
Sentimen Positif Bejibun, Rupiah Aman di Zona Hijau
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 April 2019 12:37

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hari ini bergerak menguat di perdagangan pasar spot. Rupiah terbantu oleh sentimen eksternal yang kondusif.
Pada Senin (1/4/2019) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.225. Rupiah menguat 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Kala pembukaan pasar, rupiah menguat 0,11% dan bahkan sempat menebal ke 0,14%. Namun kemudian penguatan rupiah cenderung menipis meski tidak sampai masuk ke zona merah.
Rupiah terlihat kurang dinamis hari ini. Bahkan rilis data inflasi tidak mampu merangsang gerak mata uang Tanah Air. Anteng saja.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah hingga tengah hari ini:
Yah, setidaknya rupiah masih bisa bertahan di zona hijau seperti mayoritas mata uang utama Asia. Namun dibandingkan dengan para tetangganya, penguatan rupiah terlihat biasa saja cenderung minimalis.
Won Korea Selatan menjadi mata uang terbaik di Benua Kuning. Disusul oleh peso Filipina di posisi runner-up dan dolar Singapura di posisi ketiga.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:12 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Faktor eksternal sedang kondusif bagi rupiah dkk di Asia. Ada banyak sentimen yang mampu menopang penguatan mata uang Asia.
Pertama adalah dolar AS yang memang sedang dalam fase kondolidasi. Pada pukul 12:13 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) melemah 0,12%.
Dolar AS sepertinya sedang rehat sejenak karena akhir-akhir ini sudah menguat lumayan tajam. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index naik 0,61% dan selama sebulan ke belakang penguatannya adalah 0,65%.
Kedua, mata uang Negeri Adidaya juga tertekan akibat komentar bakal calon pejabat teras The Federal Reserve/The Fed, Stephen Moore. Salah satu penasihat keuangan Gedung Putih ini digadang-gadang akan diajukan oleh Presiden Donald Trump untuk mengisi salah satu posisi di Dewan Gubernur The Fed.
Dalam wawancara dengan New York Times, Moore menegaskan bahwa The Fed bisa memangkas suku bunga acuan 50 basis poin (bps) dalam waktu dekat. Pasalnya, Moore menilai kenaikan Federal Funds Rate pada September dan Desember tahun lalu sebagai sebuah kesalahan.
"Saya sangat marah, dan Bapak Presiden juga marah (dengan kenaikan suku bunga acuan). Kenaikan suku bunga acuan, apalagi pada Desember, tidak bisa dijelaskan. Harga komoditas sudah jatuh," tegas Moore.
Jika Moore benar-benar masuk menjadi anggota Dewan Gubernur The Fed, maka kebijakan bank sentral AS ke depan diperkirakan semakin akomodatif. Penurunan Federal Funds Rate bisa saja menjadi kenyataan.
Baca: Perhatian! Suku Bunga The Fed Bisa Saja Turun
Penurunan suku bunga acuan akan semakin membuat berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS kurang menarik. Akibatnya, langkah mata uang Negeri Paman Sam semakin berat karena tekanan jual.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Ketiga, hawa damai dagang AS-China semakin terasa. Beijing memutuskan untuk menunda kenaikan bea masuk produk otomotif dan suku cadang made in the USA. Sedianya tarif bea masuk untuk produk ini akan naik dari 10% ke 25% mulai 2 April, tetapi kemudian ditunda.
Langkah ini ditempuh karena hubungan Beijing-Washington yang semakin kondusif. Pekan ini, Wakil Perdana Menteri China Liu He akan melanjutkan dialog dagang dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer di Washington.
Harapan damai dagang AS-China yang bisa terwujud dalam waktu dekat membuat pelaku pasar bergairah. Aset-aset di negara berkembang kembali menjadi incaran sehingga membuat mata uang Asia menguat, termasuk rupiah.
Keempat, data-data di Asia juga menunjukkan hasil yang positif. Di China, angka Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur versi Caixin pada Maret tercatat 50,8. Ini menjadi pencapaian terbaik dalam 8 bulan terakhir.
Sementara di Indonesia, angka PMI versi Nikkei/Markit untuk Maret berada di 51,2 atau naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,1. Angka ini menjadi yang terbaik sejak Desember 2018.
Data-data ini menunjukkan bahwa geliat dunia usaha masih ada, masih ada ekspansi. Ujungnya tentu akan mendongrak potensi pertumbuhan ekonomi, dan ini mendapat apresiasi dari pasar.
Sentimen positif yang bejibun itu membuat posisi rupiah di zona hijau relatif aman. Jika penguatan ini bertahan hingga penutupan pasar, maka rupiah akan menguat selama 2 hari beruntun setelah akhir pekan lalu terapresiasi tipis 0,01% di hadapan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Senin (1/4/2019) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.225. Rupiah menguat 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Kala pembukaan pasar, rupiah menguat 0,11% dan bahkan sempat menebal ke 0,14%. Namun kemudian penguatan rupiah cenderung menipis meski tidak sampai masuk ke zona merah.
Rupiah terlihat kurang dinamis hari ini. Bahkan rilis data inflasi tidak mampu merangsang gerak mata uang Tanah Air. Anteng saja.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah hingga tengah hari ini:
Yah, setidaknya rupiah masih bisa bertahan di zona hijau seperti mayoritas mata uang utama Asia. Namun dibandingkan dengan para tetangganya, penguatan rupiah terlihat biasa saja cenderung minimalis.
Won Korea Selatan menjadi mata uang terbaik di Benua Kuning. Disusul oleh peso Filipina di posisi runner-up dan dolar Singapura di posisi ketiga.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:12 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Faktor eksternal sedang kondusif bagi rupiah dkk di Asia. Ada banyak sentimen yang mampu menopang penguatan mata uang Asia.
Pertama adalah dolar AS yang memang sedang dalam fase kondolidasi. Pada pukul 12:13 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) melemah 0,12%.
Dolar AS sepertinya sedang rehat sejenak karena akhir-akhir ini sudah menguat lumayan tajam. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index naik 0,61% dan selama sebulan ke belakang penguatannya adalah 0,65%.
Kedua, mata uang Negeri Adidaya juga tertekan akibat komentar bakal calon pejabat teras The Federal Reserve/The Fed, Stephen Moore. Salah satu penasihat keuangan Gedung Putih ini digadang-gadang akan diajukan oleh Presiden Donald Trump untuk mengisi salah satu posisi di Dewan Gubernur The Fed.
Dalam wawancara dengan New York Times, Moore menegaskan bahwa The Fed bisa memangkas suku bunga acuan 50 basis poin (bps) dalam waktu dekat. Pasalnya, Moore menilai kenaikan Federal Funds Rate pada September dan Desember tahun lalu sebagai sebuah kesalahan.
"Saya sangat marah, dan Bapak Presiden juga marah (dengan kenaikan suku bunga acuan). Kenaikan suku bunga acuan, apalagi pada Desember, tidak bisa dijelaskan. Harga komoditas sudah jatuh," tegas Moore.
Jika Moore benar-benar masuk menjadi anggota Dewan Gubernur The Fed, maka kebijakan bank sentral AS ke depan diperkirakan semakin akomodatif. Penurunan Federal Funds Rate bisa saja menjadi kenyataan.
Baca: Perhatian! Suku Bunga The Fed Bisa Saja Turun
Penurunan suku bunga acuan akan semakin membuat berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS kurang menarik. Akibatnya, langkah mata uang Negeri Paman Sam semakin berat karena tekanan jual.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Ketiga, hawa damai dagang AS-China semakin terasa. Beijing memutuskan untuk menunda kenaikan bea masuk produk otomotif dan suku cadang made in the USA. Sedianya tarif bea masuk untuk produk ini akan naik dari 10% ke 25% mulai 2 April, tetapi kemudian ditunda.
Langkah ini ditempuh karena hubungan Beijing-Washington yang semakin kondusif. Pekan ini, Wakil Perdana Menteri China Liu He akan melanjutkan dialog dagang dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer di Washington.
Harapan damai dagang AS-China yang bisa terwujud dalam waktu dekat membuat pelaku pasar bergairah. Aset-aset di negara berkembang kembali menjadi incaran sehingga membuat mata uang Asia menguat, termasuk rupiah.
Keempat, data-data di Asia juga menunjukkan hasil yang positif. Di China, angka Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur versi Caixin pada Maret tercatat 50,8. Ini menjadi pencapaian terbaik dalam 8 bulan terakhir.
Sementara di Indonesia, angka PMI versi Nikkei/Markit untuk Maret berada di 51,2 atau naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,1. Angka ini menjadi yang terbaik sejak Desember 2018.
Data-data ini menunjukkan bahwa geliat dunia usaha masih ada, masih ada ekspansi. Ujungnya tentu akan mendongrak potensi pertumbuhan ekonomi, dan ini mendapat apresiasi dari pasar.
Sentimen positif yang bejibun itu membuat posisi rupiah di zona hijau relatif aman. Jika penguatan ini bertahan hingga penutupan pasar, maka rupiah akan menguat selama 2 hari beruntun setelah akhir pekan lalu terapresiasi tipis 0,01% di hadapan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular