'Hantu' Resesi AS Belum Hilang, IHSG Tetap Bisa Naik

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
26 March 2019 16:56
'Hantu' Resesi AS Belum Hilang, IHSG Tetap Bisa Naik
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri perdagangan hari ini dengan penguatan sebesar 0,92% ke level 6.470. Posisi pada saat penutupan lebih baik dibandingkan posisi pembukaan di level 6.440,92 (+0,46% dibandingkan penutupan perdagangan kemarin, 25/3/2019).

Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 2,15%, indeks Hang Seng naik 0,15%, indeks Straits Times naik 0,46%, dan indeks Kospi naik 0,18%.

Koreksi yang sudah begitu dalam dialami bursa saham regional pada perdagangan kemarin membuka ruang bagi pelaku pasar untuk melakukan aksi beli. Kemarin, indeks Nikkei ditutup anjlok 3,01%, indeks Hang Seng turun 2,03%, indeks Straits Times terkoreksi 0,91%, dan indeks Kospi terpangkas 1,92%. Sementara itu, IHSG anjlok hingga 1,75%.

Sejatinya, potensi datangnya resesi di AS yang kemarin membuat bursa saham Benua Kuning anjlok masih melekat di benak investor. Bahkan, kondisinya bisa dibilang semakin parah.

Pada hari Jumat kemarin (22/3/2019), terjadi inversi pada obligasi AS tenor 3 bulan dan 10 tahun.

Inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.

Melansir data dari Refinitiv, pada penutupan perdagangan tanggal 22 Maret 2019, yield obligasi AS tenor 3 bulan berada di level 2,462%, sementara untuk tenor 10 tahun berada di level 2,455%.

Inversi pada tenor 3 bulan dan 10 tahun merupakan konfirmasi dari potensi datangnya resesi di AS. Pasalnya dalam 3 resesi terkahir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada tenor 3 bulan dan 10 tahun yang sebelumnya didahului inversi pada tenor 3 dan 5 tahun. Berbicara mengenai inversi pada tenor 3 dan 5 tahun, hal ini sudah terjadi pada 3 Desember 2018 silam.

Pada penutupan perdagangan kemarin, inversi yang terjadi semakin parah. Jika pada hari Jumat yield obligasi AS tenor 3 bulan lebih tinggi sebesar 0,7 bps dari yield obligasi AS tenor 10 tahun, pada penutupan perdagangan kemarin nilainya sudah mencapai 3,6 bps. Pada perdagangan hari ini, nilainya memang sedikit menipis namun masih terbilang besar, yakni 2,3 bps.

Inversi yang semakin parah tersebut (yield tenor 3 bulan semakin meninggalkan yield tenor 10 tahun) mengindikasikan bahwa pelaku pasar kian yakin AS akan masuk ke dalam jurang resesi.

Di samping koreksi yang sudah dalam, data ekonomi yang kinclong ikut memantik aksi beli di bursa saham regional. Pada hari ini, produksi industri Singapura periode Februari 2019 diumumkan tumbuh sebesar 0,7% secara tahunan, mengalahkan konsensus yang memperkirakan tak ada perubahan, seperti dilansir dari Trading Economics. Pada bulan Januari, produksi industri terkontraksi sebesar 0,4%.
Dua sektor utama yang menyebabkan IHSG anjlok kemarin yakni jasa keuangan dan barang konsumsi kini justru berbalik menjadi sektor dengan kontribusi terbesar bagi kenaikan IHSG. Indeks sektor jasa keuangan ditutup menguat 0,89%, sementara indeks sektor barang konsumsi melesat 1,2%.

Selain karena koreksi yang sudah dalam, saham-saham sektor jasa keuangan diburu lantaran rupiah bisa membukukan penguatan. Hingga akhir perdagangan, rupiah menguat 0,07% di pasar spot ke level Rp 14.165/dolar AS.

Penguatan dolar AS yang sudah signifikan membuatnya dilepas investor. Dalam periode 21-25 Maret, indeks dolar AS sudah menguat sebesar 0,84%.

Secara fundamental, rupiah memang memiliki bensin untuk menguat lantaran ada optimisme bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) bisa ditekan pada tahun ini. Pasalnya, jika ditotal neraca dagang Indonesia hanya membukukan defisit senilai US$ 734 juta dalam dua bulan pertama tahun ini, lebih rendah dibandingkan defisit pada dua bulan pertama tahun 2018 yang mencapai US$ 809 juta.

Bahkan, pada Februari 2019 neraca dagang Indonesia sudah bisa membukukan surplus yakni senilai US$ 330 juta. Pada bulan januari, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 1,06 miliar.

Kala rupiah menguat, kekhawatiran mengenai naiknya rasio kredit bermasalah/Non-Performing Loan (NPL) dari bank-bank di tanah air menjadi memudar.

Saham-saham sektor jasa keuangan yang diburu investor pada perdagangan hari ini di antaranya: PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (+2,08%), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (+1,5%), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (+1,35%), dan PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+0,28%).

Sementara itu, saham-saham barang konsumsi yang diburu investor di antaranya: PT Gudang Garam Tbk/GGRM (+2,93%), PT Indofood Sukses Makmur Tbk/INDF (+1,85%), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk/ICBP (+1,6%), dan PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (+0,47%). Investor asing memegang peranan penting dalam mendorong kinerja bursa saham tanah air pada hari ini. Hingga akhir perdagangan, investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 338,6 miliar. Kemarin, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 147,8 miliar.

Selain terbukti ampuh dalam mendorong aksi beli atas saham-saham sektor jasa keuangan, penguatan rupiah juga terbukti ampuh dalam mendorong investor asing untuk kembali ke pasar saham tanah air.

Selain karena indeks dolar AS yang sudah banyak menguat dan adanya ekspektasi bahwa CAD Indonesia bisa ditekan pada tahun ini, dolar AS ikut dipukul mundur oleh hasil pertemuan The Federal Reserve selaku bank sentral AS.

Selepas menggelar pertemuan selama dua hari pada pekan lalu, The Fed memutuskan untuk menahan tingkat suku bunga acuan di level 2,25%-2,5%.  Tak hanya menahan tingkat suku bunga acuan, The Fed juga memangkas proyeksinya atas kenaikan suku bunga acuan pada tahun ini.

Kini, The Fed memproyeksikan bahwa suku bunga acuan tak akan dinaikkan sama sekali pada tahun 2019. Padahal pada bulan Desember, diproyeksikan ada kenaikan sebesar 50 bps.

5 besar saham yang dikoleksi investor asing adalah: PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 291,7 miliar), PT Indofood Sukses Makmur Tbk/INDF (Rp 61,6 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 50,3 miliar), PT Gudang Garam Tbk/GGRM (Rp 44,7 miliar), dan PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (Rp 42,5 miliar).

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular