
Kisah Indah Rupiah Berakhir Hari Ini
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 April 2019 16:34

Dari dalam negeri, rupiah terbeban karena sudah menguat lumayan tajam. Selama pekan lalu, rupiah menguat 0,81% terhadap dolar AS.
Oleh karena itu, rupiah pun rentan mengalami koreksi teknikal. Investor yang merasa sudah mendapat cuan lumayan tentu tergoda untuk mencairkannya sehingga rupiah mengalami tekanan jual dan melemah.
Aset-aset berbasis rupiah cukup banyak dilepas oleh investor. Di pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 3,9 basis poin (bps). Kenaikan yield menandakan harga instrumen ini sedang turun karena sepinya permintaan atau bahkan aksi jual.
Sementara di sisi eksternal, pelaku pasar juga cenderung memilih menaruh dana di dolar AS karena rilis data ketenagakerjaan Negeri Paman Sam yang lumayan oke. Pada Maret, perekonomian AS menciptakan 196.000 lapangan kerja. Lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 180.000 dan juga dibandingkan posisi Februari yaitu 33.000 (direvisi dari sebelumnya 20.000).
The Federal Reserve/The Fed dalam dot plot terbarunya memang memperkirakan tidak ada kenaikan suku bunga sampai akhir tahun. Namun perlu dicatat bahwa Jerome 'Jay' Powell dan kolega juga menyatakan tetap menunggu data-data ekonomi terbaru sambil menentukan langkah selanjutnya.
Dengan data ketenagakerjaan (apalagi angka penciptaan lapangan kerja) yang terus positif, berarti ekonomi AS masih dalam fase ekspansi. Jika The Fed merasa ekspansi itu terlalu cepat sehingga berpotensi menyebabkan overheating, maka bukan tidak mungkin Federal Funds Rate akan kembali dinaikkan.
Potensi kenaikan suku bunga acuan (meski kemungkinan besar tidak terjadi dalam waktu dekat) akan menjadi dorongan bagi laju dolar AS. Sebab kenaikan suku bunga acuan akan membuat berinvestasi di dolar AS jadi semakin menarik, terutama untuk instrumen berpendapatan tetap.
Masih dari faktor eksternal, rupiah juga terbeban karena kenaikan harga minyak dunia. Pada pukul 16:20 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 0,43% dan 0,41%. Harga si emas hitam menyentuh titik tertinggi sejak November 2018.
Indonesia adalah negara net importir minyak, yang mau tidak mau harus mengimpor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri. Saat harga minyak naik, maka biaya impornya akan iktu membengkak sehingga membebani transaksi berjalan (current account).
Padahal current account adalah fondasi penting yang menyokong nilai tukar. Sebab transaksi berjalan mencerminkan aliran devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, yang lebih berjangka panjang ketimbang pasokan valas dari portofolio di sektor keuangan alias hot money.
Oleh karena itu, rupiah akan rentan terdepresiasi saat defisit transaksi berjalan melebar. Jadi kenaikan harga minyak tentu akan menjadi sentimen negatif bagi mata uang Tanah Air.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Oleh karena itu, rupiah pun rentan mengalami koreksi teknikal. Investor yang merasa sudah mendapat cuan lumayan tentu tergoda untuk mencairkannya sehingga rupiah mengalami tekanan jual dan melemah.
Aset-aset berbasis rupiah cukup banyak dilepas oleh investor. Di pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 3,9 basis poin (bps). Kenaikan yield menandakan harga instrumen ini sedang turun karena sepinya permintaan atau bahkan aksi jual.
Sementara di sisi eksternal, pelaku pasar juga cenderung memilih menaruh dana di dolar AS karena rilis data ketenagakerjaan Negeri Paman Sam yang lumayan oke. Pada Maret, perekonomian AS menciptakan 196.000 lapangan kerja. Lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 180.000 dan juga dibandingkan posisi Februari yaitu 33.000 (direvisi dari sebelumnya 20.000).
The Federal Reserve/The Fed dalam dot plot terbarunya memang memperkirakan tidak ada kenaikan suku bunga sampai akhir tahun. Namun perlu dicatat bahwa Jerome 'Jay' Powell dan kolega juga menyatakan tetap menunggu data-data ekonomi terbaru sambil menentukan langkah selanjutnya.
Dengan data ketenagakerjaan (apalagi angka penciptaan lapangan kerja) yang terus positif, berarti ekonomi AS masih dalam fase ekspansi. Jika The Fed merasa ekspansi itu terlalu cepat sehingga berpotensi menyebabkan overheating, maka bukan tidak mungkin Federal Funds Rate akan kembali dinaikkan.
Potensi kenaikan suku bunga acuan (meski kemungkinan besar tidak terjadi dalam waktu dekat) akan menjadi dorongan bagi laju dolar AS. Sebab kenaikan suku bunga acuan akan membuat berinvestasi di dolar AS jadi semakin menarik, terutama untuk instrumen berpendapatan tetap.
Masih dari faktor eksternal, rupiah juga terbeban karena kenaikan harga minyak dunia. Pada pukul 16:20 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 0,43% dan 0,41%. Harga si emas hitam menyentuh titik tertinggi sejak November 2018.
Indonesia adalah negara net importir minyak, yang mau tidak mau harus mengimpor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri. Saat harga minyak naik, maka biaya impornya akan iktu membengkak sehingga membebani transaksi berjalan (current account).
Padahal current account adalah fondasi penting yang menyokong nilai tukar. Sebab transaksi berjalan mencerminkan aliran devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, yang lebih berjangka panjang ketimbang pasokan valas dari portofolio di sektor keuangan alias hot money.
Oleh karena itu, rupiah akan rentan terdepresiasi saat defisit transaksi berjalan melebar. Jadi kenaikan harga minyak tentu akan menjadi sentimen negatif bagi mata uang Tanah Air.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular