
Negara Sebesar AS Terancam Resesi? Tak Semudah Itu, Ferguso!
Herdaru Purnomo & Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 March 2019 10:14

Jakarta, CNBC Indonesia - Beberapa hari ini, ancaman resesi di Amerika Serikat (AS) menjadi perbincangan hangat di kalangan pelaku pasar. Kekhawatiran resesi di Negeri Paman Sam sempat membuat investor panik dan menyebabkan aksi jual massal (sell-off) di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Kecemasan ini berawal dari perkembangan di pasar obligasi pemerintah AS. Terjadi inversi imbal hasil (yield), di mana untuk tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Tentu sesuatu yang tidak normal.
Sebenarnya inversi masih terjadi sampai saat ini untuk tenor 3 bulan dan 10 tahun, yang kerap digunakan untuk memprediksi resesi. Pada Rabu (27/3/2019) pukul 09:04 WIB, yield obligasi tenor 3 bulan ada di 2,4586% sementara 10 tahun adalah 2,4141%.
Angka-angka tersebut berarti investor meminta jaminan yang lebih tinggi untuk obligasi jangka pendek, ada pandangan bahwa risiko dalam waktu dekat akan lebih besar dibandingkan ke depan. Oleh karena itu, inversi di yield tenor 3 tahun dan 10 tahun sering digunakan sebagai alat untuk memprediksi resesi yang kemungkinan bisa terjadi setidaknya dalam 18 bulan ke depan.
Namun benarkah AS rentan kembali ke jurang resesi seperti pada 2009? Tidak semudah itu, Ferguso!
Resesi adalah kontraksi alias ekonomi yang tumbuh negatif dalam dua kuartal beruntun pada tahun yang sama. Kali terakhir AS mengalami resesi adalah pada 2009, kala itu kontraksi terjadi pada kuartal I-III.
Untuk melihat kemungkinan resesi, ada baiknya meninjau sedikit mengenai komponen pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) di Negeri Adidaya. Dari sisi pengeluaran, komponen terbesar pembentuk PDB adalah konsumsi rumah tangga dengan porsi mendekati 70%.
Saat ini, boleh dibilang konsumsi rumah tangga di AS masih bisa tumbuh karena belum mencapai potensi optimalnya. The Federal Reserve/The Fed mengukur kekuatan konsumsi dari inflasi yang dilihat dari laju Personal Consumption Expenditure inti atau core PCE. Jerome 'Jay' Powell dan kolega menargetkan core PCE di kisaran 2% dalam jangka menengah.
Namun sejauh ini baru beberapa kali core PCE mencapai target tersebut. Artinya konsumsi masih bisa didorong untuk stabil di kisaran 2%. Saat konsumsi masih bisa lebih meningkat lagi, dan itu direstui oleh The Fed, maka pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan terangkat.
Kondisi pasar tenaga kerja AS juga masih mendukung bagi rumah tangga untuk meningkatkan konsumsinya. Sejak Juli 2018, angka pengangguran di AS stabil di bawah 4% dan masih bisa turun.
Pada Februari, angka pengangguran AS tercatat 3,8%. The Fed memperkirakan angka pengangguran pada akhir 2019 berada di 3,7%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sementara di sisi ekspor, yang menyumbang sekitar 12% terhadap PDB, juga ada harapan untuk membaik. Setelah tahun lalu terlibat perang dagang yang sengit dengan China, AS kini tengah memasuki proses untuk berdamai.
Pada Kamis-Jumat pekan ini waktu setempat, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer akan menggelar pertemuan dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He di Beijing.
Pertemuan ini kembali menggelorakan api damai dagang AS-China yang sempat meredup. Ada harapan Washington dan Beijing bisa meneken kesepakatan damai dagang dalam waktu dekat, setidaknya pada tengah tahun.
Untuk memperbaiki hubungan dengan AS, China berkomitmen untuk melakukan reformasi ekonomi. Perdana Menteri Li Keqiang menegaskan Beijing akan lebih transparan dalam penyusunan kebijakan, melindungi hak atas kekayaan intelektual, dan tidak akan memaksakan transfer teknologi.
"China mendorong pengembangan teknologi dan industri untuk menciptakan ruang inovasi dan pembangunan," tegas Li, mengutip Reuters.
Komitmen China ini diharapkan mendapat tanggapan positif dari AS. Washington memang sudah cukup lama mengeluhkan soal pelanggaran atas hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi. Saat China serius untuk menghapuskan praktik tersebut, semoga poros Washington-Beijing akan semakin mesra dan damai dagang segera terwujud.
Perdamaian dengan China akan sangat membantu kinerja ekspor AS. Total ekspor AS dengan China sepanjang 2018 adalah US$ 120,3 miliar atau 7,2% dari total ekspor. China menjadi negara tujuan ekspor ketiga terbesar setelah Kanada dan Meksiko.
Dengan dua mesin utama yang masih bisa melaju, maka prospek pertumbuhan ekonomi AS sebenarnya masih cerah. Memang mungkin ada perlambatan, tetapi untuk menuju kontraksi sepertinya masih jauh panggang dari api.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Meski begitu, bukan berarti risiko resesi di AS bisa dinafikan begitu saja. Perkembangan yield obligasi adalah fenomena di pasar keuangan, yang nantinya bisa merambat ke sektor riil dan mempengaruhi PDB.
Pada 2008-2009, krisis juga bermula dari sektor keuangan yaitu penggelembungan nilai aset di instrumen sekuritisasi kredit perumahan (subprime mortgage). Dampaknya begitu sistemik sehingga dirasakan oleh sektor riil dan menyebabkan AS merasakan krisis terparah sejak Depresi Besar pada 1930-an.
Kuncinya adalah di perbankan. Kalau sampai perbankan bermasalah, sulit menyalurkan 'darah' ke seluruh sendi perekonomian, selesai sudah. Konsumsi lesu, investasi loyo, ekspor apalagi.
Perbankan masih menjadi alternatif utama sumber pembiayaan ekonomi di AS. The Fed mencatat penyaluran kredit perbankan di AS mencapai kisaran 150% dari PDB. Jadi kalau sektor perbankan mandek, ekonomi bakal ikut seret.
Kesimpulannya, ancaman resesi di AS mungkin masih jauh kalau kita melihat perkembangan data-data di sektor riil. Namun karena di dunia yang sekarang perkembangan sektor riil cenderung mengikuti dinamika sektor keuangan, maka kehati-hatian perlu tetap dijaga.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji) Next Article Inflasi Amerika Susah Turun, Resesi Bakal Panjang dan Parah?
Kecemasan ini berawal dari perkembangan di pasar obligasi pemerintah AS. Terjadi inversi imbal hasil (yield), di mana untuk tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Tentu sesuatu yang tidak normal.
Sebenarnya inversi masih terjadi sampai saat ini untuk tenor 3 bulan dan 10 tahun, yang kerap digunakan untuk memprediksi resesi. Pada Rabu (27/3/2019) pukul 09:04 WIB, yield obligasi tenor 3 bulan ada di 2,4586% sementara 10 tahun adalah 2,4141%.
Namun benarkah AS rentan kembali ke jurang resesi seperti pada 2009? Tidak semudah itu, Ferguso!
Resesi adalah kontraksi alias ekonomi yang tumbuh negatif dalam dua kuartal beruntun pada tahun yang sama. Kali terakhir AS mengalami resesi adalah pada 2009, kala itu kontraksi terjadi pada kuartal I-III.
Untuk melihat kemungkinan resesi, ada baiknya meninjau sedikit mengenai komponen pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) di Negeri Adidaya. Dari sisi pengeluaran, komponen terbesar pembentuk PDB adalah konsumsi rumah tangga dengan porsi mendekati 70%.
Saat ini, boleh dibilang konsumsi rumah tangga di AS masih bisa tumbuh karena belum mencapai potensi optimalnya. The Federal Reserve/The Fed mengukur kekuatan konsumsi dari inflasi yang dilihat dari laju Personal Consumption Expenditure inti atau core PCE. Jerome 'Jay' Powell dan kolega menargetkan core PCE di kisaran 2% dalam jangka menengah.
Namun sejauh ini baru beberapa kali core PCE mencapai target tersebut. Artinya konsumsi masih bisa didorong untuk stabil di kisaran 2%. Saat konsumsi masih bisa lebih meningkat lagi, dan itu direstui oleh The Fed, maka pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan terangkat.
Kondisi pasar tenaga kerja AS juga masih mendukung bagi rumah tangga untuk meningkatkan konsumsinya. Sejak Juli 2018, angka pengangguran di AS stabil di bawah 4% dan masih bisa turun.
Pada Februari, angka pengangguran AS tercatat 3,8%. The Fed memperkirakan angka pengangguran pada akhir 2019 berada di 3,7%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sementara di sisi ekspor, yang menyumbang sekitar 12% terhadap PDB, juga ada harapan untuk membaik. Setelah tahun lalu terlibat perang dagang yang sengit dengan China, AS kini tengah memasuki proses untuk berdamai.
Pada Kamis-Jumat pekan ini waktu setempat, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer akan menggelar pertemuan dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He di Beijing.
Pertemuan ini kembali menggelorakan api damai dagang AS-China yang sempat meredup. Ada harapan Washington dan Beijing bisa meneken kesepakatan damai dagang dalam waktu dekat, setidaknya pada tengah tahun.
Untuk memperbaiki hubungan dengan AS, China berkomitmen untuk melakukan reformasi ekonomi. Perdana Menteri Li Keqiang menegaskan Beijing akan lebih transparan dalam penyusunan kebijakan, melindungi hak atas kekayaan intelektual, dan tidak akan memaksakan transfer teknologi.
"China mendorong pengembangan teknologi dan industri untuk menciptakan ruang inovasi dan pembangunan," tegas Li, mengutip Reuters.
Komitmen China ini diharapkan mendapat tanggapan positif dari AS. Washington memang sudah cukup lama mengeluhkan soal pelanggaran atas hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi. Saat China serius untuk menghapuskan praktik tersebut, semoga poros Washington-Beijing akan semakin mesra dan damai dagang segera terwujud.
Perdamaian dengan China akan sangat membantu kinerja ekspor AS. Total ekspor AS dengan China sepanjang 2018 adalah US$ 120,3 miliar atau 7,2% dari total ekspor. China menjadi negara tujuan ekspor ketiga terbesar setelah Kanada dan Meksiko.
Dengan dua mesin utama yang masih bisa melaju, maka prospek pertumbuhan ekonomi AS sebenarnya masih cerah. Memang mungkin ada perlambatan, tetapi untuk menuju kontraksi sepertinya masih jauh panggang dari api.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Meski begitu, bukan berarti risiko resesi di AS bisa dinafikan begitu saja. Perkembangan yield obligasi adalah fenomena di pasar keuangan, yang nantinya bisa merambat ke sektor riil dan mempengaruhi PDB.
Pada 2008-2009, krisis juga bermula dari sektor keuangan yaitu penggelembungan nilai aset di instrumen sekuritisasi kredit perumahan (subprime mortgage). Dampaknya begitu sistemik sehingga dirasakan oleh sektor riil dan menyebabkan AS merasakan krisis terparah sejak Depresi Besar pada 1930-an.
Kuncinya adalah di perbankan. Kalau sampai perbankan bermasalah, sulit menyalurkan 'darah' ke seluruh sendi perekonomian, selesai sudah. Konsumsi lesu, investasi loyo, ekspor apalagi.
Perbankan masih menjadi alternatif utama sumber pembiayaan ekonomi di AS. The Fed mencatat penyaluran kredit perbankan di AS mencapai kisaran 150% dari PDB. Jadi kalau sektor perbankan mandek, ekonomi bakal ikut seret.
Kesimpulannya, ancaman resesi di AS mungkin masih jauh kalau kita melihat perkembangan data-data di sektor riil. Namun karena di dunia yang sekarang perkembangan sektor riil cenderung mengikuti dinamika sektor keuangan, maka kehati-hatian perlu tetap dijaga.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji) Next Article Inflasi Amerika Susah Turun, Resesi Bakal Panjang dan Parah?
Most Popular