Sederet Alasan Harga Minyak Meroket, Nomor 4 Bikin Sedih!

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
11 April 2019 17:13
Sederet Alasan Harga Minyak Meroket, Nomor 4 Bikin Sedih!
Foto: dok.Pertamina
Jakarta, CNBC IndonesiaHarga minyak mentah dunia sudah naik cukup banyak sejak awal tahun 2019 hingga perdagangan hari Kamis (11/4/2019).



Tengok saja harga minyak jenis Brent yang sudah naik 31,25% sejak awal tahun dan berada di posisi US$ 71,30/barel. Pada saat yang bersamaan, harga minyak jenis light sweet (WTI) juga telah terangkat 41,8% sejak 1 Januari 2019 dan bertengger di level US$ 64,09/barel. 

Bahkan hanya butuh waktu sekitar 3 bulan untuk membawa harga minyak ke level tertingginya dalam lima bulan. Sejumlah faktor fundamental terbukti mampu mengangkat harga minyak hingga saat dan masih diprediksi berlanjut.

Tim Riset CNBC indonesia merangkum setidaknya ada 4 faktor utama yang menyebabkan hal tersebut.

Pertama, tentu saja kebijakan yang diambil oleh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, termasuk Rusia yang juga dikenal dengan sebutan OPEC+.

Seperti yang telah diketahui, pada awal Desember 2018 silam OPEC+ telah sepakat untuk memangkas produksi minyak secara bersama-sama sebesar 1,2 juta barel/hari mulai 1 Januari 2019.

Pelaku pasar tak perlu menunggu waktu lama untuk melihat buktinya. Pasalnya OPEC sudah curi start lebih dulu.

Berdasarkan data dari Refinitiv, produksi minyak OPEC pada bulan Desember telah berkurang hingga 751.000 barel/hari dibanding bulan sebelumnya. Padahal bila mengacu pada kesepakatan, OPEC baru akan memangkas produksi sebesar 800.000 barel di awal Januari.

Arab Saudi yang dinobatkan sebagai pemimpin OPEC memiliki andil yang terbesar dengan pengurangan produksi hampir sebesar 400.000 barel/hari kala itu.

Namun Rusia tampak ogah-ogahan dalam menepati janjinya. Pasalnya pada bulan Januari produksi minyak Negeri Beruang Merah hanya berkurang 30.000/hari barel saja. Jauh dari kuota kesepakatan yang sebesar 230.000 barel/hari.



Teranyar, produksi minyak OPEC telah berkurang 2,31 juta barel/hari pada bulan Maret 2019 dibanding produksi acuan bulan Oktober 2018 yang sebesar 32,71/barel.

Artinya OPEC sudah memangkas produksi jauh lebih dalam ketimbang kuota kesepakatan yang hanya sebesar 800.000 barel/hari.

Kok bisa? Jawabannya ada di Nomor 2.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)



Kedua, adanya sanksi yang dijatuhkan oleh AS kepada Iran dan Venezuela semakin memberi hambatan pada pasokan minyak global.

Sejak tahun lalu, Washington memang terus menekan Iran untuk membatasi program nuklir dan menghentikan dukungannya pada sejumlah kelompok militan bersenjata di timur tengah. Caranya adalah dengan melarang negara mitra AS untuk membeli minyak asal Negeri Persia.

Negeri Paman Sam bahkan sudah terang-terangan bermaksud untuk mengurangi ekspor minyak Iran untuk mengganggu ekonominya.

"Tujuan saat ini adalah untuk mengurangi ekspor minyak Iran menjadi kurang dari 1 juta barel/hari [mulai bulan Mei]," ujar sumber yang mengetahui masalah tersebut, mengutip Reuters Kamis (14/3/2019).

Terbukti sanksi tersebut ternyata cukup manjur. Melansir data Refitiniv, ekspor minyak Iran pada bulan Maret hanya mencapai 1,69 juta ton. Jauh lebih rendah dibanding pada kondisi normal (sebelum adanya sanksi AS) yang bisa mencapai 2,5 juta ton.

Hal serupa juga terjadi di Venezuela. Sanksi dilakukan dengan cara melarang seluruh penduduk AS (baik perorangan maupun perusahaan) untuk melakukan transaksi minyak dengan Venezuela.

Padahal diketahui bahwa AS merupakan tujuan utama ekspor minyak Venezuela. Habislah sudah.

Bahkan untuk kasus Venezuela sedikit lebih parah. Karena adanya konflik politik yang terjadi, aliran listrik sempat padam dan membuat pelabuhan tak dapat beroperasi. Alhasil ekspor minyak makin terhambat.

Berdasarkan data Refinitiv, ekspor minyak Venezuela bulan Maret hanya mencapai 0,99 juta barel/hari, jauh berkurang dibanding Januari yang sebesar 1,3 juta barel/hari.

Kala pasokan semakin ketat, maka keseimbangan antara pasokan dan permintaan dapat membaik. Harga yang anjlok sepanjang kuartal IV-2018 akibat banjir pasokan berangsur-angsur menanjak.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Ketiga, aura positif damai dagang AS-China mampu menghapus kekhawatiran akan berkurangnya permintaan minyak.

Sejak tahun 2018, gelombang perlambatan ekonomi global mulai membuncah. Penyebabnya utamanya tidak lain adalah perang dagang AS-China. Saling lempar bea impor membuat aliran perdagangan antara kedua negara menjadi terhambat. Sebab adanya tarif tambahan membuat importir harus membayar lebih mahal.

Antara mencari alternatif dari negara lain, atau mengurangi pembelian.

Dampaknya pun mendunia. Rantai pasokan global pun ikut melambat. Ini terjadi lantaran AS dan China merupakan kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi. Sudah tentu seluruh negara memiliki hubungan dagang dengan keduanya. Baik langsung maupun tak langsung.

Perundingan dagang yang kerap dilakukan oleh kedua negara sejauh ini terus menghasilkan nada-ada yang positif. Alhasil ekonomi global melambat. Pertumbuhan ekonomi China tahun 2018 pun menyentuh titik terendah sejak tahun 1990.

Kala ekonomi melambat, permintaan energi yang salah satunya berasal dari minyak pun terancam. Para analis memperkirakan pertumbuhan permintaan minyak akan terpangkas hingga tahun 2019.

Namun sejak akhir tahun 2018, kekhawatiran itu mulai terkikis.

Pada pertemuan negara G20 di Argentina, kemesraan Trump dengan Presiden China, Xi Jinping mulai terasa.

Trump yang telah mengancam akan meningkatkan bea impor produk China senilai US$ 200 miliar menjadi 25% (dari yang semula 10%) memutuskan untuk menunda rencana tersebut.

Setelahnya, delegasi dagang kedua negara intensif melakukan tatap muka demi mencapai kesepakatan yang dapat saling menguntungkan.

Teranyar, pada akhir pekan lalu Wakil Perdana Menteri China, Liu He bertandang ke Washington untuk memeriksa dokumen kesepakatan agar tak ada salah diksi yang dapat berpotensi memperburuk keadaan.

Pertemuan antara Trump dan Xi Jinping juga disebut-sebut akan dilangsungkan dalam waktu dekat di Florida. Tepatnya di sebuah resor pribadi milik Trump, Mar-a-Lago

Alhasil dunia makin optimis tahun ini aliran perdagangan bisa kembali lancar. Pabrik-pabrik bisa kebanjiran order. Perekonomian berpeluang terdongkrak.

Permintaan energi juga bisa tumbuh lebih sehat.


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Keempat, konflik yang terus terjadi di Libya membuat pasokan minyak dunia semakin ketat.

Pada bulan Desember 2018 silam, sekelompok pemberontak bersenjata telah menguasai wilayah El Sharara yang merupakan ladang minyak terbesar di Libya. Perusahaan minyak nasional Libya pun tak bisa beroperasi atas pendudukan tersebut. Diketahui bahwa ladang El Sharara memiliki kapasitas produksi mencapai 315.000 barel/hari pada kondisi normal

Tak tanggung-tanggung, pendudukan tersebut berlangsung hingga akhir Februari 2019. Artinya selama hampir 3 bulan penuh Libya mau tak mau memangkas produksi minyak lebih dari kesepakatan dengan OPEC.

Barulah pada tanggal 5 Maret 2019, perusahaan minyak nasional Libya mulai dapat berproduksi kembali. Itu terjadi setelah beberapa waktu sebelumnya Tentara Nasional Libya mengambil alih wilayah El Sharara dari tangan pemberontak.

Namun situasi damai tak berlangsung lama. Minggu lalu, konflik bersenjata kembali pecah. Sebuah serangan udara melancarkan serangan ke satu-satunya bandara yang beroperasi di ibukota Tripoli pada tanggal 9 April. Dalam serangan tersebut 25 orang dikabarkan tewas, sementara 80 orang lain mengalami luka-luka.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan bawha 2.800 orang telah diungsikan sementara banyak pula yang terjebak di area konflik.

Serangan ini merupakan yang pertama kali terjadi setelah kejatuhan Muammar Gaddafi pada tahun 2011.

Adanya konflik tersebut membuat pasokan minyak dari Libya akan sulit untuk keluar. Membuat peredaran minyak mentah di pasar global semakin seret.

Kombinasi antara pasokan yang tipis dan permintaan yang berpotensi tumbuh sehat sudah tentu akan membuat harga minyak meroket.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular