
Politik Bising Saling Klaim Menang, IHSG Terluka Dalam!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 April 2019 11:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok dalam pada perdagangan pekan ini. Faktor eksternal dan domestik memang kurang suportif untuk mendorong penguatan indeks.
Sepanjang pekan ini, IHSG anjlok 1,63% secara point-to-point. IHSG yang sempat menyentuh kisaran 6.500 berjalan tertatih-tatih sepanjang pekan.
Sementara bursa saham utama Asia bergerak variatif cenderung melemah. Walau IHSG melemah dalam, tetapi ada yang lebih parah yaitu Shanghai Composite. Indeks saham Negeri Tirai Bambu amblas sampai di kisaran 5%.
Berikut perkembangan indeks saham utama Benua Kuning sepanjang minggu ini:
Perdagangan pekan ini dimulai lambat. Maklum, pelaku pasar masih agak jetlag setelah libur panjang karena memperingati Jumat Agung.
Bursa saham Asia, termasuk Indonesia, mengalami koreksi pada awal-awal pekan karena sebelumnya sudah menguat cukup tajam. Sebagai catatan, IHSG sepekan sebelumnya melonjak sampai 1,58%. Di tengah suasana jetlag dan belum ada sentimen besar yang mempengaruhi pasar, investor pun memilih melakukan ambil untung (profit taking).
Pekan pun berjalan, dan sentimen penggerak pasar masih belum ada yang 'nendang'. Malah yang ada adalah rilis data di berbagai negara yang agak mengkhawatirkan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Misalnya di Eropa. Produksi industrial di negara-negara Zona Euro pada Februari turun 0,3% secara year-on-year (YoY). Dengan demikian, produksi industrial Benua Biru sudah terkontraksi alias negatif selama empat bulan beruntun.
Kemudian di Jepang, bank sentral Negeri Matahari Terbit (BoJ) kembali mempertahankan suku bunga acuan di angka -0,1%. Gubernur Haruhiko Kuroda dan kolega menyatakan kebijakan moneter ultra longgar ini kemungkinan akan bertahan cukup lama yaitu setidaknya hingga tahun depan.
Sebab, sepertinya butuh waktu lebih lama untuk mencapai target inflasi yang disasar BoJ yaitu 2%. Untuk tahun fiskal 2019, BoJ menurunkan proyeksi inflasi dari 1,6% menjadi 1,1%.
Perkembangan ini menunjukkan perekonomian Negeri Sakura masih terjebak dalam stagnasi. Inflasi yang rendah (bahkan kerap kali terjadi deflasi) menandakan dunia usaha enggan menaikkan harga karena permintaan yang begitu-begitu saja.
Sementara di negara-negara lain situasinya bikin deg-degan, di Amerika Serikat (AS) justru sebaliknya. Penjualan rumah baru di Negeri Paman pada Maret naik 4,5% dibandingkan bulan sebelumnya menjadi 692.000 unit. Ini menjadi angka penjualan tertinggi sejak November 2017.
Data ekonomi AS yang membaik menjadi sinyal bahwa perekonomian Negeri Adidaya masih bergeliat. Walau ada perlambatan, tetapi konsumsi masih kuat sehingga kemungkinan besar tidak akan terjadi hard landing. Risiko resesi pun sudah semakin jauh.
Akibatnya, arus modal pun berpihak ke AS. Sepanjang pekan ini, indeks S&P 500 melonjak 1,2%. Sementara Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) naik 0,55%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Sementara dari dalam negeri, IHSG sudah tidak bisa lagi mengharapkan Jokowi Effect. Walau kemungkinan pasangan capres-cawapres Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin memenangkan Pemilu 2019, sepertinya pelaku pasar sudah selesai melakukan kalkulasi. Sudah priced-in, sudah ketaker.
Malah kemudian pelaku pasar sedikit grogi menghadapi gaduh politik pasca-Pemilu. Prabowo Subianto, capres nomor urut 02, beberapa kali mengklaim kemenangannya. Bahkan pesaing Jokowi sejak 2014 itu tidak jarang menuding ada kecurangan dalam Pemilu, sehingga hasilnya patut dipertanyakan.
Oleh karena itu, sepertinya situasi masih akan panas meski Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mengumumkan hasil resmi Pemilu 2019 pada 22 Mei mendatang. Sudah pasti hasilnya akan diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga suara bising politik masih akan terus bergema.
Dinamika ini bisa jadi membuat investor kurang nyaman. Respons investor kemudian adalah menarik dananya dari Bursa Efek Indonesia (BEI) sampai situasi agak tenang.
Sepanjang pekan ini, investor asing mencatatkan jual bersih Rp 2,3 triliun. Pantas saja IHSG terluka dalam...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Ambles, Menkeu: Kita Mitigasi Dampaknya
Sepanjang pekan ini, IHSG anjlok 1,63% secara point-to-point. IHSG yang sempat menyentuh kisaran 6.500 berjalan tertatih-tatih sepanjang pekan.
Berikut perkembangan indeks saham utama Benua Kuning sepanjang minggu ini:
Perdagangan pekan ini dimulai lambat. Maklum, pelaku pasar masih agak jetlag setelah libur panjang karena memperingati Jumat Agung.
Bursa saham Asia, termasuk Indonesia, mengalami koreksi pada awal-awal pekan karena sebelumnya sudah menguat cukup tajam. Sebagai catatan, IHSG sepekan sebelumnya melonjak sampai 1,58%. Di tengah suasana jetlag dan belum ada sentimen besar yang mempengaruhi pasar, investor pun memilih melakukan ambil untung (profit taking).
Pekan pun berjalan, dan sentimen penggerak pasar masih belum ada yang 'nendang'. Malah yang ada adalah rilis data di berbagai negara yang agak mengkhawatirkan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Misalnya di Eropa. Produksi industrial di negara-negara Zona Euro pada Februari turun 0,3% secara year-on-year (YoY). Dengan demikian, produksi industrial Benua Biru sudah terkontraksi alias negatif selama empat bulan beruntun.
Kemudian di Jepang, bank sentral Negeri Matahari Terbit (BoJ) kembali mempertahankan suku bunga acuan di angka -0,1%. Gubernur Haruhiko Kuroda dan kolega menyatakan kebijakan moneter ultra longgar ini kemungkinan akan bertahan cukup lama yaitu setidaknya hingga tahun depan.
Sebab, sepertinya butuh waktu lebih lama untuk mencapai target inflasi yang disasar BoJ yaitu 2%. Untuk tahun fiskal 2019, BoJ menurunkan proyeksi inflasi dari 1,6% menjadi 1,1%.
Perkembangan ini menunjukkan perekonomian Negeri Sakura masih terjebak dalam stagnasi. Inflasi yang rendah (bahkan kerap kali terjadi deflasi) menandakan dunia usaha enggan menaikkan harga karena permintaan yang begitu-begitu saja.
Sementara di negara-negara lain situasinya bikin deg-degan, di Amerika Serikat (AS) justru sebaliknya. Penjualan rumah baru di Negeri Paman pada Maret naik 4,5% dibandingkan bulan sebelumnya menjadi 692.000 unit. Ini menjadi angka penjualan tertinggi sejak November 2017.
Data ekonomi AS yang membaik menjadi sinyal bahwa perekonomian Negeri Adidaya masih bergeliat. Walau ada perlambatan, tetapi konsumsi masih kuat sehingga kemungkinan besar tidak akan terjadi hard landing. Risiko resesi pun sudah semakin jauh.
Akibatnya, arus modal pun berpihak ke AS. Sepanjang pekan ini, indeks S&P 500 melonjak 1,2%. Sementara Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) naik 0,55%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Sementara dari dalam negeri, IHSG sudah tidak bisa lagi mengharapkan Jokowi Effect. Walau kemungkinan pasangan capres-cawapres Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin memenangkan Pemilu 2019, sepertinya pelaku pasar sudah selesai melakukan kalkulasi. Sudah priced-in, sudah ketaker.
Malah kemudian pelaku pasar sedikit grogi menghadapi gaduh politik pasca-Pemilu. Prabowo Subianto, capres nomor urut 02, beberapa kali mengklaim kemenangannya. Bahkan pesaing Jokowi sejak 2014 itu tidak jarang menuding ada kecurangan dalam Pemilu, sehingga hasilnya patut dipertanyakan.
Oleh karena itu, sepertinya situasi masih akan panas meski Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mengumumkan hasil resmi Pemilu 2019 pada 22 Mei mendatang. Sudah pasti hasilnya akan diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga suara bising politik masih akan terus bergema.
Dinamika ini bisa jadi membuat investor kurang nyaman. Respons investor kemudian adalah menarik dananya dari Bursa Efek Indonesia (BEI) sampai situasi agak tenang.
Sepanjang pekan ini, investor asing mencatatkan jual bersih Rp 2,3 triliun. Pantas saja IHSG terluka dalam...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Ambles, Menkeu: Kita Mitigasi Dampaknya
Most Popular