
Tunggu Pengumuman Bunga Acuan, Rupiah Terpuruk di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 April 2019 12:23

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Tidak cuma melemah, rupiah juga menjadi mata uang paling lesu di Asia.
Pada Kamis (25/4/2019) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.148. Rupiah melemah 0,41% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya dan menyentuh posisi terlemah sejak 8 April.
Kala pembukaan pasar, rupiah masih bisa stagnan, tidak melemah tetapi tidak menguat. Namun sejurus kemudian rupiah tergelincir ke zona merah dan terjebak di sana sampai sekarang.
Rupiah berkumpul dengan mayoritas mata uang utama Asia yang juga melemah di hadapan dolar AS. Hanya yen Jepang dan dolar Taiwan yang masih bisa menguat.
Akan tetapi, rupiah menjadi 'spesial' karena pelemahannya menjadi yang paling dalam. Ya, rupiah menjadi mata uang terlemah di Benua Kuning.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:15 WIB:
Investor berbondong-bondong mengoleksi dolar AS karena khawatir dengan perkembangan di Eropa. Angka pembacaan awal indeks iklim bisnis Jerman untuk periode April adalah 99,2. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 99,7.
Jerman adalah perekonomian terbesar di Eropa. Jika Jerman lesu, maka seluruh Benua Biru bisa ikut lesu. Akibatnya mata uang euro dihantam aksi jual, dan aliran modal memihak kepada dolar AS.
Kemudian, investor juga memilih bermain aman sembari menanti dialog dagang AS-China di Beijing pekan depan. Sebelum ada kabar seputar kepastian kapan perjanjian damai dagang diteken oleh Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping, tampaknya pelaku pasar memilih menahan diri.
Sementara dari dalam negeri, pelaku pasar sedang menunggu pengumuman suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) siang nanti. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat masih mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 6%.
Sepertinya pertimbangan utama BI menahan suku bunga acuan adalah perkembangan transaksi berjalan. Kalau hanya melihat inflasi, bisa saja BI sudah menurunkan 7 Day Reverse Repo Rate. Risiko inflasi sudah begitu kecil, tidak ada isu.
Namun transaksi berjalan masih menjadi salah satu risiko besar di perekonomian Indonesia dan pengaruhnya bisa menjalar ke mana-mana, termasuk nilai tukar rupiah. Kalau urusannya sudah menyangkut rupiah, maka BI tentu tidak bisa tinggal diam. Transaksi berjalan yang sejatinya adalah fenomena sektor riil berubah menjadi fenomena moneter yang membutuhkan campur tangan bank sentral.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Kamis (25/4/2019) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.148. Rupiah melemah 0,41% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya dan menyentuh posisi terlemah sejak 8 April.
Kala pembukaan pasar, rupiah masih bisa stagnan, tidak melemah tetapi tidak menguat. Namun sejurus kemudian rupiah tergelincir ke zona merah dan terjebak di sana sampai sekarang.
Rupiah berkumpul dengan mayoritas mata uang utama Asia yang juga melemah di hadapan dolar AS. Hanya yen Jepang dan dolar Taiwan yang masih bisa menguat.
Akan tetapi, rupiah menjadi 'spesial' karena pelemahannya menjadi yang paling dalam. Ya, rupiah menjadi mata uang terlemah di Benua Kuning.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:15 WIB:
Investor berbondong-bondong mengoleksi dolar AS karena khawatir dengan perkembangan di Eropa. Angka pembacaan awal indeks iklim bisnis Jerman untuk periode April adalah 99,2. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 99,7.
Jerman adalah perekonomian terbesar di Eropa. Jika Jerman lesu, maka seluruh Benua Biru bisa ikut lesu. Akibatnya mata uang euro dihantam aksi jual, dan aliran modal memihak kepada dolar AS.
Kemudian, investor juga memilih bermain aman sembari menanti dialog dagang AS-China di Beijing pekan depan. Sebelum ada kabar seputar kepastian kapan perjanjian damai dagang diteken oleh Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping, tampaknya pelaku pasar memilih menahan diri.
Sementara dari dalam negeri, pelaku pasar sedang menunggu pengumuman suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) siang nanti. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat masih mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 6%.
Sepertinya pertimbangan utama BI menahan suku bunga acuan adalah perkembangan transaksi berjalan. Kalau hanya melihat inflasi, bisa saja BI sudah menurunkan 7 Day Reverse Repo Rate. Risiko inflasi sudah begitu kecil, tidak ada isu.
Namun transaksi berjalan masih menjadi salah satu risiko besar di perekonomian Indonesia dan pengaruhnya bisa menjalar ke mana-mana, termasuk nilai tukar rupiah. Kalau urusannya sudah menyangkut rupiah, maka BI tentu tidak bisa tinggal diam. Transaksi berjalan yang sejatinya adalah fenomena sektor riil berubah menjadi fenomena moneter yang membutuhkan campur tangan bank sentral.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular