
Rupiah Masih Perkasa di Kurs Tengah BI, Tapi Tidak di Spot
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 April 2019 10:28

Dolar AS mendapat kekuatan karena berbagai sisi. Pertama adalah perkembangan pasar tenaga kerja AS.
Pada Maret, perekonomian AS menciptakan 196.000 lapangan kerja. Lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 180.000 dan juga dibandingkan posisi Februari yaitu 33.000 (direvisi dari sebelumnya 20.000).
Sedangkan angka pengangguran tercatat 3,8% pada Maret, tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya. Masih menjadi yang terendah sejak November 2018.
The Federal Reserve/The Fed dalam dot plot terbarunya memang memperkirakan tidak ada kenaikan suku bunga sampai akhir tahun. Namun perlu dicatat bahwa Jerome 'Jay' Powell dan kolega juga menyatakan tetap menunggu data-data ekonomi terbaru sambil menentukan langkah selanjutnya.
"Untuk menentukan waktu dan besaran penyesuaian suku bunga acuan selanjutnya, Komite akan mengkaji realisasi dan perkiraan kondisi ekonomi alam rangka mencapai target pembukaan lapangan kerja yang maksimum dan target inflasi 2%," sebut pernyataan tertulis usai rapat komite pengambil kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) bulan lalu.
Dengan data ketenagakerjaan (apalagi angka penciptaan lapangan kerja) yang terus positif, berarti ekonomi AS masih dalam fase ekspansi. Jika The Fed merasa ekspansi itu terlalu cepat sehingga berpotensi menyebabkan overheating, maka bukan tidak mungkin Federal Funds Rate akan kembali dinaikkan.
Potensi kenaikan suku bunga acuan (meski kemungkinan besar tidak terjadi dalam waktu dekat) akan menjadi dorongan bagi laju dolar AS. Sebab kenaikan suku bunga acuan akan membuat berinvestasi di dolar AS jadi semakin menarik, terutama untuk instrumen berpendapatan tetap.
Kedua, investor memilih dolar AS karena dinamika Brexit yang masih kusut. Padahal tenggat waktu keluarnya Inggris dari Uni Eropa semakin dekat yaitu 12 April.
Perdana Menteri Inggris Theresa May meminta waktu kepada Uni Eropa agar pelaksanaan Brexit diundur lagi menjadi 30 Juni. Namun agar bisa memperoleh restu dari Brussel untuk perpanjang waktu lagi, May harus mengamankan dukungan parlemen Inggris agar mau meloloskan proposal Brexit. Ini yang masih susah.
"Partai Buruh akan tetap memasukkan opsi No-Deal Brexit (Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kompensasi apa-apa). Termasuk mencabut Artikel 50 (dasar hukum Brexit)," tegas Rebecca Long-Bailey, Menteri Bayangan (kabinet oposisi) untuk Bisnis dan Strategi Industri, dikutip dari BBC.
Artinya, kemungkinan Partai Buruh untuk menerima proposal pemerintah cukup kecil. Bahkan kubu oposisi lebih memilih No-Deal Brexit atau sekalian tidak jadi keluar dari Uni Eropa ketimbang menyetujui proposal dari PM May.
Benang kusut Brexit yang masih belum terurai bisa membuat pasar tidak tenang. Masih ada yang mengganjal, sehingga berpotensi menghambat risk appetite investor.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pada Maret, perekonomian AS menciptakan 196.000 lapangan kerja. Lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 180.000 dan juga dibandingkan posisi Februari yaitu 33.000 (direvisi dari sebelumnya 20.000).
Sedangkan angka pengangguran tercatat 3,8% pada Maret, tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya. Masih menjadi yang terendah sejak November 2018.
The Federal Reserve/The Fed dalam dot plot terbarunya memang memperkirakan tidak ada kenaikan suku bunga sampai akhir tahun. Namun perlu dicatat bahwa Jerome 'Jay' Powell dan kolega juga menyatakan tetap menunggu data-data ekonomi terbaru sambil menentukan langkah selanjutnya.
"Untuk menentukan waktu dan besaran penyesuaian suku bunga acuan selanjutnya, Komite akan mengkaji realisasi dan perkiraan kondisi ekonomi alam rangka mencapai target pembukaan lapangan kerja yang maksimum dan target inflasi 2%," sebut pernyataan tertulis usai rapat komite pengambil kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) bulan lalu.
Dengan data ketenagakerjaan (apalagi angka penciptaan lapangan kerja) yang terus positif, berarti ekonomi AS masih dalam fase ekspansi. Jika The Fed merasa ekspansi itu terlalu cepat sehingga berpotensi menyebabkan overheating, maka bukan tidak mungkin Federal Funds Rate akan kembali dinaikkan.
Potensi kenaikan suku bunga acuan (meski kemungkinan besar tidak terjadi dalam waktu dekat) akan menjadi dorongan bagi laju dolar AS. Sebab kenaikan suku bunga acuan akan membuat berinvestasi di dolar AS jadi semakin menarik, terutama untuk instrumen berpendapatan tetap.
Kedua, investor memilih dolar AS karena dinamika Brexit yang masih kusut. Padahal tenggat waktu keluarnya Inggris dari Uni Eropa semakin dekat yaitu 12 April.
Perdana Menteri Inggris Theresa May meminta waktu kepada Uni Eropa agar pelaksanaan Brexit diundur lagi menjadi 30 Juni. Namun agar bisa memperoleh restu dari Brussel untuk perpanjang waktu lagi, May harus mengamankan dukungan parlemen Inggris agar mau meloloskan proposal Brexit. Ini yang masih susah.
"Partai Buruh akan tetap memasukkan opsi No-Deal Brexit (Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kompensasi apa-apa). Termasuk mencabut Artikel 50 (dasar hukum Brexit)," tegas Rebecca Long-Bailey, Menteri Bayangan (kabinet oposisi) untuk Bisnis dan Strategi Industri, dikutip dari BBC.
Artinya, kemungkinan Partai Buruh untuk menerima proposal pemerintah cukup kecil. Bahkan kubu oposisi lebih memilih No-Deal Brexit atau sekalian tidak jadi keluar dari Uni Eropa ketimbang menyetujui proposal dari PM May.
Benang kusut Brexit yang masih belum terurai bisa membuat pasar tidak tenang. Masih ada yang mengganjal, sehingga berpotensi menghambat risk appetite investor.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular