, maka
real interest rate akan menjadi lebih rendah sehingga obligasi tidak menarik.
Per akhir perdagangan pekan lalu,
yield obligasi terbitan pemerintah Indonesia tenor 10 tahun berada di level 7,78%.
Dengan
spread antara
yield dan inflasi yang masih besar, seharusnya aliran modal asing bisa mengalir deras ke Indonesia dan menopang kinerja rupiah.
Namun, data ekonomi AS yang kelewat oke (yang akhirnya membuat keyakinan bahwa The Fed akan memangkas suku bunga acuan memudar) terbukti lebih dominan dalam mendikte pergerakan rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas)