Jokowi Effect Pupus, Penguatan Rupiah di Kurs Tengah BI Putus

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 April 2019 10:36
Jokowi Effect Pupus, Penguatan Rupiah di Kurs Tengah BI Putus
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI) hari ini. Rantai penguatan rupiah selama 4 hari beruntun pun terputus. 

Pada Senin (22/4/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.056. Rupiah melemah 0,29% dibandingkan posisi sebelum libur Jumat Agung. 

Sebelum hari ini, rupiah sudah menguat 4 hari berturut-turut di kurs tengah BI. Selama periode tersebut, apresiasi rupiah nyaris mencapai 1%. 

 

Sementara di pasar spot, rupiah juga harus mengakui keunggulan dolar AS. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.060 di mana rupiah melemah 0,14%. Bahkan seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah semakin dalam menjadi 0,18% pada pukul 10:14 WIB. 

Kala pembukaan pasar, rupiah masih bisa bertahan di zona netral alias stagnan. Namun itu terbukti tidak bisa bertahan lama.


Rupiah pun terhanyut dalam gelombang penguatan dolar AS yang menghantam Asia. Hanya rupee India yang masih bisa menguat, mata uang lainnya tidak bisa selamat. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 10:17 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dolar AS mendapat kekuatan akibat rilis data yang ciamik pada akhir pekan lalu. Penjualan ritel di AS pada Maret naik 1,6% month-on-month (MoM), kenaikan tertinggi sejak September 2017. Jauh membaik dibandingkan Februari yang turun 0,2% MoM. 

Sementara penjualan ritel inti naik 1% MoM, juga membaik ketimbang Februari yang minus 0,3%. Penjualan ritel inti mencerminkan konsumsi rumah tangga dalam komponen pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB). 

Data lainnya adalah klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 13 April turun 5.000 dibandingkan pekan sebelumnya menjadi 192.000. ini merupakan klaim terendah sejak September 1969. 

Kemudian, harga minyak juga tidak suportif buat rupiah. Pada pukul 10:20 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet melonjak masing-masing 2,64% dan 2,31%. 


Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak lebih menjadi sebuah bencana. Pasalnya, Indonesia adalah negara net importir minyak yang mau tidak mau harus mengimpor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri. 

Jika harga minyak naik, maka biaya importasi komoditas ini akan semakin mahal. Akhirnya beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) akan semakin dalam sehingga rupiah kekurangan modal untuk menguat. 

Sementara dari dalam negeri, ada sinyal bahwa Jokowi Effect mulai pudar. Pekan lalu, sentimen ini sangat ampuh mendorong pasar keuangan Indonesia, termasuk rupiah yang menjadi mata uang terbaik di Asia. 


Namun rasanya sentimen itu sudah mereda. Jokowi Effect sudah sulit membuat rupiah bisa tahan lama, khasiatnya mulai pudar. Minimnya sentimen domestik membuat rupiah terombang-ambing terbawa arus penguatan dolar AS yang menerjang Asia. 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular