Makin Lesu, Rupiah Kini Terlemah Ketiga di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 April 2019 09:26
Ini Penyebab Kelesuan Rupiah
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Perkembangan harga minyak ikut menjadi faktor yang menekan rupiah. Pada pukul 09:11 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 0,54% dan 0,59%. 


Indonesia adalah negara net importir minyak, yang mau tidak mau harus mengimpor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri. Saat harga minyak naik, maka biaya impornya akan ikut membengkak sehingga membebani transaksi berjalan (current account). 

Padahal current account adalah fondasi penting yang menyokong nilai tukar. Sebab transaksi berjalan mencerminkan aliran devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, yang lebih berjangka panjang ketimbang pasokan valas dari portofolio di sektor keuangan alias hot money

Oleh karena itu, rupiah akan rentan terdepresiasi saat defisit transaksi berjalan melebar. Kenaikan harga minyak tentu akan menjadi sentimen negatif bagi mata uang Tanah Air. 


Selain itu, dolar AS juga secara umum memang sedang perkasa. Dolar AS mendapat kekuatan dari data ketenagakerjaan Negeri Paman Sam yang dirilis akhir pekan lalu.  

Pada Maret, perekonomian AS menciptakan 196.000 lapangan kerja. Lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 180.000 dan juga dibandingkan posisi Februari yaitu 33.000 (direvisi dari sebelumnya 20.000). 

Sedangkan angka pengangguran tercatat 3,8% pada Maret, tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya. Masih menjadi yang terendah sejak November 2018. 


The Federal Reserve/The Fed dalam dot plot terbarunya memang memperkirakan tidak ada kenaikan suku bunga sampai akhir tahun. Namun perlu dicatat bahwa Jerome 'Jay' Powell dan kolega juga menyatakan tetap menunggu data-data ekonomi terbaru sambil menentukan langkah selanjutnya. 

"Untuk menentukan waktu dan besaran penyesuaian suku bunga acuan selanjutnya, Komite akan mengkaji realisasi dan perkiraan kondisi ekonomi alam rangka mencapai target pembukaan lapangan kerja yang maksimum dan target inflasi 2%," sebut pernyataan tertulis usai rapat komite pengambil kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) bulan lalu. 

Dengan data ketenagakerjaan (apalagi angka penciptaan lapangan kerja) yang terus positif, berarti ekonomi AS masih dalam fase ekspansi. Jika The Fed merasa ekspansi itu terlalu cepat sehingga berpotensi menyebabkan overheating, maka bukan tidak mungkin Federal Funds Rate akan kembali dinaikkan. 

Potensi kenaikan suku bunga acuan (meski kemungkinan besar tidak terjadi dalam waktu dekat) akan menjadi dorongan bagi laju dolar AS. Sebab kenaikan suku bunga acuan akan membuat berinvestasi di dolar AS jadi semakin menarik, terutama untuk instrumen berpendapatan tetap.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular