
IHSG Ambruk, Saham Sampoerna Jadi Sasaran Profit Taking
Houtmand P Saragih, CNBC Indonesia
22 April 2019 10:16

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), perusahaan produsen rokok terbesar di Indonesia, pada perdagangan Senin pagi ini (22/4/2019) kembali diobral investor.
Tekanan jual saham berkode HMSP ini terjadi pada saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sedang dilanda aksi ambil untung (profit taking).
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), satu jam pertama perdagangan, harga saham HMSP amblas 3,86% ke level Rp 3.490/saham. Volume perdagangan tercatat mencapai 26,62 juta saham senilai Rp 93,56 miliar.
Secara fundamental tak ada informasi signifikan yang mempengaruhi kinerja industri rokok nasional.
Perlambatan pertumbuhan industri rokok sudah terjadi dalam beberapa tahun terkahir, inilah yang menyebabkan pertumbuhan kinerja emiten rokok maksimal di single digit.
Menghadapi perlambatan industri di pasar domestik tersebut, pengendali HM Sampoerna, yakni PT Philip Morris Indonesia resmi melakukan ekspor perdana atas produk rokok premium, Marlboro dan L&M ke pasar bebas pajak (duty free) Jepang.
Tak tanggung-tanggung, perusahaan afiliasi Philip Morris International ini mengekspor sebanyak 9 juta batang rokok.
Ekspor perdana itu ditandai dengan pelepasan satu kontainer ukuran 40 feet yang memuat 9 juta batang rokok yang diproduksi di fasilitas produksi Sigaret Putih Mesin (SPM) di Karawang, Jawa Barat.
Selama 2018 kinerja HM Sampoerna tumbuh positif. Laba bersih tahun lalu sebesar Rp 13,63 triliun, naik 9,21% dari laba bersih tahun sebelumnya sebesar Rp 12,48 triliun seiring dengan peningkatan pendapatan.
Berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan di BEI, Kamis (21/3/2019), penjualan perusahaan naik 7,7% menjadi Rp 106,74 triliun dari tahun sebelumnya Rp 99,09 triliun.
Kendati naik, beban pokok penjualan juga naik menjadi Rp 81,25 triliun, dari tahun sebelumnya Rp 74,88 triliun.
Secara detail, pendapatan terbesar masih dikontribusikan dari pasar lokal. Penjualan Sigaret Kretek Mesin menyumbang paling besar yakni Rp 74,29 triliun, naik dari sebelumnya Rp 66,32 triliun.
Pendapatan terbesar kedua yakni Sigaret Kretek Tangan sebesar Rp 20,61 triliun, naik dari sebelumnya Rp 19,59 triliun, dan ketiga yakni Sigaret Putih Mesin yakni Rp 10,90 triliun, turun dari sebelumnya Rp 12,10 triliun.
Pasar ekspor hanya menyumbang Rp 408 miliar, anjlok dari tahun 2017 sebesar Rp 667,59 miliar.
(hps/tas) Next Article Balada HMSP, Sempat Rp 5.500 Kini Rp 900-an, Masih Blue Chip?
Tekanan jual saham berkode HMSP ini terjadi pada saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sedang dilanda aksi ambil untung (profit taking).
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), satu jam pertama perdagangan, harga saham HMSP amblas 3,86% ke level Rp 3.490/saham. Volume perdagangan tercatat mencapai 26,62 juta saham senilai Rp 93,56 miliar.
Secara fundamental tak ada informasi signifikan yang mempengaruhi kinerja industri rokok nasional.
Perlambatan pertumbuhan industri rokok sudah terjadi dalam beberapa tahun terkahir, inilah yang menyebabkan pertumbuhan kinerja emiten rokok maksimal di single digit.
Menghadapi perlambatan industri di pasar domestik tersebut, pengendali HM Sampoerna, yakni PT Philip Morris Indonesia resmi melakukan ekspor perdana atas produk rokok premium, Marlboro dan L&M ke pasar bebas pajak (duty free) Jepang.
Tak tanggung-tanggung, perusahaan afiliasi Philip Morris International ini mengekspor sebanyak 9 juta batang rokok.
Ekspor perdana itu ditandai dengan pelepasan satu kontainer ukuran 40 feet yang memuat 9 juta batang rokok yang diproduksi di fasilitas produksi Sigaret Putih Mesin (SPM) di Karawang, Jawa Barat.
Selama 2018 kinerja HM Sampoerna tumbuh positif. Laba bersih tahun lalu sebesar Rp 13,63 triliun, naik 9,21% dari laba bersih tahun sebelumnya sebesar Rp 12,48 triliun seiring dengan peningkatan pendapatan.
Berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan di BEI, Kamis (21/3/2019), penjualan perusahaan naik 7,7% menjadi Rp 106,74 triliun dari tahun sebelumnya Rp 99,09 triliun.
Kendati naik, beban pokok penjualan juga naik menjadi Rp 81,25 triliun, dari tahun sebelumnya Rp 74,88 triliun.
Secara detail, pendapatan terbesar masih dikontribusikan dari pasar lokal. Penjualan Sigaret Kretek Mesin menyumbang paling besar yakni Rp 74,29 triliun, naik dari sebelumnya Rp 66,32 triliun.
Pendapatan terbesar kedua yakni Sigaret Kretek Tangan sebesar Rp 20,61 triliun, naik dari sebelumnya Rp 19,59 triliun, dan ketiga yakni Sigaret Putih Mesin yakni Rp 10,90 triliun, turun dari sebelumnya Rp 12,10 triliun.
Pasar ekspor hanya menyumbang Rp 408 miliar, anjlok dari tahun 2017 sebesar Rp 667,59 miliar.
(hps/tas) Next Article Balada HMSP, Sempat Rp 5.500 Kini Rp 900-an, Masih Blue Chip?
Most Popular