Rupiah dan Peso Berbagi Podium Juara Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 March 2019 12:46
Ancaman Resesi AS Tertutup The Fed dan Damai Dagang
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Rupiah terpapar oleh sentimen positif eksternal yang lumayan kuat. Pertama adalah komentar dari pejabat teras The Federal Reserve/The Fed. 

Dalam sebuah seminar di Hong Kong, Presiden The Fed Boston Eric Rosengren memperkirakan ekonomi AS akan tumbuh melambat dalam 3 kuartal ke depan, berada di kisaran 2-2,5%. Perlambatan ekonomi di negara-negara mitra dagang AS seperti China dan Uni Eropa akan berpengaruh terhadap performa Negeri Paman Sam. 

Oleh karena itu, Rosengren menegaskan bahwa keputusan The Fed untuk menunda kenaikan suku bunga acuan sudah tepat. "Menghentikan sementara (kenaikan suku bunga acuan) adalah keputusan yang bertanggung jawab," ujarnya, mengutip Reuters. 


Pernyataan Rosenberg langsung direspons negatif oleh dolar AS. Pada pukul 12:17 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,01%. 


Kedua, investor juga mulai mengantisipasi dialog dagang AS-China. Pada Kamis-Jumat waktu setempat, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer akan menggelar pertemuan dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He di Beijing. 

Pertemuan ini kembali menggelorakan api damai dagang AS-China yang sempat meredup. Ada harapan Washington dan Beijing bisa meneken kesepakatan damai dagang dalam waktu dekat, setidaknya pada tengah tahun. 

Untuk memperbaiki hubungan dengan AS, China berkomitmen untuk melakukan reformasi ekonomi. Perdana Menteri Li Keqiang menegaskan Beijing akan lebih transparan dalam penyusunan kebijakan, melindungi hak atas kekayaan intelektual, dan tidak akan memaksakan transfer teknologi. 

"China mendorong pengembangan teknologi dan industri untuk menciptakan ruang inovasi dan pembangunan," tegas Li, mengutip Reuters. 

Komitmen China ini diharapkan mendapat tanggapan positif dari AS. Washington memang sudah cukup lama mengeluhkan soal pelanggaran atas hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi. Saat China serius untuk menghapuskan praktik tersebut, semoga poros Washington-Beijing akan semakin mesra dan damai dagang segera terwujud. 

Hubungan AS-China yang membaik ini membuat investor mengambil posisi agresif. Arus modal yang sempat merapat ke aset-aset aman (safe haven) kini kembali menyemut di instrumen berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia. 

Di pasar saham, investor asing membukukan beli bersih Rp 138,81 miliar yang mengantar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,89% kala penutupan perdagangan Sesi I. Kemudian di pasar obligasi negara, imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara seri acuan tenor 10 tahun turun 0,7 basis poin. Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan. 

Dua sentimen tersebut membuat pelaku pasar menjadi abai dengan isu yang dominan kemarin yaitu ancaman resesi di AS. Namun perlu dicatat bahwa isu ini belum bisa dibilang reda sepenuhnya, karena yield obligasi pemerintah Negeri Adidaya masih mengalami inversi. 

Pada pukul 12:32 WIB, yield surat utang pemerintahan Presiden Donald Trump tenor 3 bulan tercatat 2,4588% sementara untuk yang tenor 10 tahun adalah 2,4407%. Masih terjadi inversi, yield tenor pendek lebih tinggi ketimbang tenor panjang. 


Oleh karena itu, risiko resesi masih membayangi AS. Apabila tidak ada lagi sentimen lain yang bisa menutup, maka isu resesi AS akan kembali menghantui pasar keuangan global.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular