
IHSG Anjlok 1,42%, Ini Sebab Musababnya
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
22 April 2019 16:50

Selain aksi ambil untung, rupiah yang terkulai juga menjadi faktor yang memotori aksi jual di pasar saham Indonesia. Hingga akhir perdagangan, rupiah melemah 0,21% di pasar spot ke level Rp 14.070/dolar AS.
Kekhawatiran bahwa The Federal Reserve/The Fed selaku bank sentral AS akan mengeksekusi kenaikan suku bunga acuan pada tahun ini membuat dolar AS perkasa melawan rupiah. Padahal sebelumnya, pelaku pasar sudah pede bahwa tak akan ada kenaikan suku bunga acuan pada tahun 2019.
Kekhawatiran ini dilandasi oleh kinclongnya data-data ekonomi yang dirilis di AS pada hari Kamis (18/4/2019). Penjualan barang-barang ritel periode Maret 2019 diumumkan naik sebesar 1,6% secara bulanan, menandai kenaikan tertinggi sejak September 2017 dan jauh membaik dibandingkan capaian bulan Februari yakni kontraksi sebesar 0,2%. Capaian pada bulan Maret juga berhasil mengalahkan konsensus yakni pertumbuhan sebesar 0,9% saja, seperti dilansir dari Forex Factory.
Kemudian, penjualan barang-barang ritel inti (mengeluarkan komponen mobil) periode Maret 2019 tumbuh sebesar 1,2% secara bulanan, membaik ketimbang bulan Februari yang minus 0,2%. Capaian tersebut juga juga berhasil mengalahkan konsensus yakni pertumbuhan sebesar 0,7% saja, seperti dilansir dari Forex Factory.
Tak sampai disitu, klaim tunjangan pengangguran untuk minggu yang berakhir pada 13 April tercatat turun 5.000 dibandingkan pekan sebelumnya menjadi 192.000, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 207.000, dilansir dari Forex Factory.
Dengan deretan data ekonomi yang kinclong tersebut, ada kemungkinan bahwa The Fed akan mengerek naik suku bunga acuan pada tahun ini. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 22 April 2019, terdapat peluang sebesar 0,3% bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada tahun ini, naik dari posisi tanggal 18 April yang sebesar 0%. Posisi pada bulan lalu (22 Maret) adalah juga 0%.
Memang probabilitasnya masih kecil, masih 0,3%. Namun, jika dikombinasikan dengan kinerja rupiah yang kinclong pada pekan lalu, probabilitas yang masih kecil tersebut telah cukup untuk membuat mata uang Garuda menderita tekanan jual. Sepanjang pekan lalu, rupiah menguat sebesar 0,35%, menjadikannya mata uang dengan kinerja terbaik di kawasan Asia.
Selain itu, kinerja rupiah juga dibebani oleh kenaikan harga minyak mentah dunia. Hingga penutupan perdagangan di bursa saham tanah air, harga minyak mentah WTI kontrak pengiriman bulan Mei melesat 2,44% ke level US$ 65,56/barel, sementara brent kontrak pengiriman bulan Juni melesat 2,63%ke level US$ 73,86/barel.
Kala harga minyak melesat, ada kemungkinan bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) akan melebar, mengingat status Indonesia sebagai net importir minyak mentah.
Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan memang merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/ank)
Kekhawatiran bahwa The Federal Reserve/The Fed selaku bank sentral AS akan mengeksekusi kenaikan suku bunga acuan pada tahun ini membuat dolar AS perkasa melawan rupiah. Padahal sebelumnya, pelaku pasar sudah pede bahwa tak akan ada kenaikan suku bunga acuan pada tahun 2019.
Kekhawatiran ini dilandasi oleh kinclongnya data-data ekonomi yang dirilis di AS pada hari Kamis (18/4/2019). Penjualan barang-barang ritel periode Maret 2019 diumumkan naik sebesar 1,6% secara bulanan, menandai kenaikan tertinggi sejak September 2017 dan jauh membaik dibandingkan capaian bulan Februari yakni kontraksi sebesar 0,2%. Capaian pada bulan Maret juga berhasil mengalahkan konsensus yakni pertumbuhan sebesar 0,9% saja, seperti dilansir dari Forex Factory.
Tak sampai disitu, klaim tunjangan pengangguran untuk minggu yang berakhir pada 13 April tercatat turun 5.000 dibandingkan pekan sebelumnya menjadi 192.000, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 207.000, dilansir dari Forex Factory.
Dengan deretan data ekonomi yang kinclong tersebut, ada kemungkinan bahwa The Fed akan mengerek naik suku bunga acuan pada tahun ini. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 22 April 2019, terdapat peluang sebesar 0,3% bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada tahun ini, naik dari posisi tanggal 18 April yang sebesar 0%. Posisi pada bulan lalu (22 Maret) adalah juga 0%.
Memang probabilitasnya masih kecil, masih 0,3%. Namun, jika dikombinasikan dengan kinerja rupiah yang kinclong pada pekan lalu, probabilitas yang masih kecil tersebut telah cukup untuk membuat mata uang Garuda menderita tekanan jual. Sepanjang pekan lalu, rupiah menguat sebesar 0,35%, menjadikannya mata uang dengan kinerja terbaik di kawasan Asia.
Selain itu, kinerja rupiah juga dibebani oleh kenaikan harga minyak mentah dunia. Hingga penutupan perdagangan di bursa saham tanah air, harga minyak mentah WTI kontrak pengiriman bulan Mei melesat 2,44% ke level US$ 65,56/barel, sementara brent kontrak pengiriman bulan Juni melesat 2,63%ke level US$ 73,86/barel.
Kala harga minyak melesat, ada kemungkinan bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) akan melebar, mengingat status Indonesia sebagai net importir minyak mentah.
Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan memang merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/ank)
Pages
Most Popular