IHSG Anjlok 1,42%, Ini Sebab Musababnya

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
22 April 2019 16:50
IHSG Anjlok 1,42%, Ini Sebab Musababnya
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham tanah air babak belur pada perdagangan pertama di pekan ini. Dibuka naik tipis 0,06%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kemudian diterpa tekanan jual dengan intensitas yang besar. Per akhir sesi 2, IHSG jatuh sebesar 1,42% ke level 6.414,74.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan bagi kejatuhan IHSG di antaranya: PT Astra International Tbk/ASII (-4,14%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-2,28%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-2,07%), PT Gudang Garam Tbk/GGRM (-3,41%), dan PT Semen Indonesia Tbk/SMGR (-4,01%).

IHSG jatuh kala mayoritas bursa saham utama kawasan Asia ditransaksikan menguat: indeks Nikkei naik 0,08%, indeks Straits Times naik 0,22%, dan indeks Kospi naik 0,02%.

Sama seperti pekan kemarin, kinclongnya data ekonomi China masih memotori aksi beli atas saham-saham di Benua Kuning. Pada pekan lalu, pertumbuhan ekonomi China periode kuartal-I 2019 diumumkan di level 6,4% YoY, mengalahkan konsensus yang sebesar 6,3% YoY, seperti dilansir dari Trading Economics.

Kemudian, produksi industri periode Maret 2019 diumumkan tumbuh 8,5% secara tahunan, di atas konsensus yang sebesar 5,9%, seperti dilansir dari Trading Economics. Terakhir, penjualan barang-barang ritel untuk bulan yang sama melesat hingga 8,7% secara tahunan, juga di atas konsensus yang sebesar 8,4%, dilansir dari Trading Economics.

Lantas, kekhawatiran bahwa perekonomian China akan mengalami hard landing pada tahun ini menjadi mereda. Sebagai informasi, belum lama ini pemerintah China resmi memangkas target pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 menjadi 6%-6,5%. Sebelumnya, target pertumbuhan ekonomi tahun 2019 dipatok di kisaran 6,5%. Pada tahun 2018, perekonomian China tumbuh hingga 6,6%.

Lebih lanjut, perkembangan terkait negosiasi dagang AS-China yang kondusif ikut memantik aksi beli di bursa saham regional. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Gao Feng mengungkapkan bahwa ada kemajuan baru dalam perundingan Washington-Beijing, walaupun dirinya tak mengelaborasi lebih jauh.

Jika kesepakatan dagang benar bisa dicapai, tentu perekonomian AS dan China, berikut perekonomian dunia, akan bisa untuk dipacu untuk melaju lebih kencang.
Dari dalam negeri, Jokowi effect yang mendorong IHSG melesat hingga 1,58% pada pekan lalu terlihat sudah pudar pada hari ini.

Sejauh ini, hasil hitung cepat dari berbagai lembaga kompak memenangkan pasangan calon nomor urut 01 yakni Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Hasil hitung cepat dari Litbang Kompas misalnya, sudah menerima sebanyak 99,95% suara masuk dengan 54,4% suara jatuh ke pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

Lantas, bisa dibilang Jokowi menang besar pada tahun ini. Pada pilpres 2014, Jokowi ‘hanya’ mengalahkan Prabowo dengan marjin 53,15% berbanding 46,85%.

Bagi pasar saham, kemenangan Joko Widodo- Ma’ruf Amin memang sebelumnya kami prediksi akan menjadi berkah. Pasalnya jika berkaca kepada sejarah, IHSG selalu memberikan imbal hasil yang menggiurkan di tahun pemilu, dengan catatan bahwa hasil pemilihan presiden sesuai dengan proyeksi dari mayoritas lembaga survei. Pada pemilihan presiden edisi 2019, mayoritas lembaga survei memang sebelumnya menjagokan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai pemenang.

Pada tahun 2004, IHSG melejit hingga 44,6%. Pada tahun 2009, IHSG meroket hingga 87%. Sementara pada tahun 2014 kala Jokowi terpilih untuk periode pertamanya sebagai presiden, IHSG melejit 22,3%.

Lebih lanjut, kemenangan Jokowi akan membuat arah perekonomian Indonesia menjadi lebih mudah untuk ditebak lantaran statusnya selaku petahana. Besar kemungkinan, pembangunan ekonomi berbasis infrastruktur yang selama ini dijagokan Jokowi akan kembali dilanjutkan hingga tahun 2024. Hal yang sama berlaku untuk upaya pengentasan kemiskinan seperti pemberian bantuan melalui Program Keluarga Harapan (PKH).

Kepastian terkait dengan arah perekonomian Indonesia membuat investor pede untuk menyasar pasar saham pada pekan lalu.

Namun kini, investor lebih memilih untuk merealisasikan keuntungan yang sudah diraup. Selain aksi ambil untung, rupiah yang terkulai juga menjadi faktor yang memotori aksi jual di pasar saham Indonesia. Hingga akhir perdagangan, rupiah melemah 0,21% di pasar spot ke level Rp 14.070/dolar AS.

Kekhawatiran bahwa The Federal Reserve/The Fed selaku bank sentral AS akan mengeksekusi kenaikan suku bunga acuan pada tahun ini membuat dolar AS perkasa melawan rupiah. Padahal sebelumnya, pelaku pasar sudah pede bahwa tak akan ada kenaikan suku bunga acuan pada tahun 2019.

Kekhawatiran ini dilandasi oleh kinclongnya data-data ekonomi yang dirilis di AS pada hari Kamis (18/4/2019). Penjualan barang-barang ritel periode Maret 2019 diumumkan naik sebesar 1,6% secara bulanan, menandai kenaikan tertinggi sejak September 2017 dan jauh membaik dibandingkan capaian bulan Februari yakni kontraksi sebesar 0,2%. Capaian pada bulan Maret juga berhasil mengalahkan konsensus yakni pertumbuhan sebesar 0,9% saja, seperti dilansir dari Forex Factory.

Kemudian, penjualan barang-barang ritel inti (mengeluarkan komponen mobil) periode Maret 2019 tumbuh sebesar 1,2% secara bulanan, membaik ketimbang bulan Februari yang minus 0,2%. Capaian tersebut juga juga berhasil mengalahkan konsensus yakni pertumbuhan sebesar 0,7% saja, seperti dilansir dari Forex Factory.

Tak sampai disitu, klaim tunjangan pengangguran untuk minggu yang berakhir pada 13 April tercatat turun 5.000 dibandingkan pekan sebelumnya menjadi 192.000, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 207.000, dilansir dari Forex Factory.

Dengan deretan data ekonomi yang kinclong tersebut, ada kemungkinan bahwa The Fed akan mengerek naik suku bunga acuan pada tahun ini. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 22 April 2019, terdapat peluang sebesar 0,3% bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada tahun ini, naik dari posisi tanggal 18 April yang sebesar 0%. Posisi pada bulan lalu (22 Maret) adalah juga 0%.

Memang probabilitasnya masih kecil, masih 0,3%. Namun, jika dikombinasikan dengan kinerja rupiah yang kinclong pada pekan lalu, probabilitas yang masih kecil tersebut telah cukup untuk membuat mata uang Garuda menderita tekanan jual. Sepanjang pekan lalu, rupiah menguat sebesar 0,35%, menjadikannya mata uang dengan kinerja terbaik di kawasan Asia.

Selain itu, kinerja rupiah juga dibebani oleh kenaikan harga minyak mentah dunia. Hingga penutupan perdagangan di bursa saham tanah air, harga minyak mentah WTI kontrak pengiriman bulan Mei melesat 2,44% ke level US$ 65,56/barel, sementara brent kontrak pengiriman bulan Juni melesat 2,63%ke level US$ 73,86/barel.

Kala harga minyak melesat, ada kemungkinan bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) akan melebar, mengingat status Indonesia sebagai net importir minyak mentah.

Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan memang merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular