Refleksi

AS Dekati Resesi? Mari Berharap Pada Faktor Pembeda Ini

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
25 March 2019 21:20
Hantu resesi di AS dinilai membayang, terlihat dari gejala inversi imbal hasil (yield). Namun tahun ini ada faktor pembeda.
Foto: REUTERS/Brendan McDermid
Jakarta, CNBC Indonesia - Pelaku pasar di Wall Street melakukan aksi jual besar-besaran sehingga indeks Dow Jones anjlok 1,34%, menular hingga Indonesia. Hantu resesi di Amerika Serikat (AS) dinilai membayang, terlihat dari gejala inversi imbal hasil (yield).

Mengingat inversi hampir pasti mengindikasikan resesi, pelaku pasar pun kehilangan nyali dan memilih aksi jual besar-besaran. Namun, jangan berkecil hati. Sebenarnya, masih ada satu harapan untuk mencegah semua itu terjadi.

Di kalangan trader Wall Street, ada konsensus mengenai yield dan situasi resesi. Intinya: jika imbal hasil surat utang jangka pendek lebih rendah dari yang berjangka 10 tahun, maka kurva yield tersebut normal.

Kenapa normal? Karena idealnya yield obligasi jangka pendek memang lebih rendah. Sementara, yield obligasi jangka panjang lebih tinggi demi mengompensasi risiko di masa depan. Perlu dicatat, ketika obligasi diburu dan harganya naik, yield pun turun.

Namun, jika yang terjadi sebaliknya, maka pelaku pasar sedang mengantisipasi pemburukan situasi ekonomi dalam jangka pendek. Mereka tidak berani memegang obligasi jangka pendek karena berisiko tinggi, dan menjualnya besar-besaran sehingga harga drop (yield naik tinggi).

Di sisi lain, ketika obligasi jangka panjang diburu, harganya naik dan yield-nya pun menurun. Ketika ini terjadi berbarengan dengan naiknya yield obligasi jangka pendek (akibat didera aksi jual yang menekan harga) muncullah inversi.

Akhir pekan lalu, yield obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan berada di 2,4527%. Lebih tinggi dibandingkan yield tenor 10 tahun yang sebesar 2,4373%. Ini menjadi kejadian pertama sejak Januari 2017.

Secara historis, 9 dari 10 krisis AS memang diikuti oleh inversi. Satu-satunya krisis AS tanpa didahului inversi yield terjadi pada tahun 1960. Itulah mengapa Wall Street ketar-ketir dengan situasi ke depan dan melakukan aksi jual. Hari ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tertekan 1,75%. 

Situasi berbeda
Namun, kali ini ada sedikit situasi yang berbeda. Betul bahwa ada kekhawatiran perlambatan pertumbuhan ekonomi AS akibat perang dagang yang dilancarkan terhadap China, negara dengan perekonomian terbesar kedua.

Defisit APBN AS juga melonjak-mencapai 39% ke US$ 544 miliar, dibanding periode sebelumnya US$391 miliar. Ini memicu kekhawatiran problem baru karena pemerintah AS sempat menghentikan layanan (shutdown) karena anggaran cekak.

Pertumbuhan PDB AS pun cenderung melambat, ke level 2,6% pada kuartal IV-2018, dibandingkan sebelumnya sebesar 3,4%. Dan, pelemahan ini dibayang-bayangi risiko perang dagang, yang dikhawatirkan kian memperburuk perekonomian.

Namun, ada satu faktor yang sudah berubah, dibandingkan dengan tren-tren yang terbentuk jelang resesi di masa lalu. Faktor itu adalah the Fed yang sudah berbalik menjadi dovish (melunak) dengan mulai mengerem kenaikan suku bunga acuan.

Sebelum krisis keuangan 2008, misalnya, Gubernur Fed saat itu Alan Greenspan menaikkan suku bunga acuan dari 1% (2003) menjadi 5,25% (2006). Lalu inversi yield terjadi, diikuti krisis pada 2008. Kenaikan suku bunga acuan mempersulit perbankan mengakses dana murah sehingga likuditas mereka terganggu dan memecahkan bubble keuangan.

Ini juga terjadi jelang krisis 1997, di mana suku bunga acuan AS naik dari 2,8% (1993) menjadi 5,25% (1996). Kini, j
ika diasumsikan resesi bakal terjadi pada 2020 atau 2021, seperti yang mengemuka belakangan, maka semestinya tren kenaikan suku bunga acuan terjadi pada tahun ini.

Namun, baru-baru ini Fed justru mengumumkan mempertahankan suku bunga acuan di 2,25-2,5%.
Beberapa pelaku pasar kini bahkan memperkirakan akan ada penurunan Fed Funds Rate dengan 39,5% di antaranya bertaruh Fed Fund Rate akan turun. Sebelumnya, hanya 25% yang bertaruh demikian.

Ini menjelaskan kenapa pelaku pasar obligasi sedikit berubah pikiran. Mengutip Reuters, yield obligasi AS tiga bulan saat ini sebesar 2,455% lebih rendah dari yield obligasi tenor 10 tahun 2,462%. Artinya, situasi sudah agak normal. 

Ini mengindikasikan pelaku pasar bertaruh bahwa resesi di AS masih dapat terhindarkan. Penurunan suku bunga acuan diharapkan menjadi insentif bagi industri keuangan dan juga perekonomian terbesar dunia itu. 

Jadi, bersyukurlah mereka yang hari ini masuk ke pasar, memborong saham bagus berharga murah. 
Saya jadi teringat petuah Warren Buffett: "Be fearful when others are greedy. Be greedy when others are fearful."

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ags/ags) Next Article Bukan Bola Kristal, Inverted Yield tak Selalu Ramalkan Resesi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular